Mohon tunggu...
Asa  Wahyu  Setyawan Muchtar
Asa Wahyu Setyawan Muchtar Mohon Tunggu... Guru honorer -

Asa Wahyu Setyawan Muchtar lahir di Malang, 1971. Cerita pendeknya Kastawi Budhal Perang dimuat dalam buku Pidato Tengah Malam, Dukut Imam Widodo, penerbit Dukut Publishing, Surabaya, 2015. Sebagian tulisannya bertema seni budaya dan pendidikan dipublikasikan di harian pagi Malang Post, majalah Berkat (Surabaya). Intens mengaransemen beberapa lagu ( khususnya bertema rohani) dan pernah ditampilkan dalam Pesta Vocal Group Antar Gereja (Peskaldag) tahun 2013 dan 2015 di Malang. Sebagai guru honorer seni budaya dan menjadi peserta aktif dalam Diklat P4TK Seni dan Budaya di Sleman, Jogjakarta tahun 2010 dan 2012. Kini bermukim di Kebonagung Malang. Didapuk sebagai Ketua 1 Eklesia Prodaksen Kebonagung Malang dan penggagas Kelas Menulis di Kebonagung. Bersama tim Eklesia Prodaksen sedang menyiapkan Festival Budaya Kebonagung tahun 2016 dan Antologi Kebonagung yang menghimpun berbagai tulisan dan fotografi tentang Kebonagung. Konsep: Ikutilah kemana imajinasimu mengembara, dan ciptakanlah karya disitu tanpa batasan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jamput

23 Desember 2017   14:19 Diperbarui: 23 Desember 2017   14:29 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu, sebutir batu depan teras rumah mulai tergeletak rapi terantuk oleh kaki kecilku.

Dan,  hampir saja terjerembab tubuhku karenanya.

Terhalanglah jalanku.....!

Aku menggerutu sambil mengumpat......!

Berburuk sangka menanya gerang an peletak batu sandungan itu

Semenit berlalu, teman seiring kutuntun melalui jalan menurun dalam ruang pendek agak pengab dan sebagian sudut terasa hangat oleh deru mesin diesel......!

Tidakkah tempat ini lebih baik dan cukup luas untuk menumpuk batu berserak depan pintu teras rumah?

Berbayar berselisih seribu sahaja, kau korbankan kakiku terantuk dan langkahku terhenti memilih jalan.

Satu sebab...

Kau berbilang tak perlu repot menumpuk pada tempat semesti.

Kau berbilang biar cepat memungut kembali untuk pergi.

Kau berbilang tak perlu berbayar selisih seribu pada tukang berompi ......!

Sekali lagi, 

Tapi kaupun memaksa menumpuk disitu sampai kereta melambat melaju.........!

              

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun