Mohon tunggu...
BUNGA DEA RANIA RIZKI
BUNGA DEA RANIA RIZKI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010147

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB | Dosen Pengampu: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak | Universitas Mercu Buana Jakarta | Prodi S1 Akuntansi | Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

20 November 2024   17:17 Diperbarui: 20 November 2024   17:17 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi juga kerap kali dianggap sebagai bagian dari "budaya kerja" di lingkungan pemerintahan dan bisnis, di mana setiap orang yang terlibat dalam proses birokrasi atau proyek besar merasa bahwa menerima gratifikasi atau suap adalah hal yang wajar. Pada banyak kesempatan, norma ini diperkuat oleh keyakinan bahwa "semua orang juga melakukannya" dan bahwa tidak ada cara untuk menghindari korupsi dalam sistem yang ada. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, karena para pejabat dan masyarakat sering kali tidak merasa bersalah atas tindakan mereka.

Korupsi juga kerap kali dianggap sebagai bagian dari "budaya kerja" di lingkungan pemerintahan dan bisnis, di mana setiap orang yang terlibat dalam proses birokrasi atau proyek besar merasa bahwa menerima gratifikasi atau suap adalah hal yang wajar. Pada banyak kesempatan, norma ini diperkuat oleh keyakinan bahwa "semua orang juga melakukannya" dan bahwa tidak ada cara untuk menghindari korupsi dalam sistem yang ada. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, karena para pejabat dan masyarakat sering kali tidak merasa bersalah atas tindakan mereka. Dalam lingkungan seperti ini, korupsi menjadi terinternalisasi sebagai bagian dari cara beroperasi dalam sistem yang ada, bukan sebagai pelanggaran hukum atau etika. Oleh karena itu, individu yang terlibat dalam praktik korupsi sering kali tidak merasa tertekan oleh rasa bersalah, karena mereka melihat perilaku tersebut sebagai hal yang tidak terhindarkan atau bahkan bagian dari budaya organisasi mereka.

Lebih jauh lagi, persepsi bahwa korupsi adalah "hal yang biasa" membuat banyak orang merasa bahwa mereka tidak akan berhasil atau memperoleh akses yang mereka butuhkan tanpa melakukan suap atau gratifikasi. Hal ini memperburuk ketimpangan yang ada dalam masyarakat dan menciptakan ketidakadilan yang semakin mendalam, karena hanya mereka yang memiliki kekuasaan atau kedekatan dengan pejabat tertentu yang bisa menikmati keuntungan dari sistem tersebut. Masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum dan pemerintah karena mereka merasa bahwa setiap usaha untuk melawan atau melaporkan tindakan korupsi akan sia-sia, mengingat banyaknya individu yang terlibat dan minimnya penegakan hukum yang tegas. Dengan demikian, ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan sistem hukum semakin menguat, memperparah ketidakadilan sosial.

Lingkaran setan ini semakin sulit diputus karena adanya ketidakberdayaan individu yang terlibat di dalamnya. Banyak pihak yang merasa bahwa mereka hanya mengikuti pola yang ada, bukan sebagai aktor yang mengambil keputusan secara sadar untuk melakukan tindakan ilegal. Korupsi yang terjadi dalam lingkungan pemerintahan atau bisnis sering kali melibatkan banyak orang, dengan setiap pihak merasa bahwa mereka hanya "bermain" dalam sistem yang sudah ada. Jika seorang pejabat menerima gratifikasi atau suap sebagai hal yang wajar, maka mereka akan melibatkan pihak lain, seperti pengusaha atau birokrat, yang kemudian memperkuat sistem tersebut. Sering kali, individu yang terlibat dalam praktik-praktik ini tidak melihat adanya pilihan lain, karena mereka merasa bahwa jika mereka tidak mengikuti pola tersebut, mereka akan kalah dalam persaingan atau bahkan kehilangan pekerjaan. Kondisi inilah yang membuat budaya korupsi semakin mengakar dan sulit untuk diberantas, karena tidak hanya melibatkan pihak-pihak yang berada di posisi tinggi, tetapi juga banyak pihak di level yang lebih rendah yang merasa terpaksa ikut terlibat.

Bagaimana Penerapan Pendekatan Klitgaard dan Bologna dalam Kasus Korupsi di Indonesia?

Untuk memahami bagaimana pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna dapat diterapkan pada kasus-kasus korupsi yang telah terjadi di Indonesia, kita akan melihat dua contoh kasus besar yang telah diputuskan oleh pengadilan. Kedua kasus ini menggambarkan secara jelas bagaimana elemen-elemen yang dijelaskan oleh Klitgaard dan Bologna berperan dalam menciptakan lingkungan yang memfasilitasi korupsi.

Kasus 1: Kasus Korupsi Muhammad Nazaruddin

Salah satu contoh kasus besar yang melibatkan korupsi di Indonesia adalah kasus mantan anggota DPR, Muhammad Nazaruddin. Nazaruddin terlibat dalam serangkaian praktik korupsi yang mencakup suap dan penyalahgunaan proyek-proyek infrastruktur besar yang dikelola oleh pemerintah. Kasus ini mencuat pada tahun 2012, ketika Nazaruddin terungkap terlibat dalam pengaturan proyek-proyek besar dengan cara yang melibatkan perusahaan-perusahaan yang ia kontrol atau yang dimiliki oleh orang-orang terdekatnya. Dalam hal ini, kita dapat melihat penerapan tiga elemen utama yang diungkapkan oleh Klitgaard.

Pertama, monopoli kekuasaan. Nazaruddin memiliki kontrol besar dalam distribusi proyek-proyek pemerintah. Ia menggunakan kedudukannya untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui perusahaan-perusahaan yang ia miliki. Dengan mengontrol alokasi proyek, ia bisa memanipulasi tender dan meminta suap dari perusahaan-perusahaan yang memenangkan kontrak. Hal ini sangat sejalan dengan pemahaman Klitgaard bahwa korupsi sering kali muncul ketika seseorang memiliki terlalu banyak kekuasaan dan bisa mengatur keputusan penting tanpa pengawasan.

Kedua, rendahnya akuntabilitas. Selama masa jabatannya, Nazaruddin berhasil menghindari pengawasan yang memadai dari lembaga terkait. Banyak pihak yang terlibat dalam skema ini, namun tidak ada yang menyadari atau cukup memperhatikan aliran uang yang keluar masuk dalam proyek tersebut. Lembaga pengawasan dan audit yang ada tidak cukup kuat untuk mendeteksi dan menghentikan praktik-praktik korupsi ini. Model Klitgaard yang menunjukkan bahwa sistem yang lemah dalam hal akuntabilitas memberi peluang bagi korupsi untuk berkembang dengan bebas sangat relevan dalam kasus ini.

Ketiga, insentif yang rendah. Sebagian besar pejabat publik yang terlibat dalam skema ini memiliki penghasilan tetap yang jauh dari cukup untuk memenuhi gaya hidup mereka. Gaji yang rendah dibandingkan dengan potensi uang yang berputar di sektor-sektor proyek besar membuat mereka merasa terdorong untuk mencari pendapatan tambahan, yang sering kali datang dalam bentuk suap dan gratifikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun