Akhir-akhir ini ramai kita lihat pemberitaan tentang perilaku asusila yang dilakukan oleh orang-orang yang selama ini kerap kali kita anggap sebagai pelindung, pemberi nasihat, dan penyejuk. Tentu hal ini membuat kita sebagai masyarakat menjadi resah terlebih para orangtua yang selama ini bisa tenang menitipkan anaknya kepada guru-guru di sekolah menjadi was-was. Pelecehan seksual kini bahkan sejak dulu menjadi momok yang menakutkan, apalagi bagi kaum wanita. Dengan adanya berita seorang oknum guru atau dosen yang melakukan tindakan tak terpuji tersebut menambah rasa was-was dan takut.
Kita tentu sepakat bahwa guru atau dosen yang melakukan tindakan tersebut hanyalah oknum semata. Atau boleh kita sebut orang-orang yang melakukan hal itu, siapapun itu, apapun profesinya tentu sangat tidak terpuji dan harus mendapatkan hukuman yang sepantasnya.
Hanya saja kita menjadi miris karena perilaku tidak terpuji seperti itu bisa terjadi di tempat-tempat yang semestinya terjaga atau bahkan bisa melindungi kita dari perbuatan asusila. Akhirnya kita menjadi bertanya-tanya, apakah ada tempat yang benar-benar aman dan terjaga dari perilaku pelecahan seksual? Karena maraknya berita yang beredar jika pelecehan seksual justru terjadi di lingkup paling kecil dalam masyarakat, yaitu keluarga, juga bahkan tempat pendidikan seperti yang sudah disampaikan sebelumnya.
Apakah sebetulnya yang mendasari hal-hal keji itu terjadi di sekup paling kecil dan paling vital dalam masyarakat? Apakah karena kurang pendidikan? Kurangnya literasi? Jika demikian tentu pelecehan seksual tidak akan terjadi di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pesantren, dan universitas. Atau mungkin karena kurangnya kedekatan? Cinta? Kasih sayang? Jika demikian tentu pelecehan seksual tidak akan terjadi di lingkungan keluarga. Lantas apa sebetulnya yang mendasari hal ini bisa terjadi di mana saja.
Mengutip penjelasan dari dr. Dyah Novita Anggraini dalam salah satu artikel yang ditayangkan di klikdokter.com. Pelecehan seksual bisa terjadi karena adanya kepercayaan diri si pelaku pelecehan yang menganggap ia bisa menaklukan calon korban. Sehingga ia dengan mudahnya bisa melakukan segala tindakan yang tanpa disadari telah melecehkan orang lain. Lalu ia juga menjelaskan, kebanyakan pelaku pelecehan biasanya pernah mengalami bentuk pelecehan atau menjadi korban pelecehan seksual saat usia muda.
Sehingga ada rasa untuk membalas atau keinginan melakukan tindakan yang pernah dilakukan orang lain kepada dirinya. Selain dua hal tersebut dr. Dyah juga menyinggung soal lingkungan atau tempat tumbuh seseorang. Lingkungan yang sehat tentu akan menghasilkan pribadi/individu yang sehat, sebaliknya lingkungan yang tidak sehat akan menghadirkan pribadi/individu yang tidak sehat, baik secara fisik maupun mental.
Mengacu pada penjelasan yang ditulis oleh dr. Dyah Novita Anggraini kita bisa melihat lalu menyimpulkan bahwa pelecehan seksual akan lebih mudah terjadi pada orang yang memiliki otoritas lebih kuat kepada orang yang ada di bawahnya. Seperti misalnya orang dewasa pada anak-anak, bos kepada karyawan, guru kepada murid, atau bahkan orang tua kepada anak. Orang-orang yang memiliki otoritas lebih kepada orang lain akan cenderung merasa ia bisa melakukan hal apapun terhadap orang yang ada dalam pengaruhnya.
Miris memang, tetapi memang pada kenyataannya seperti itulah yang terjadi. Bentuk pelecehan seksual selalu dilakukan oleh orang yang lebih kuat kepada yang lebih lemah. Sangat jarang bahkan hampir tidak ada kasus pelecahan yang korbannya memiliki status lebih tinggi dari si pelaku. Si Pelaku mesti berada satu tingkat di atasnya, baik itu usia, jabatan, atau kewenangan. Selain dari perasaan superioritas yang berlebih, pelecehan seksual juga bisa terjadi karena adanya kesempatan.
Pelecehan seksual mesti dicegah oleh setiap lapisan masyarakat, dari tingkat keluarga sampai ke tingkat negara. Mengingat hal ini yang semakin lama semakin marak dan meresahkan. Komnas Anak dan Perempuan Indonesia (KPAI) mencatat Pada kurun tahun 2015-2020, tercatat 11.975 kasus dilaporkan oleh berbagai pengada layanan dihampir 34 provinsi, atau sekitar 20 persen dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat.
Pemerintah Indonesia dalam hal ini sangat tegas menyatakan untuk menindak habis segala bentuk pelecehan seksual. Sikap tegas ini tertuang dalam undang-undang KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Bab XIV mengenai Kejahatan Kesusilaan Pasal 281 sampai Pasal 303.
Di dalamnya disebutkan bahwa pelaku pelecehan seksual mendapat hukuman maksimal sembilan tahun penjara. Adanya undang-undang ini bisa membuat kita sedikit tenang, namun masih terasa was-was. Harapan kita kebanyakan menginginkan pelaku pelecehan seksual itu dihukum seberat-beratnya, namun lagi-lagi sebagai masyarakat yang hidup dibawah naungan konstitusi kita harus patuh pada hukum positif yang berlaku dalam negara kita.