Mohon tunggu...
Muhammad Suryadi R
Muhammad Suryadi R Mohon Tunggu... Lainnya - Founder Lingkar Studi Aktivis Filsafat (LSAF) An-Nahdliyyah

Tall Less Write More

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Menteri Lebih Mudah daripada Menjadi Guru

25 November 2019   20:07 Diperbarui: 26 November 2019   12:16 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar Nadiem Makarim 

Nadiem Anwar Makarim itulah Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Mendikbud) Indonesia yang baru yang terdaftar di susunan Kabinet Pemerintahan Jokowi Jilid II. Selain bos Gojek dan umurnya yang masih sangat muda, juga karena gagasannya yang gokil dan terlampau sulit diwujudkan mengingat problem-problem pendidikan Indonesia yang demikian sangat kompleks.

Gagasan yang dimaksud yaitu kewajiban Bahasa Inggris, Coding, Statistik, Psikologi serta Pendidikan Karakter. Hal itu menurut Nadiem adalah pilar-pilar yang dapat merevolusi pendidikan Indonesia.

Menurutnya, pendidikan Indonesia dibawah komandonya dapat mempercepat sistem pendidikan sehingga mampu membawa bangsa Indonesia keluar sebagai kekuatan baru Ekonomi Digital di Asia maupun di dunia.

Belum usai wacana tersebut, muncul keinginan baru Pak Nadim akan mengubah kurikulum. Wacana itu muncul pasca pertemuan Pak Menteri bersama organisasi-organisasi guru.

Menurutnya, mata pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika, serta Pendidikan Karakter berbasis Agama dan Pancasila akan menjadi mapel utama dalam tingkat SD. Sehingga Bahasa Inggris di tingkat SMP dan SMA tidak lagi diajarkan karena telah lugas di tingkatan SD. Berganti Menteri berganti Kurikulum. Itulah yang menjadi ciri khas pendidikan Indonesia saat ini. Agaknya setelah mendapat banyak pertimbangan, tinggal menunggu waktu gagasan itu akan segera dieksekusi menjadi kebijakan.

Mendikbud baru telah terpilih. Pak Nadiem telah dilantik. Ide-ide mudanya telah tumpah dan didengarkan masyarakat dari seluruh penjuru arah mata angin. Sisanya menunggu ketuk palu sidang.

Tapi, saya ingin memberitahukan kepada Pak Menteri, "menjadi Menteri itu mudah daripada menjadi seorang Guru". Menjadi Guru tak segampang mengetuk palu sidang penanda sahnya peraturan dan kebijakan, sedangkan Guru bekerja bagaimana mengubah pemikiran manusia. Pak Nadiem tentu memahami itu. Yang tahu persis hiruk-pikuk masalah siswa adalah Guru.

Menjadi Guru sangat beresiko, sebab, kewajibannya tidak mengubah sistem tapi mengubah pemikiran manusia-manusia yang unik, khas dan berbeda-beda. Jika tidak, tuntutanlah yang akan menantinya sana-sini. Lebih dari 50 juta pelajar yang tersebar di 250 ribu sekolah di Indonesia membutuhkan Guru untuk mengajar dan mendidik mereka.

Pak Nadiem sendiri memahami sebagaimana dalam pidatonya baru-baru ini, bahwa menjadi guru adalah tugas yang tidak mudah. Setiap hari, setiap saat, guru harus menghadapi manusia-manusia yang berkebutuhan khusus. Khusus harus ditangani. Mereka perlu dididik dan diajari. Mendididk itu meminjam istilah Erich From adalah mengajar siswa menjadi biophily yaitu cinta pada kehidupan.

Guru harus mengajar manusia-manusia tentang kebaikan, kejujuran, kebenaran dan lain-lain ditengah ragam karakterisitik unik yang berbeda-beda. Guru harus mendidik anak-anak dengan potensi dan kecerdasan yang sangat khas.

Sementara disaat bersamaan, guru harus mengejar target yang telah ditentukan oleh sistem dan disibukkan dengan urusan administratif yang sebenarnya urusan itu tidak ada kaitan kausalitasnya terhadap tugas utamanya sebagai pendidik. Belum lagi jika kurikulum terus-menerus diganti, malah akan semakin membuat guru blepotan.

Sebelum berbicara banyak tentang percepatan dan revolusi pendidikan, Nadiem Makarim harus membuka dan mengkaji data pendidikan Indonesia. Pak Menteri harus turun gunung mensurvei agar merasakan langsung kondisi objektif pendidikan Indonesia. Masalah yang dihadapi pendidikan Indonesia sangat kompleks.

Bukan hanya kurikulum yang runyam, akses sulit guru mengajar di wilayah pedalaman, aturan administratif guru yang mengekang, capaian mengajar kejar target, hingga masalah terberat yaitu infiltrasi jaring-jaring Kapitalisme pemodal ke birokrasi pendidikan yang membuat pendidikan tidak ubahnya semacam Korporasi. Sederet masalah itu adalah batu sandungan yang mereportkan guru-guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun demikian, Pak Nadiem bukan tanpa gagasan relevan. Keinginannya menghapus Calistung pada pendidikan dini sepertinya serius. Hal tersebut diutarakan pada pidatonya pada Hari Guru 25 November 2019.

Menurut beliau, pendidikan Indonesia saat ini terbebani pada keharusan Calistung (baca : baca, tulis dan menghitung) terutama pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Anak-anak TK belum saatnya pintar baca-tulis dan menghitung.

Di masa-masa TK mereka hanya wajib mengenal huruf, angka-angka tanpa adanya beban harus pandai menulis, membaca dan berhitung. Gagasan ini merupakan angin segar yang segera harus didukung dan diperjuangkan bersama oleh tenaga pendidik seantero Indonesia.

Tentang bagaimana pola dan mekanismenya, tinggal menunggu realisasinya. Soal konsep Pak Nadiem Makarim lainnya, seperti disinggung dimuka, masih pada tataran ide-ide dan gagasan-gagasan, tentu pembuktianlah yang harus menjawabnya.

Mendidik itu berat, biarkan Guru saja. Biarkan beliau bekerja membuktikan janji-janjinya. Aturan dan sistem pendidikan yang selama ini merepotkan dan membingungkan biarkan disederhanakan oleh Pak Menteri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun