Ia berasal dari Tegal. Sudah cukup lama merantau di Bekasi. Ika, begitu ia dipanggil. Sehari-hari Ika bekerja sebagai SPG di sebuah pusat perbelanjaan di Bekasi Kota. Dari gajinya tersebut, cukup membiayai kehidupan dua anaknya dan suaminya. Sudah tergolong lama suaminya tak bekerja. Terpaksa ia menjadi tulang punggung keluarga. Gajinya sebagai SPG menjadi andalan untuk membiayai  sekolah anaknya dan membayar kontrakan.
Sejak pemberlakuan PSBB Ika sudah tak berpenghasilan lagi. Bersama ratusan sejawatnya Ika di rumahkan sejak Maret lalu. Perusahaan tempat ia bekerja tidak memberikan satu rupiah pun untuk melanjutkan hidup.
"Mau makan apa? Pulang kampung pun gak bisa," itu yang dipikirkan Ika saat pertama kali menerima informasi dirumahkan dari bosnya. Nasib Jhoni tak kalah tragis dari Ika. Dia baru dua bulan di Bekasi. Jhoni bekerja sebagai penjaga toko alat komunikasi di sebuah pusat perbelanjaan.
Saat diterima bekerja, rasa senang tak karuan. Sempat menikmati dua bulan gaji sebagai pekerja di kota. Yang selama di kampungnya, di Lampung sana sulit ia dapati.
Bekasi bagi Jhoni bagaikan jadi bumi langit. Saat corona datang, harapan itu pun sirna seketika.
Sempat hendak pulang ke Lampung, berharap bisa bertahan di tanah kelahiran. Sesampai di Pelabuhan Merak, pihak aparat menyuruhnya kembali ke Bekasi. Dengan sangat terpaksa Jhoni terpenjara di rumah kost. Penghasilan dua bulan pun habis untuk biaya makan dan sewa kost. Untuk mengisi perut di rantau orang, roti dan teh manis menjadi menu utama.
Kabar penderitaan kaum Muhajirin sampai kepada pemuda di kampung itu. Dian, pentolan pemuda di kampung itu pun terpanggil untuk membantu mereka yang sedang lapar. "Saya bilang ke teman-teman, pokoknya tidak boleh  ada yang kelaparan di kampung kita ini. Gimana pun caranya kita kudu bantu mereka," kata Dian, mengenang pertama kali mendirikan dapur umum untuk para anak rantau di kampungnya.
Dian dan teman-temannya urunan mendirikan dapur umum. Awal-awal berdiri, menunya hanya nasi dan mie instan. Setelah tersebar melalui media sosial. Dapur umum yang menghidupi 135 orang SPG dan pegawai mal itu mendapat banyak bantuan.
Dian bertutur, ada saja dana yang masuk untuk bisa menyambung nyala api di dapur umum itu. Bahkan ada seorang TKI di Malaysia yang ikut membantu setelah mengetahui melalui media sosial.
"Ini dapur ajaib. Pagi sudah habis dana untuk belanja. Sore, ada saja yang datang ngasih bantuan, hingga bisa bertahan sampai 37 hari," katanya berkaca-kaca.
Sejak berdiri, dapur umum itu sudah beroperasi selama 37 hari. Dian tak menyangka, bisa bertahan selama ini karena memang kehidupan warga di wilayah itu serba pas-pasan.
Tepat di hari ketiga lebaran, dengan sangat menyesal, Dian dan kawan-kawan tak lagi bisa melihat ibu-ibu bahu membahu memasak untuk kaum Muhajirin di kampung itu. Tak ada lagi bantuan yang masuk.
Ika, Jhoni dan ratusan SPG lainnya entah makan apa? Tak ada lagi antrian yang diselingi canda di dapur umum.
Semoga saja ada dermawan yang sudi menyisihkan sebagian uangnya untuk menyalakan api harapan bagi Ika, Jhoni dan ratusan SPG lainnya. Bukan hanya untuk mengisi perut yang lapar. Tapi yang  lebih penting, mengisi harapan bagi mereka bahwa masih banyak saudara sebangsa yang peduli. Masih banyak orang yang tak tega mendengar ada yang kelaparan di sudut kota metropolitan ini.
Dian lebih banyak duduk termenung di atas bale yang terbuat dari bambu di sudut dapur umum itu. Â Berharap bantuan datang lagi untuk menepati janjinya pada teman-temannya untuk tidak membiarkan ada yang kelaparan di kampung itu.
Rendah gunung tinggi harapan, semoga saja ada yang datang menyalakan tungku di dapur umum itu. Membantu Dian menepati janjinya. Menyelamatkan para SPG dari ancaman kelaparan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H