Setelah sebulan lalu Microsoft merilis "Indeks Keberadaban Digital" atau "Digital Civility Index", kita semakin diyakinkan bagaimana buruknya perilaku bersosial media netizen kita. Walhasil, survei ini mendaku Indonesia berada pada posisi 29 terendah di Asia Tenggara. Skor  Indonesia naik 8 poin dari 67 pada tahun 2019 menjadi 76 pada tahun 2020. Survei ini seolah mengaminkan betapa dahsyatnya degradasi moral dan etika yang terjadi pada warga Indonesia, tidak hanya di dunia nyata, di dunia maya pun sama.
Survei ini berdasarkan pada maraknya insiden penyebarluasan berita hoax, hate speech, bullying, rasisme, dan sentimen-sentimen negatif lainnya yang memancing kemarahan individu atau kelompok. Kita bisa rasakan bagaimana insiden itu terjadi dan mencapai puncaknya pada tahun politik, tahun 2019 lalu. Masyarakat sosial media kita terbelah ke dalam dua kubu besar yang saling sikut-menyikut, saling lempar hujatan mengklaim kebenaran masing-masing kandidat dan jagoan politiknya.
Di masa sekarang, kita tengah hidup dan berusaha bertahan hidup di era "Pasca Kebenaran" atau "Post-Truth"---seperti itu Steve Tesich menyebutnya, yang mana orang semakin jauh dari kebenaran. Pada periode ini, orang lebih gampang percaya pada hal-hal yang bodoh dari pada riset peneliti dan kerja-kerja para pakar. Periode post-truth yang sedang berlangsung ini diperkuat oleh massifnya gelombang informasi memasuki peradaban dan kehidupan manusia.
Indeks keberadaban digital masyarakat Indonesia yang rendah ini, salah satunya, informasi berkontribusi di dalamnya. Informasi demikian banyak itu diterima sebagaimana adanya tanpa ada proses memilih dan pemilihan sebelumnya. Sehingga, yang terjadi adalah bias konfirmasi. Bias konfirmasi menurut Tom Nichols adalah kecendrungan mencari informasi yang membenarkan pendapat pribadi. Di media sosial media, masyarakat kita lebih cenderung memanfaatkan informasi untuk kepentingan pribadinya. Informasi-informasi yang ada digunakan sebatas untuk menguatkan keyakinan dan pendapat pribadi. Sekalipun informasi demikian tak memiliki data dan fakta.
Perlahan tapi pasti, kecendrungan itu tak akan berubah dan kecendrungan tersebut akan berubah menjadi suatu pola bersosial media. Mulanya hanya untuk kepentingan pribadi, lamat-lamat menjangkau individu lain dan lebih besar lagi, menyasar kelompok masyarakat tertentu. Kecendrungan tersebut digunakan untuk banyak tujuan. Dari keperluan konten lucu-lucuan, kebutuhan pemviralan, mencari sensasi baru, menggapai eksistensi diri, hingga sengaja diproduksi untuk keperluan negatif, seperti yang diindex oleh Microsoft: berita hoax, hate speech, bullying.   Â
Sadar atau tidak, kebiasaan ini menjalar turun ke bawah dan tepat menyasar anak usia belasan tahun yang belum paham berbagai hal. Anak-anak usia remaja yang ada saat ini bahkan lebih gampang terkotak-kotakkan, terprovokasi, hingga kemudian akhirnya menjadi aktor di balik kerusuhan yang terjadi di sosial media. Dari sisi kuantitas, pengguna terbanyak media sosial berasal dari kalangan anak remaja. Namun, banyaknya pengguna medsos dari kalangan remaja itu tidak dibarengi dengan kualitas dan kesadaran akan pentingnya kebijakan penggunaan medsos itu tadi.
Dari Index Keberadaban Digital harusnya menjadi momentum. Buruknya indeks keberadan sebaiknya menular menjadi sebuah optimisme dan kesempatan refleksi bersama. Bahwa kita tidak kekurangan pemikir, intelektual, peneliti, ilmuan, akademisi ataupun pakar, bahkan dalam hal publikasi ilmiah, reputasi Indonesia sebetulnya sangatlah baik. Indonesia mempati posisi tertinggi di Asia Tenggara mengalahkan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Hanya saja tren itu dinodai oleh buruknya etika bermedia sosial jamaah netizen kita.
Tren positif publikasi ilmiah itu tentunya harus senada dan seirama dengan digital civility index kita. Kebiasan buruk netizen kita harus segera diakhiri. Kita pastinya tidak menginginkan hoax, hate speechbullying, rasisme, dan sentimen negatif lainnya menjadi identitas ataupun menjadi budaya kita. Sehingga kita segera harus berbenah. Warga netizen kita harus mampu menciptakan iklim yang kondusif, sehat, cerdas, dan bermartabat. Salah satunya harus diawali oleh kesadaran akan pentingnya mengisi konten positif di dunia maya. Ikhtiar ini merupakan jihad warga negara dalam rangka memutarbalikkan persepsi dunia tentang rendahnya keberadaban masyarakat kita.
Survei yang dirilis Microsoft bulan lalu adalah pelajaran bagi kita. Media sosial mestinya menjadi medium terciptanya peradaban yang gemilang. Keberlimpahan informasi pada sosial media justu harus menjadi momentum akumulasi pengetahuan bukan sebaliknya, menjadikan kita anti pada ilmu pengetahuan. Kemudahan mengakses informasi sangat tepat bagi kita bagaimana menyusul ketertinggalan. Era digitalisasi sebaiknya digunakan untuk  bagaimana merakit pemikiran-pemikiran yang canggih. Ruang-ruang dunia maya mesti menjadi tempat transmisi gagasan-gagasan brilian.
Jika tidak ada perubahan signifikan, maka yang terjadi kemungkinannya ada dua, semakin buruknya keadaban atau membaiknya index keadaban kita. Jika kita tidak melakukannya, index tersebut selamanya akan menjadi identitas. Sebab, di dunia media sosial, cerminan sebuah bangsa adalah netizennya.