Mohon tunggu...
BUNGA DEA RANIA RIZKI
BUNGA DEA RANIA RIZKI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010147

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB | Dosen Pengampu: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak | Universitas Mercu Buana Jakarta | Prodi S1 Akuntansi | Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kemampuan Memimpin Diri dan Upaya Pencegahan Korupsi, dan Etik: Keteladanan Mahatma Gandhi

21 Desember 2024   15:42 Diperbarui: 21 Desember 2024   15:42 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut "An Autobiography: The Story of My Experiments with Truth", Mahatma Gandhi meletakkan kepemimpinannya pada prinsip-prinsip dasar seperti satya (kebenaran) dan ahimsa (non-kekerasan). "Means may be likened to a seed, the end to a tree," kata Gandhi. Filosofinya menekankan bahwa perubahan sosial hanya dapat bertahan jika didasarkan pada nilai-nilai moral dan rohani. Selama masa kepemimpinannya, dia terlibat secara langsung dalam perjuangan untuk kemerdekaan India dan melawan diskriminasi di Afrika Selatan. Dia mencontohkan satyagraha, atau perjuangan tanpa kekerasan, sebagai alat untuk menantang ketidakadilan. Dalam setiap aspek hidupnya, Mahatma Gandhi menanamkan dalam gaya hidupnya, yang mencakup prinsip-prinsip seperti keteguhan hati, prinsip, kebenaran, cinta, puasa (laku prihatin), dan anti kekerasan. Pelanggaran etika dan korupsi dapat dicegah dengan menggunakan prinsip-prinsip ini. Ada beberapa prinsip yang dapat diterapkan.

1. Kebenaran

Gandhi percaya bahwa kebenaran adalah dasar dari semua pilihan dan tindakan. Ia tidak hanya berbicara dengan jujur, tetapi juga berusaha menjalani hidupnya dengan transparan. integritas pribadi adalah dasar dari tata kelola yang bersih dalam hal pencegahan korupsi. Sebagai pemimpin, Gandhi menentang segala bentuk ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dia menentangnya bahkan jika itu berarti mengorbankan kebahagiaan pribadinya.

2. Cinta 

Gandhi mengartikan ahimsa sebagai cinta universal yang aktif serta ketiadaan kekerasan fisik. Ia percaya bahwa cinta yang benar dapat mengalahkan kebencian dan membawa keharmonisan. Ahimsa menjadi dasar etika kepemimpinan untuk menghindari perilaku buruk seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

3. Puasa (Laku Prihatin)

Bagi Gandhi, puasa bukan sekadar menahan diri dari makanan; itu adalah cara untuk membersihkan jiwa, menunjukkan solidaritas dengan mereka yang menderita, dan menguatkan moralitas. Ia berpuasa sebagai cara untuk mempertimbangkan dirinya sendiri dan melakukan protes tanpa kekerasan terhadap ketidakadilan. Puasa mengajarkan pentingnya pengendalian diri, menolak keinginan material, dan dedikasi penuh terhadap prinsip moral dalam mencegah korupsi.

4. Anti Kekerasan 

Prinsip anti kekerasan yang dipegang oleh Gandhi mencakup menghindari sepenuhnya tindakan agresif. Ia yakin kekerasan fisik dan verbal hanya akan meningkatkan ketidakadilan. Untuk mendorong perubahan sosial dan politik, Gandhi menggunakan metode satyagraha, yang berarti perlawanan tanpa kekerasan. Kekuatan utama dalam kepemimpinan adalah keteguhan moral dan keberanian untuk menghadapi ketidakadilan tanpa menggunakan kekerasan, menurut prinsip ini.

5. Keteguhan hati prinsip 

Dalam setiap perjuangannya, Gandhi selalu menunjukkan keteguhan hati. Ia menunjukkan bahwa tetap teguh pada prinsip moral meskipun menghadapi kesulitan besar adalah kunci untuk transformasi yang signifikan. Keteguhan hati mengajarkan pentingnya komitmen terhadap integritas, bahkan ketika dipaksa untuk berkompromi, dalam hal pencegahan korupsi. Bahkan dalam situasi yang menantang, Gandhi tetap teguh pada keyakinannya.

PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Sumber inspirasi untuk mencegah pelanggaran etika dan korupsi adalah nilai-nilai Mahatma Gandhi, termasuk Ahimsa (tanpa kekerasan) dan pengendalian diri. Ahimsa, yang berarti tidak menyakiti, menunjukkan betapa pentingnya melakukan keadilan dan integritas dalam setiap tindakan. Dengan menjaga transparansi dan kejujuran, prinsip ini mendorong kita untuk menghindari tindakan tidak etis seperti korupsi. Doktrin pengendalian diri, yang mencakup pengendalian terhadap kekerasan, keserakahan, ketidakjujuran, dan nafsu berlebihan, juga berfungsi sebagai panduan untuk membangun karakter yang kuat yang mampu menghadapi godaan duniawi. Gandhi juga menekankan betapa pentingnya untuk mengenali dan mengendalikan "Sad Ripu", atau enam musuh dalam diri kita, yaitu keserakahan, amarah, iri hati, tamak, mabuk dan kebingungan. Mereka sering menjadi dasar perilaku yang tidak etis dan korup.

Untuk menjadi agen perubahan, kita perlu berubah. Ini berarti melakukan introspeksi dan berkomitmen pada prinsip-prinsip etika dan moral. Tindakan sehari-hari seperti menolak suap atau penyalahgunaan wewenang dapat memberi inspirasi kepada orang lain di sekitar kita. Selain itu, sangat penting untuk mendorong penerapan sistem yang jelas dan akuntabel di masyarakat dan di tempat kerja. Menciptakan budaya antikorupsi yang berkelanjutan melibatkan pendidikan dan penyebaran nilai-nilai etika. Kita dapat mengikuti jejak Mahatma Gandhi dalam menciptakan perubahan positif di lingkungan kita dengan menerapkan prinsip-prinsip ini.

PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Mahatma Gandhi, yang terkenal dengan filosofi kejujuran, kesederhanaan, moralitas, dan perjuangan tanpa kekerasan, menekankan bahwa perubahan besar dalam masyarakat harus dimulai dari perubahan individu melalui kepemimpinan diri. Dalam konteks pencegahan korupsi dan pelanggaran etik, Gandhi mengajarkan bahwa setiap orang harus bertindak sebagai penjaga moral bagi dirinya sendiri. Langkah-langkah berikut dapat diambil untuk menjadi agen perubahan dalam mencegah pelanggaran dan melawan kekuasaan yang tidak adil:

1. Memahami Prinsip Ahimsa dan Satya

Ahimsa (Perlawanan Tanpa Kekerasan): Ahimsa mengajarkan bahwa kekerasan fisik atau lisan tidak selalu diperlukan untuk mengubah sesuatu. Ini adalah cara untuk berbicara, bernegosiasi, dan menyelesaikan masalah secara damai dalam dunia kerja. Misalnya, kritis kebijakan yang tidak adil di tempat kerja dengan cara yang resmi dan terhormat tanpa menimbulkan permusuhan. Satya (Keteguhan pada Kebenaran): Seseorang harus berkomitmen pada kebenaran, baik dalam perkataan maupun dalam tindakan. Dalam kehidupan sehari-hari, ini berarti laporan keuangan yang jujur, menghindari data yang dimanipulasi, dan memberikan informasi yang akurat kepada pihak yang berkepentingan.

2. Mengembangkan Integritas Pribadi

Integritas dimulai dengan kemandirian. Bahkan dalam keadaan sulit, belajar untuk mempertahankan nilai-nilai moral. Meskipun ada tekanan dari atasan atau lingkungan kerja, jangan tergoda untuk terlibat dalam praktik korupsi. Lakukan refleksi diri secara rutin untuk menilai apakah keputusan yang Anda buat sudah sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Jangan lewatkan kesempatan ini untuk memperbaiki diri dan menghindari kesalahan yang sama.

3. Menjadi Contoh dalam Perilaku Etis

Jadilah panutan bagi orang-orang di sekitar Anda dengan menunjukkan bahwa Anda dapat dipercaya. Misalnya, jika Anda mengatakan bahwa Anda harus transparan dan bersikap terbuka saat membuat keputusan dan berperilaku dengan cara yang konsisten, Anda akan membangun reputasi sebagai orang yang jujur dan adil, yang pada akhirnya dapat mendorong orang lain untuk mengikuti jejak Anda.

4. Membangun Kesadaran Kolektif

Bicara tentang prinsip etika dan bagaimana prinsip-prinsip Gandhi dapat diterapkan di tempat kerja atau di masyarakat. Misalnya, berikan pelatihan atau seminar tentang pentingnya integritas dan pencegahan korupsi. Bentuk komunitas yang mendukung transparansi dan akuntabilitas. Dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung perubahan positif dengan melibatkan banyak orang.

5. Menolak Ketidakadilan Secara Proaktif

Laporkan pelanggaran atau korupsi melalui mekanisme yang tersedia, seperti whistleblowing, jika Anda menemukannya. Pastikan laporan Anda disampaikan dengan konstruktif dan didasarkan pada bukti yang kuat. Jangan hanya melaporkan. Melalui advokasi kebijakan yang lebih adil dan transparan, Anda dapat mendorong perubahan. Ajukan saran yang dapat dilaksanakan untuk memperbaiki sistem saat ini.

6. Mengelola Konflik dengan Empati dan Non-Kekerasan

Dalam situasi konflik, cobalah mendengarkan pendapat orang lain. Dengarkan tanpa mempertimbangkan, dan berkonsentrasi pada mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Misalnya, ajukan mediasi untuk menyelesaikan perselisihan di tempat kerja. Jangan menggunakan bahasa atau tindakan yang dapat menyebabkan perasaan buruk. Jika menghadapi orang yang emosional atau agresif, tetaplah tenang.

PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
Pelajaran penting tentang cinta, kehidupan, dan kebencian dapat ditemukan dalam kutipan Mahatma Gandhi yang disebutkan di atas. Gandhi menyatakan bahwa kebencian membawa kehancuran, sedangkan cinta adalah kekuatan positif yang memberi, menyembuhkan, dan menjadi dasar kehidupan. Pesan ini menjadi pengingat penting tentang integritas, pengendalian diri, dan komitmen untuk menjunjung nilai-nilai kebenaran dalam konteks etika dan pencegahan korupsi. Untuk menjadi agen perubahan dalam mencegah korupsi dan pelanggaran etika, hal pertama yang harus dilakukan adalah memimpin diri sendiri dengan baik. Memimpin diri sendiri berarti memiliki kesadaran penuh tentang prinsip pribadi Anda, berkomitmen pada kejujuran, dan keberanian untuk menolak keinginan yang dapat melanggar moral atau hukum.

PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Mahatma Gandhi, seorang pemimpin spiritual dan reformis sosial India, adalah simbol keteladanan dalam menjalankan prinsip Ahimsa (anti-kekerasan) dan pemurnian diri. Inisiatif ini sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan pribadi dan profesional, terutama sebagai agen perubahan untuk mencegah pelanggaran etika dan korupsi. Gandhi menekankan pentingnya pemurnian diri sebagai syarat utama menjalankan Ahimsa. Langkah pertama dalam mencegah korupsi adalah introspeksi diri untuk menghilangkan keangkuhan, keserakahan, dan ketidakjujuran. Jika seseorang memiliki kecenderungan untuk melanggar etika, mereka tidak dapat menjadi agen perubahan.

Ahimsa, yang berarti "tanpa kekerasan", adalah proses pemurnian diri. Agar cinta terhadap Tuhan dan sesama benar-benar berkembang, rendah hati adalah satu-satunya cara untuk mewujudkan non-kekerasan. Selain itu, seseorang harus memiliki hati yang tulus, bebas dari kebencian, dan tidak memiliki maksud buruk. Selain itu, pemurnian diri membutuhkan konsistensi dalam prinsip. Ini berarti nilai-nilai Ahimsa harus diterapkan pada semua aspek kehidupan, bukan hanya sebagai pembicaraan, tetapi juga sebagai tindakan. Ahimsa cenderung menyebarkan nilai-nilai positif ke tempat yang baik dan harmonis ketika digunakan dengan benar.

PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Dikenal sebagai seorang pemimpin besar, Mahatma Gandhi menanamkan nilai-nilai Ahimsa, atau tanpa kekerasan, sebagai bagian dari proses evolusi manusia menuju tatanan hidup yang lebih baik. Kesuksesannya dalam memimpin diri sendiri dan menjadi agen perubahan dapat menjadi inspirasi untuk menghindari pelanggaran etika dan korupsi dalam hidup dan karir kita.

1. Sebagai kondisi evolusi manusia dari Himsa ke Ahimsa

Prinsip inti dari ajaran Gandhi adalah Ahimsa, yang berarti nir-kekerasan. Di sini, Gandhi menjelaskan bahwa manusia telah berkembang dari perilaku destruktif (Himsa, yang berarti kekerasan) menuju Ahimsa, yang berarti nir-kekerasan. Ahimsa menolak kekerasan dalam konteks ini selain kekerasan fisik. Itu juga menolak kekerasan mental, sosial, dan sistemik. Ahimsa relevan di dunia modern untuk membangun tatanan sosial yang damai dan permanen di mana penghormatan terhadap sesama menjadi prioritas utama. Ini sangat penting untuk membangun pemerintahan dan tata kelola masyarakat yang berintegritas.

2. Paradoks sisi lain sifat manusia ("kebinatangan"), bergerak dalam naluri

Sisi gelap manusia sifat naluriah yang mirip dengan "kebinatangan" dibahas dalam poin ini. Sifat ini melibatkan dorongan untuk bertindak berdasarkan insting dan emosi, yang sering mengarah pada kekerasan, pelanggaran etika, dan egoisme. Gandhi percaya bahwa melalui Ahimsa, manusia dapat mengatasi sifat naluri mereka dan menjalani kehidupan yang lebih bermoral dan harmonis. Ini membutuhkan kontrol diri, refleksi, dan komitmen untuk melawan dorongan naluriah yang berbahaya. Dalam hal pencegahan korupsi, ini berarti mengendalikan sifat egois dan serakah, yang sering kali menjadi dasar tindakan korupsi. Ahimsa membantu menegakkan prinsip empati dan keadilan.

PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
Memahami ajaran Mahatma Gandhi tentang "Ahimsa" sebagai pemurnian diri dan wujud cinta terbaik pada umat manusia dan memaknainya sebagai landasan transformasi diri menjadi agen perubahan yang berfungsi untuk mencegah korupsi. Dengan menerapkan ungkapan Gandhi bahwa "Ahimsa" berarti "tanpa kekerasan dan kebencian, tanpa kejahatan, tanpa musuh" dalam tekad saya untuk memerangi korupsi bukan dengan kebencian, melainkan dengan kesadaran dan pemahaman. Saya memahami ajaran Mahatma Gandhi tentang "Ahimsa" sebagai pemurnian diri dan wujud cinta terbaik pada umat manusia dan memaknainya sebagai landasan transformasi diri menjadi agen perubahan yang berfungsi untuk mencegah korupsi. Saya menerapkan ungkapan Gandhi bahwa "Ahimsa" berarti "tanpa kekerasan dan kebencian, tanpa kejahatan, tanpa musuh" dalam tekad saya untuk memerangi korupsi bukan dengan kebencian, melainkan dengan kesadaran dan pemahaman. Prinsip Gandhi bahwa "tidak ada kawan atau lawan" telah menjadi komitmen saya saat saya menghadapi situasi yang mungkin melibatkan korupsi dalam perjalanan karir saya. Ini berarti bahwa saya tidak akan memandang rekan kerja saya yang mungkin terlibat dalam korupsi sebagai musuh yang harus dihancurkan, tetapi sebagai sesama manusia yang perlu dibimbing kembali ke jalan yang benar. Saya akan berfokus pada "meyakinkan lawan pada ketidakadilan" daripada menghukum atau membenci, seperti yang diajarkan Gandhi.

PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Pemimpin India mengambil inspirasi dari filosofi Ahimsa, yang mengajarkan kita bahwa perubahan positif tidak selalu memerlukan kekuatan atau tekanan. Saya berkomitmen untuk memulai dari diri saya sendiri dengan menerapkan prinsip "pemurnian diri", yang berarti menjaga integritas dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan, dalam upaya saya menjadi agen perubahan untuk mencegah korupsi dan pelanggaran etik. Keteguhan untuk mempertahankan prinsip etika dan anti-korupsi akan memiliki dampak yang lebih besar dan berkelanjutan daripada tindakan konfrontatif, seperti halnya kekuatan Ahimsa selalu unggul atas kekerasan.

Saya akan terus menekankan bahwa kesuksesan dapat dicapai tanpa melanggar etika dan bahwa kejujuran bukanlah kelemahan melainkan kekuatan dalam perjalanan hidup dan karir saya ke depan. Berdasarkan prinsip ini, tidak ada kata "kalah" karena tujuan utamanya bukanlah mengalahkan orang lain; sebaliknya, tujuannya adalah memberi teladan dan inspirasi bagi orang lain untuk berubah. Perubahan positif yang dimulai dari diri sendiri dan dilakukan dengan konsisten dan tanpa kekerasan pada akhirnya akan menghasilkan gelombang transformasi yang jauh lebih besar dalam menghentikan korupsi dan pelanggaran etika di masyarakat.

PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
Dalam perjuangan Satyagraha, berkomitmen untuk menjadi agen perubahan yang memerangi korupsi dan pelanggaran etika dengan kekuatan jiwa dan kebenaran, tanpa kekerasan atau kebencian. Dengan meneladani prinsip Ahimsa Mahatma Gandhi akan mempertahankan prinsip integritas sepanjang hidup dan karir , seperti Gandhi, yang melakukan pembangkangan sipil secara damai di tahun 1930-an dan menolak berkompromi dengan ketidakadilan. Ini berarti berani menolak segala jenis korupsi dan pelanggaran etika, tidak peduli seberapa kecil. Saya akan mengambil inspirasi dari keteguhan Gandhi, yang rela memboikot semua barang yang bertentangan dengan prinsipnya, ketika saya dihadapkan pada keinginan atau tekanan untuk melakukan tindakan yang tidak etis.

PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
PPT Modul Dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Pesan utama Mahatma Gandhi termasuk tujuh dosa sosial: kekayaan tanpa kerja, kesenangan tanpa moralitas, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas, ilmu tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip. Nilai-nilai ini dapat membantu mencegah pelanggaran etika dan korupsi dalam hidup dan karier.

Langkah pertama menuju menjadi agen perubahan adalah menumbuhkan kesadaran diri dan pengendalian diri. Ini berarti bahwa harus menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan tidak tergoda oleh perjanjian yang melanggar etika. konsep "TeknoGandhian Philosophy" yang menggabungkan keharmonisan dengan alam, kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan kesadaran diri. Hal ini mendorong kita untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan dan bermoral dengan menggabungkan teknologi dengan moralitas dan kesederhanaan. Dengan menganut prinsip-prinsip seperti etika bisnis, etika ilmu, dan prinsip politik, mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam memerangi korupsi. Melawan tekanan sosial yang tidak etis diperlukan dalam peran ini. Mulailah dengan hal-hal kecil, seperti mengambil keputusan dengan hati nurani dan bersikap adil di tempat kerja atau di bisnis Anda.

DAFTAR PUSTAKA 

Gandhi, M. K. (2022). An Autobiography or The Story of My Experiments with Truth. Autobiography or The Story of My Experiments with Truth, 37--38. https://doi.org/10.12987/9780300238402-004

Ghosal, D. (2018). PHILOSOPHICAL FOUNDATIONS OF MAHATMA GANDHI ' S SOCIAL AND POLITICAL THOUGHT: AN APPRAISAL. 14--19.

Issue, S. (2020). Mahatma Gandhi Central Universitv Journal of Social Sciences. I(2).

Jahanbegloo, R. (2018). Gandhi and the Khilafat. The Global Gandhi, 67--79. https://doi.org/10.4324/9780429491320-8

Poerbasari, A. S. (2007). Nasionalisme Humanistis Mahatma Gandhi. Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, 9(2), 173. https://doi.org/10.17510/wjhi.v9i2.211

Siswadi, G. A. (2022). Filsafat Nir-Kekerasan Dalam Perspektif Mohandas Karamchand Gandhi Dan Relevansinya Dalam Pencegahan Gerakan Radikalisme Di Indonesia. Satya Widya: Jurnal Studi Agama, 5(2), 48--65. https://doi.org/10.33363/swjsa.v5i2.875

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun