Mohon tunggu...
Asa  Wahyu  Setyawan Muchtar
Asa Wahyu Setyawan Muchtar Mohon Tunggu... Guru honorer -

Asa Wahyu Setyawan Muchtar lahir di Malang, 1971. Cerita pendeknya Kastawi Budhal Perang dimuat dalam buku Pidato Tengah Malam, Dukut Imam Widodo, penerbit Dukut Publishing, Surabaya, 2015. Sebagian tulisannya bertema seni budaya dan pendidikan dipublikasikan di harian pagi Malang Post, majalah Berkat (Surabaya). Intens mengaransemen beberapa lagu ( khususnya bertema rohani) dan pernah ditampilkan dalam Pesta Vocal Group Antar Gereja (Peskaldag) tahun 2013 dan 2015 di Malang. Sebagai guru honorer seni budaya dan menjadi peserta aktif dalam Diklat P4TK Seni dan Budaya di Sleman, Jogjakarta tahun 2010 dan 2012. Kini bermukim di Kebonagung Malang. Didapuk sebagai Ketua 1 Eklesia Prodaksen Kebonagung Malang dan penggagas Kelas Menulis di Kebonagung. Bersama tim Eklesia Prodaksen sedang menyiapkan Festival Budaya Kebonagung tahun 2016 dan Antologi Kebonagung yang menghimpun berbagai tulisan dan fotografi tentang Kebonagung. Konsep: Ikutilah kemana imajinasimu mengembara, dan ciptakanlah karya disitu tanpa batasan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sate Gule Tamjid Kebonagung

16 Desember 2015   12:58 Diperbarui: 16 Desember 2015   15:37 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

“Belum makan sate jika tidak makan sate di Tamjid”

BERAWAL dari seorang Tamjid (lahir 1917) memulai usaha bakar arang dan beralih profesi menjadi blantik kambing yang cukup terkenal tahun 1960-an.Pak Tamjid berasal dari Dusun Sonosari Desa Kebonagung (kerabat dekat dengan Pak Sukri, mantan Kades Kebonagung). Kemudian memulai kembali usaha menjadi penjual sate yang awalnya bertempat di Jl.Wagir, utara PG Kebonagung. Tahun 1968 membeli rumah di Jl.Raya Kebonagung (depan GKI Kebonagung) milik Pak Ali, juga seorang penjual sate. Pak Ali juga membuka usaha warung sate di rumah tersebut. Dalam perjalanan Pak Tamjid mempromosikan warung sate gulenya, memakai cara marketing yang unik. Pak Tamjid setiap bertemu dengan sahabat-sahabatnya selalu memberi sejumlah uang pada sahabatnya. Uang tersebut untuk membeli sate gule di warungnya. Itulah cara Pak Tamjid mempromosikan warung sate gulenya. Alhasil,promosi tersebut berhasil mendongkrak omzet penjualan warung sate gulenya. Sehingga muncul tagline: Belum makan sate jika tidak makan sate di Tamjid.

Tahun 70-an hingga 80-an, Warung Sate Tamjid sangat dikenal sepanjang perjalanan Malang-Blitar. Menurut penuturan Agus Heri Santoso, anak Pak Tamjid dari pernikahannya dengan Ibu Mukti, tahun 90-an merupakan jujugan para TKW yang pulang ke daerah asalnya (Malang Selatan, Blitar, Tulungagung) selalu mampir. Dan mereka mendapatkan informasi dari teman-teman mereka sesama TKW. Pola promosi dari satu TKW ke TKW yang lain itu terjadi hingga hari ini. Ihwal nama Warung Sate Monggo Kerso merupakan nama yang diberikan sahabat Pak Tamjid bernama Pak Ali dari Watudakon Kendalpayak. Meski nama Pak Tamjid tidak muncul di papan nama, namun demikian nama Warung Sate Tamjid sangat dikenal masyarakat.

Keistimewaan di Warung Sate Monggo Kerso adalah lebih pada racikan gule nya. Namun demikian, rasa sate kambingnya juga nikmat karena racikan bumbunya tidak menggunakan santan tetapi menggunakan koya. Ada menu yang tidak disajikan saat ini yaitu “petisan”. Merupakan campuran gule dengan sayur lainnya seperti tewel, kacang, dsb yang dibumbui lagi dan dimasak berulang-ulang.

Ada beberapa konsumen yang berada di luar Malang (Kalimantan, Surabaya, Jakarta) mengajak keluarganya untuk menikmati sate gule Monggo Kerso. Dapat dicatat beberapa nama yang pernah menikmati kelezatan di warung sate Monggo Kerso: pelawak Suroto, Cak Kartolo cs (setiap kali tampil di Malang atau melewati Kebonagung selalu mampir), kru Opera Van Java, dalang wayang golek yang kerap muncul di acaranya Sule, pelawak Tarzan, pelawak Topan Lesus, budayawan Djathi Kusumo, dan Iwan Budianto Arema. Semuanya mengakui cita rasa sate gule Monggo Kerso.

Ainulia Ubayani, istri Agus Heri Santoso, menambahkan bahwa cita rasa warung sate Monggo Kerso tidak berubah sejak jaman Warung Sate Tamjid, dengan racikan bumbu-bumbu tradisionalnya.

Dapat dicatat disini bahwa Warung Sate Gule “ Tamjid” Monggo Kerso adalah salah satu ikon wisata kuliner di Desa Kebonagung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun