Mohon tunggu...
Bunga Rampai
Bunga Rampai Mohon Tunggu... -

Yuk, perbaiki!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Baik-Buruk, Benar-Salah; dari Abstrak di Kepala hingga Membudaya

22 Juli 2014   14:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:36 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Cara pandangku, ada beberapa tahap dalam proses pemikiran mulai dari bentuk abstrak dikepala hingga kasat mata; yaitu falsafah, konsep, rancang bangun, implementasi dan pembentukan budaya.

Falsafah berasal dari alam bawah sadar manusia tentang baik-buruk, benar-salah.  Bakat lahir dan budaya (pengaruh masyarakat sekitar dan asing) mempengaruhi bawah sadar seseorang atau intuisi.  Banyak orang yang berpikir bahwa itu kerja "hati" atau "perasaan".   Bagiku perasaan bukan tentang mencari baik-buruk, benar salah tapi tentang suka-tak suka, senang-susah.  Atau dalam istilah bahasa Inggris, "sense" lebih pas untuk menggambarkan bawah sadar, bukan "feeling".

Seperti yang dibicarakan kang Ujang Bandung dalam tulisannya di Kompasiana "Logika Sang Pengagum Liberalisme", baik-buruk, benar-salah menurut liberalis (cara pikir liberalisme yang diusung oleh Barat)  mengikuti kepemilikan/penguasaan keduniawian.  Misalnya kalau Upin lebih kaya dan/atau lebih berkuasa  daripada Ipin maka Upin adalah benar dan Ipin salah.   Jadi falsafah liberalisme menuruti kebendaan (keduniawan semata).  .  Juga,  liberalis menganut paham "ikutilah hati(follow your heart/feeling)",  yang menurutku tak pas karena definisi :"feeling" sesuai di atas.  Terjemahannya mungkin saja menjadi " ikutilah hawa nafsumu tentang apa yang kau suka dan senangi".  Jadi hal itu tentang suka-tak suka, senang-susah,  bukan tentang baik-buruk, benar-salah lagi.  Lagipula ikuti hati tanpa pikir panjangpun dalam istilah bahasa Inggris disebut Impulsive (impulsif) yang dianggap tak baik.

Sedangkan kita punya falsafah Pancasila yang belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena mulai dari kemerdekaan Indonesia falsafah kita mengikuti alam pikiran asing  (seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme,  demokrasi, syariah).    Menurut sila 1, jika  keduniawian semata tanpa keilahian maka itu tak baik.  Yang baik adalah dunia untuk Ilahi.    Menurut sila 2, jika berperikemanusiaan yang beradab maka baik.  Tak beradab, tak manusiawi maka tak baik.   Menurut sila 3, jika perbedaan (keberagaman) menyebabkan perpecahan maka tak baik.  Jika perbedaan (keberagaman) tak mengancam persatuan maka baik.   Menurut sila 4, jika perselisihan diselesaikan dengan kekerasan maka tak baik.  Jika perselisihan diselesaikan dengan musyawarah untuk mencari kemufakatan maka baik.   Menurut sila 5, jika sesuatu adil maka itu baik dan tak adil adalah tak baik.  Misalnya, kemufakatan akan tercapai jika dirasa (sensed) adil bagi pihak-pihak yang berseberangan kepentingan.

Setelah falsafah ada konsep.  Dari tataran konsep (akademis) apa yang ditangkap secara intuisi (bawah sadar) tentang baik-buruk, benar-salah ini dijabarkan atau diberi definisi, batasan dalam alam sadar (conscious mind)/analytical thinking.  Misalnya, apa itu keilahian.  Karena tahyulpun bicara tentang gaib, apakah tahyul termasuk keilahian atau tidak.  Apakah keberadaban, kemanusiaan.  Bagaimana sesuatu dianggap manusiawi dan mana yang tidak. Begitu pula, apakah itu adil.  Bagaimana membedakan adil dan standar-ganda.   Bagaimana membedakan adil dan dendam kesumat.  Bagaimana membedakan adil dan menganiaya orang (membuat kapok).

Berikutnya setelah konsep adalah rancang bangun (disain).  Menurut batasan-batasan tersebut dibuatlah inovasi struktur-struktur dan mekanisme sosialnya.  Misalnya, apakah harus selalu menggunakan struktur pemerintahan (otoritarian) untuk membuat suatu masyarakat teratur (walaupun bebas memilih kehidupan individunya sendiri tapi teratur dalam hubungan antar individu) atau ada struktur bentuk lain.  Misalnya masyarakat yang patuh kepada perjanjian (kemufakatan) yang ia buat bersama agar hubungan antar individu/kelompok teratur dan tertib (atau yang disebut damai) adalah alternatif lain menggantikan masyarakat berpolitik.   Jadi bukan masyarakat yang patuh kepada idola yang disebut "pemimpin" yang notabene manusia seperti yang lain yang sangat cepat bisa salah jika diberi kekuasaan  ("beri sedikit kekuasaan kepada manusia dan kita akan merusak" yang menjadi sifat manusia).    Sedangkan penanggungjawab untuk menjaga kemufakatan tersebut tak perlu otoritas (seperti pemerintah) tetapi komite (yang diserahi mandat) misalnya.  Tugas penanggungjawab juga menyediakan mediasi untuk perselisihan-perselisihan antar kelompok dalam masyarakat.

Kemudian implementasi dari rancang bangun kedalam bentuk praktek.  Praktek yang berlangsung secara kontinyu, terus-menerus, turun-temurun ini akhirnya membentuk budaya.

Siklus dapat diulangi lagi.  Yaitu budaya dievaluasi secara falsafah untuk dicari baik-buruk, benar-salahnya untuk perbaikan budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun