Mohon tunggu...
Bunga Aulia Juhedi
Bunga Aulia Juhedi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Graduate accounting student. Passionate in organizing people and teaching.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

RUU PT, Lalu Kenapa?

20 April 2012   21:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:21 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang telah dibahas pada Economica Papers 46, pada 31 Maret 2010, setelah Majelis Konstitusi mencabut Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), status badan hukum UI semakin tidak jelas. Apakah kembali menjadi menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) seperti sebelum UU BHP dicabut–PP Nomor 152 Tahun 2000? Apakah sesuai keputusan Kementerian Pendidikan Nasional sehingga menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang pengelolaan keuangannya seperti Badan Layanan Umum (BLU)? Atau apakah mengikuti apa yang ada di Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT)? Kalau memang RUU PT disahkan, lalu kenapa?

Alasan pertama penolakan oleh pihak yang kontra adalah biaya kuliah yang diprediksi semakin tinggi. Padahal pada pasal 88 ayat (3) RUU PT sudah dijelaskan bahwa mahasiswa hanya diperbolehkan menanggung biaya operasional penyelenggaraan pendidikan paling banyak 1/3. Mari coba asumsikan biaya operasional berkuliah adalah Rp15juta, berarti UI sudah benar memberlakukan biaya kuliah sebesar Rp5juta–untuk jurusan sosial. Ditambah terdapat mekanisme BOP-B yang juga sudah berjalan di UI, agaknya mahasiswa dapat dikatakan sudah siap dan mampu membayar kuliah sesuai kemampuan–dengan catatan BOP-B memang berjalan adil dan transparan.

Selanjutnya, justru RUU PT terbaru menghilangkan kredit mahasiswa yang sebenarnya dapat menjadi alternatif bantuan bagi mahasiswa yang membutuhkan bantuan biaya kuliah. Di UI sendiri, program kredit mahasiswa sudah diberikan selama 4 periode oleh Yayasan Daya Bhina Pendidikan UI (YDBP UI). Adapun bentuknya adalah penerima soft loan akan menerima pelatihan-pelatihan dan uang saku Rp1juta/bulan sampai akhir semester 8, dengan skema pengembalian dalam waktu 10 tahun pasca selesai mengikuti program tersebut. Penerima soft loan tersebut juga diberi jangka waktu dua tahun pasca lulus sebelum mulai mencicil. Namun pihak yang kontra lagi-lagi berpikir kalau bisa diberikan bantuan secara langsung kenapa harus meminjam? Padahal dengan kredit mahasiswa ini justru dapat mendorong mahasiswa tersebut serius berkuliah demi mendapat pekerjaan yang bagus untuk kemudian dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Hal ini menjadi lebih baik dibanding terus-menerus menyuapi ego mahasiswa yang hanya menunggu bantuan datang.

Alasan selanjutnya penolakan RUU PT ini adalah terkait status ketenagaan perguruan tinggi. Pasal 60 ayat (2) mengesankan dosen dan tenaga kependidikan memiliki double status: pegawai negeri sipil (PNS) dan/atau pegawai tidak tetap. Maka dari itu, demo pegawai yang selama ini terjadi memang menuntut kejelasan status tersebut. Ada kekhawatiran tersendiri jika memang ternyata status mereka adalah pegawai tidak tetap. Artinya, tidak ada pensiun yang secara otomatis akan diberikan negara jika mereka selesai bekerja sebagai ketenagaan UI. Padahal lagi-lagi ada sisi lain yang dapat diambil, pegawai harus berkinerja baik dan kompetitif untuk bertahan bekerja di UI.

Kembali lagi kepada mahasiswa, alasan ketiga penolakan RUU PT pada awalnya adalah dikhawatirkan terjadinya pengulangan episode Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) layaknya rezim orde baru. Padahal lagi-lagi hal ini hanyalah kekhawatiran yang berlebihan. Sebelum diperbaharui dan dihilangkan dari RUU PT, terkesan organisasi kemahasiswaan terlalu banyak diatur oleh Peraturan Menteri lebih lanjut, namun jika melihat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan RI Nomor 155/U/1998 tidak ada hal yang mengarah ke NKK/BKK. Sebaliknya organisasi kemahasiswaan malah dituntut untuk memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan mempertanggungjawabkan akuntabilitas penggunaan dana dalam kegiatannya, yang berarti bagus bahwa mahasiswa tidak hanya berkoar meminta transparansi universitas ataupun pemerintah.

Terakhir, alasan penolakan RUU PT adalah terkait status pengelolaan yang bertujuan nirlaba, namun diperkenaan memiliki badan usaha. Lagi-lagi ada kekhawatiran ekstrim di sini bahwa perguruan tinggi akan bangkrut ketika usaha tersebut pailit. Padahal menurut RUU PT terbaru yang sedang dibahas dinyatakan dalam penjelasan pasal 85 ayat (1) bahwa badan usaha tersebut sebaiknya memiliki aset dan kekayaan yang terpisah dengan aset dan kekayaan perguruan tinggi yang mendirikannya. Selain itu, bukankah ada sisi baiknya ketika perguruan tinggi memiliki usaha sendiri di luar pendidikan? Uang yang nantinya masuk toh hanya diperbolehkan untuk perbaikan mutu dan fasilitas pendidikan. Jangan sampai perguruan tinggi terus-menerus mengandalkan kucuran dana dari pemerintah yang tentunya butuh birokrasi panjang untuk sampai cair ke tangan kampus seperti zaman status PTN dahulu.

Dapat disimpulkan, bukan berarti kita harus memandang kontra sepenuhnya apa-apa yang dibuat oleh pemerintah. Pada dasarnya akan selalu ada maksud baik dari pemerintah dari RUU PT ini, yang dapat kita lakukan adalah terus skeptis dalam mengawalnya demi kejelasan payung hukum kampus UI tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun