Fanya melangkah cepat melintasi taman. Tak mau bersusah payah memutar untuk mengambil jalan setapak. Diinjaknya gundukan tanah basah dengan rumput yang baru ditanam, tak perduli dengan papan peringatan yang tertancap. Fanya terus melangkah tanpa jeda. Bahkan dia tak perlu mencari keberadaan Juan. Dia tahu pasti di mana lelaki itu berada saat Jumat petang.
Fanya berbelok ke kanan. Sosok tegap Juan sudah terlihat dalam jarak pandang. Duduk khusuk menghadap danau dan kanvas lukisnya.
“Hah! Bahkan lelaki itu bisa menikmati hobinya seolah tak pernah terjadi apa-apa!”
Dasar lelaki tak berperasaan! Setelah mencampakkannya begitu saja, berani-beraninya dia bicara yang tidak-tidak pada bundanya. Dasar lelaki berhati batu! Bukannya mengirimkan coklat atau bunga di hari kasih sayang, tapi justru membuat hati Fanya kembali terluka! Apa sebenarnya mau lelaki itu? Belum puaskah selama setahun ini menghina Fanya tanpa perasaan? Belum cukupkan semua pengorbanan Fanya hingga dia kembali datang hanya untuk menghancurkan sisa-sisa pertahanannya?
Fanya menggeram pelan. Baru sebulan lalu Juan menggoreskan luka di hatinya. Baru sebulan lalu lelaki itu menghancurkan harga dirinya. Mencampakkannya tanpa belas kasihan! Mengusirnya dari rumah!
“Lihat! Tidakkah kau lihat semua ini sia-sia? Lihat, Fanya! Apa kau buta? Apa kau belum sadar juga? Bahwa semua ini hanya sia-sia. Sia-sia Fanya!!”
Tak hanya sekali itu Juan meneriakinya. Sebenarnya hampir setiap kali mereka mengalami kegagalan, Juan selalu bersikap buruk pada Fanya. Seperti malam itu, bukan salahnya jika mereka kembali gagal untuk yang kesekian kalinya. Semua memang tak mudah. Butuh perjuangan keras. Butuh kesabaran dari kedua belah pihak. Butuh tekad yang kuat dari Juan untuk bisa berubah.
“Sabar, Juan. Kita bisa coba lagi besok atau lusa.”
Seperti biasa, Fanya selalu berusaha sabar menghadapi emosi Juan yang meledak. Bagaimanapun dia sendiri menginginkan Juan berubah. Memimpikan pernikahan mereka sempurna seperti pasangan lainnya.
“Mencoba apa lagi? Sudah setahun kita mencobanya Fanya! Dan apa hasilnya?”
“Semuanya butuh waktu, Ju!”
“Sampai berapa lama? Sudah kubilang semua ini tak ada gunanya. Kenapa begitu susah membuatmu mengerti? Pernikahan ini tak akan berhasil, Fanya. Dan semua ini bukan masalah waktu! Berapa lamapun waktu yang kuberikan padamu, tak akan berhasil!
“Mengertikah kau, Fanya? Lelaki sepertiku hanya bisa bereaksi saat ada ketertarikan. Saat ada rasa yang membangkitkan gairah. Saat ada cinta, Fanya! Saat ada cinta! Ingat itu! Tidakkah kau sadar bagaimana hubungan kita?”
“Kalau begitu akan lebih mudah, bukan? Beri aku waktu! Akan kubuat kau mencintaiku.”
“Kau bercanda? Bagaimana kau bisa membuatku mencintaimu? Sedang kau sama sekali tak menarik bagiku! Apa kau belum juga paham siapa aku? Oh sudahlah, Fanya! Berhentilah melakukan hal bodoh seperti ini! Pergilah! Jangan buang waktumu! Pergi Fanya! Jauhi aku! Enyah dari hidupku!”
Fanya menarik nafas panjang, melepaskannya dalam desah keras, mempercepat langkahnya untuk mengaburkan perih yang kembali hadir di hatinya. Tak ada yang bisa dia pertahankan. Tak ada lagi yang bisa dilakukan Fanya jika Juan sendiri tak menginginkan bantuannya. Malam itu, dia memutuskan pergi dari rumah. Meninggalkan Juan tanpa kata. Kembali ke rumah bundanya. Membawa luka!
Malam itu, pernikahan meraka berakhir sudah. Pernikahan yang berakhir cepat. Hanya dalam satu tahun semua berakhir bagi mereka.
Pernikahan pura-pura, kata Juan. Karena pernikahan itu memang terpaksa mereka jalani atas permintaan kedua orang tua mereka. Pernikahan yang singkat tapi mampu membuat Fanya jatuh cinta..dan terluka! Luka yang sampai detik ini masih terasa menyakitkan. Bahkan dia belum selesai mengumpulkan puing cintanya yang berserak saat bunda tadi pagi memanggilnya. Memarahinya dengan raut muka penuh kekecewaan. Menceramahinya tentang arti pernikahan. Tentang perceraian yang dibenci Tuhan. Tentang menjadi istri sholehah dan tentang segala macam yang menyudutkan posisi Fanya dengan derai air mata!
Desah keras kembali terlontar dari mulut Fanya. Desah yang terdengar Juan. Membuat lelaki itu berbalik dan berdiri dengan cepat. Menatapnya dengan sorot terkejut yang tak disembunyikan.
“Fanya?”
Fanya tak memperdulikan sapa Juan. Dia terus melangkah cepat menghampiri lelaki yang berdiri menatapnya. Mengangkat tangan kanannya sekuat tenaga saat jarak tak lagi membentang. Dan mengayunkannya sekeras yang dia bisa ke pipi lelaki di depannya!
‘Plak!’
“Itu untuk semua perlakuan burukmu padaku selama setahun ini.”
‘Plak!’
“Dan itu untuk seluruh kebohonganmu hingga membuat bundaku menangis tadi pagi.”
Fanya menatap garang ke mata Juan. Meledakkan kemarahannya melalui sorot mata dan kata-kata tajam.
“Apa sebenarnya maumu? Apa lagi yang kau inginkan dariku? Belum puas kau menghinaku? Belum puas kau menyakitiku selama ini? Kenapa kau masih mengganggu bundaku? Kenapa kau menyakiti perasaannya?
“Ooohh...tunggu! Aku tahu kenapa kau melakukannya. Kau menceritakan hal-hal bohong pada ibuku agar rahasiamu tak terbongkar, bukan? Agar kau tak disalahkan orang tuamu atas rencana perceraian kita! Agar orang tuamu tetap menganggapmu anak lelaki sempurna mereka. Anak lelaki yang membanggakan.
“Kau sengaja menimpakan kesalahan ini padaku! Agar mereka tak tahu masalah yang sebenarnya. Dasar lelaki pengecut! Kau sengaja melakukan ini agar akulah yang disalahkan! Kau takut kelainanmu diketahui mereka. Kau tak mau mereka tahu bahwa kau tak akan bisa mencintai aku. Tak akan bisa mencintai perempuan manapun. Tak akan bisa menikahi perempuan manapun. Karena kau tak normal. Karena kau hanya mencintai sesama pria!
“Hah! Dasar lelaki tak tahu malu! Tak punya perasaan! Lelaki pengecut! Lelaeeemmm...”
Dan suara Fanyapun lenyap tertelan mulut Juan. Lelaki itu mengulum bibir Fanya dengan kasar. Mempermainkannya hingga Fanya sesak nafas. Hingga tulang-tulang Fanya melemah. Hingga gairah membuat Fanya melayang dan terhempas begitu saja saat tiba-tiba Juan melepaskan ciuman.
Mereka berdiri berhadapan. Saling menatap dengan putus asa. Dengan denyut di setiap pori-pori mereka. Dengan debar yang memabukkan. Dengan hawa panas yang menggelisahkan.
Fanya menatap Juan tanpa daya. Lelaki itu tersenyum lembut menenangkan. Menggenggam telapak tangan Fanya. Menariknya pelan. Mendekatkannya pada tubuh bagian bawah.
Dan berbisik di telinga Fanya dengan suara serak, “ingatkah kau apa yang pernah ku katakan? Bahwa dia hanya bisa bereaksi jika ada cinta. Rasakan Fanya! Apa kau merasakannya?”
Fanya terhenyak. Pipinya bersemu merah. Matanya bersinar-sinar ceria. Mencoba memahami apa yang sedang terjadi pada mereka. Mencoba mencerna kata-kata Juan. Dan membalas tatap Juan dengan gairah yang sama. Dengan senyum terkembang. Dengan kebahagiaan yang membanjiri rasanya!
***
Goresan cerita Bungailalang + Venusgazer no 33
[caption id="attachment_295526" align="aligncenter" width="300" caption="img dipinjam dari citacinta.com"][/caption]
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul:
Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Fiksi Valentine Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H