Mohon tunggu...
Bung Adi Siregar
Bung Adi Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - BAS

Founder BAS Pustaka Copywriter Independen Pecinta Film Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menunggu Eksperimen Islam Politik 3.0

1 Agustus 2018   15:39 Diperbarui: 1 Agustus 2018   16:24 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala itu aku masih SMA Ketika Pemilu pertama berlangsung pasca Orede Baru tumbang, 1999. Karena sudah 20 tahun lebih berlalu, file bolehlah dibuka he..he.... Saat itu aku pilih PAN untuk DPR RI dan PK untuk DPRD.

Besar harapan ummat saat itu, dua partai yang lahir dari rahim reformasi bisa masuk tiga big. Ternyata harapan berlebih itu  jauh panggangan dari api. Perolehan suara PAN dan PKS sangat kecil dibandingkan partai statusquo.

Padahal saat itu banyak pengamat yang memberikan pendapat, Pemilu 1999 milik Islam Politik setelah puluhan tahun mendapat peminggiran di era Soekarno dengan membubarkan Masyumi dan Soeharto yang secara sistematis menggerus peran Islam politik.

Mengapa Islam politik gagal pada Pemilu 1999....? Saat itu saya belum menemukan jawabannya. Yang ada hanya kekecewaan. Namun dokumentasi soal Islam Politik pada 1999 baru-baru ini saya temukan. Dokumentasi itu buku berjudul "Mengapa Partai Islam Kalah...?"

Buku ini menjawab pertanyaan saya 20 tahun lalu. Buku ini ditulis oleh pemikir muslim, pengamat politik dan peneliti asing yang puluhan tahun menggeluti soal Indonesia.

Buku ini banyak memberikan analisa mengapa Islam Politik gagal pada Pemilu 1999. Berbagai teori mengemuka, mulai dari yang paling classic hingga paling  actual. Pisau belah yang sering dipakai teori abanagn vs santri ala   Geertz. Salah satu yang menarik dan hingga kini sering dikemukan oleh Eef, dalam buku itu Eef menulis jika kegagalan Partai Islam pada 1999 karena Islam masih berbentuk kerumunan belum terorganisir dengan baik. Besar tapi sekadar kerumunan.

Yang menarik juga ulasan Almarhum Kuntowijoyo dalam buku ini, kegagalan Partai Islam karena ummat merasa memilih partai sama dengan memilih perkumpulan sepak bola atau perkumpulan tennis. Tak ada aturan dari agama.

Kunto berpendapat partai Islam lebih banyak mudaratnya. Karena menurutnya politik itu the art of the possible atau istilah lainnya tiada kawan yang abadi, yang ada kepentingan abadi. Ia tak mau Islam terjebak pada satu dimensi tunggal dari politik.

Bukan berarti Kunto tidak setuju ummat berpolitik. Politik ummat harus  bersifat high politics. Ummat berperan membangun politik yang rasional. Sistem  politik yang mapan dan pemilih yang mandiri dan rasional.

Lantas bagaimana dengan Islam Politik yang formalistik.....? Bila kita runut sejarah Pemilu mulai dari 1955, jaman orde baru dan yang paling actual pasca reformasi, Partai Islam tidak pernah mendapat angka yang sangat memuaskan. Jangankan sebagai pemenang, runner up pun tidak. Angka paling tinggi itu di raih PPP (warisan Orba) sebesar 12,55% pada Pemilu 1999. Sesudah Pemilu 1999  suara partai Islam tak pernah lagi diatas 10 persen.

Menurut saya perlu kajian mendalam mengapa dan harus bagaimana Islam Politik kedepan....?

Islam Politik harus melakukan tajdid dengan kondisi histori yang ada. Solusinya harus ada tajdid dalam gerakan Islam Politik. Menurut saya Islam politik jangan lagi berkutat pada formalisme politik islam berbetuk partai Islam. Toh, selama ini size pemilih partai islam jika akumulasi dari suara partai Islam (decler) atau partai berbasis massa Islam (PAN dan PKB) hanya di angka 25-30 persen.

Selama ini Partai Islam dan berbasis massa Islam, mulai dari Musyumi hingga hari ini (PKB, PAN, PKS, PPP dan PBB) tidak pernah menjadi partai pemenang pemilu. Karena partai Islam memiliki size pemilih yang kecil dan tugas mengedukasi pemilih gagal dilakukan. Karena partai Islam pada saat bersamaan memiliki tugas maha berart merubah orang yang sudah taat atau tidak taat dalam beragama menjadi "taat" saat di bilik suara.

Pertanyaan terakhir saya, Islam politik ingin tetap bertahan dengan partai Islam sebagai kendaraan politik tapi gagal membawa misi politik. Atau dengan kenderaan partai nasionalis tapi nilai-nilai universal Islam terimplementasi. Menjawabnya tidak mudah, makanya perlu eksprementasi islam politik 3.0 (era milenial). Eksprimen Islam politik 1.0 ditandai lahirnya  Masyumi. Dan Islam politik 2.0 oleh PAN dan PKB di satu sisi, di sisi lain ada model PBB, PPP dan PKS

Islam politik Ekspremin 3.0 yang mampu menjawab tantangan global dan pada saat yang sama adaptif dengan tata baru dunia. Islam politik yang mampu memberikan solusi atas persoalan rakyat, bangsa dan dunia. Islam politik Ekspremin 3.0 tak lagi  sibuk menghakimi kesolehan orang lain....... Tapi membawa kabar gembira

Siapa yang memulai kita tunggu saja.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun