Mohon tunggu...
Asa  Wahyu  Setyawan Muchtar
Asa Wahyu Setyawan Muchtar Mohon Tunggu... Guru honorer -

Asa Wahyu Setyawan Muchtar lahir di Malang, 1971. Cerita pendeknya Kastawi Budhal Perang dimuat dalam buku Pidato Tengah Malam, Dukut Imam Widodo, penerbit Dukut Publishing, Surabaya, 2015. Sebagian tulisannya bertema seni budaya dan pendidikan dipublikasikan di harian pagi Malang Post, majalah Berkat (Surabaya). Intens mengaransemen beberapa lagu ( khususnya bertema rohani) dan pernah ditampilkan dalam Pesta Vocal Group Antar Gereja (Peskaldag) tahun 2013 dan 2015 di Malang. Sebagai guru honorer seni budaya dan menjadi peserta aktif dalam Diklat P4TK Seni dan Budaya di Sleman, Jogjakarta tahun 2010 dan 2012. Kini bermukim di Kebonagung Malang. Didapuk sebagai Ketua 1 Eklesia Prodaksen Kebonagung Malang dan penggagas Kelas Menulis di Kebonagung. Bersama tim Eklesia Prodaksen sedang menyiapkan Festival Budaya Kebonagung tahun 2016 dan Antologi Kebonagung yang menghimpun berbagai tulisan dan fotografi tentang Kebonagung. Konsep: Ikutilah kemana imajinasimu mengembara, dan ciptakanlah karya disitu tanpa batasan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jamuran, Sebuah Refleksi dari Permainan Tradisional

15 Desember 2015   23:38 Diperbarui: 16 Desember 2015   03:08 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu tujuan pembelajaran tematik terpadu adalah “ Siswa lebih bergairah belajar karena mereka dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, seperti: bercerita, bertanya, menulis sekaligus mempelajari pelajaran yang lain.

Ada syair lagu yang tidak asing bagi telinga kita yang notabene adalah masyarakat Jawa khususnya. Jamuran ya ge ge thok – Jamur apa ya ge ge thok – Jamur gajih mberjijih sak ara-ara – sira mbadhe jamur apa. Syair yang tidak begitu panjang, mudah di hafal, dan siapapun bisa menyanyikan tembang ini.

Saya teringat saat masih kecil, tembang ini begitu akrab bagi kami anak-anak gang lima (kala itu RT. 14a RK. 5) Desa Kebonagung – Kecamatan Pakisaji. Setiap sore antara jam 4 – 6 kami berkumpul di depan rumah mbah Kandar dan di depan rumah pak dhe Sumadji. Kami tidak membentuk kelompok secara gender, bahkan tidak terpikirkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Yang ada dalam pikiran kami adalah bagaimana kami bisa berkumpul dan bermain bersama. Mulai dari permainan dakon, loncat (menggunakan tali yang kami buat dengan merangkai karet gelang), jamuran, engklek, engklek gunung, bentengan, bek thor, bek ndan, sampai dengan blak sodor. Jamuran merupakan salah satu permainan yang sering dilakukan oleh anak perempuan, walaupun tidak jarang kami yang laki-lakipun ikut bergabung. Bahkan jika anak laki-laki bergabung, permainan akan semakin seru dan ramai karena tingkah laku dan gerakan anak laki-lakilah yang membuat semua menjadi tertawa.

Permaian “jamuran” diawali dengan membentuk lingkaran. Kemudian salah seorang (tanpa diminta) memimpin untuk mengajak teman yang lain menyanyikan tembang Jamuran dengan cara saling bergandengan tangan dan berjalan kesamping sesuai dengan lebar lingkaran. Pada saat berjalan, kaki kiri disilangkan ke kanan sambil badan agak direndahkan (mendek).

Lagu dinyanyikan sampai pada bait “sira mbadhe jamur apa” kemudian pemimpin tadi menyebutkan salah satu kalimat “jamur watu” misalnya, maka semua saling melepaskan tangan dan mengambil posisi tubuh diam dan kaku tetapi masing-masing anak saling memperhatikan yang lain untuk mencari anak yang bergerak atau tertawa. Jika ada, maka anak itu yang “dadi” dan berdiri ditengah lingkaran. Kemudaian permainan dilanjutkan dan memulai lagi menyanyikan tembang jamuran. Setelah bait terakhir, anak yang “dadi” tersebut menyebutkan dengan kalimat lain, jamur gagak, kemudian anak yang lain menirukan atau bergaya seperti burung gagak. Permainan dilanjutkan terus dengan kalimat yang berbeda antara jamur satu dengan jamur yang lain. Jika menyebutkan jamur yang sama atau jamur yang sudah diucapkan, maka anak yang “dadi” tersebut disuruh mencari jamur lain dan kalimat itu sebisanya dapat ditirukan gerakan atau suaranya.

Kira-kira pada tahun 1988 muda-mudi gang 5 yang kala itu mempunyai nama CIRENA “Citra Remaja Nasional” (Nasional diambil dari nama jalan untuk gang 5) mengadakan perayaan HUT RI ke-43. Seksi acara meminta kepada saya untuk menampilkan gerak dan lagu untuk anak-anak pada perayaan HUT RI tersebut. Dari permintaan teman-teman itu, akhirnya saya memilih beberapa permainan tradisional, salah satunya adalah permainan jamuran.

Berbeda dengan permainan jamuran pada umumnya, saya mencoba untuk memodifikasi menjadi tarian yang sederhana dan mudah. Tangan tidak bergandengan dan berjalan menyamping, tetapi berjalan ke depan dengan tangan kiri dipinggang sedangkan tangan kanan diayunkan ka kanan ke kiri dan telapak tangan terbuka dan posisi tangan di depan perut sambil bernyanyi berputar mengelilingi satu anak di tengah. Ternyata gerakan sederhana yang saya ciptakan tersebut disambut gembira oleh anak-anak dan mereka melakukan gerakan tersebut sambil menyanyikan tembang jamuran.

Saat ini, entah masih ingat atau tidak anak-anak yang saya ajari tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, permainan tradisional mulai tergeser oleh pesatnya perkembangan tehnologi infomatika. Anak cenderung lebih enjoy dengan permainan modern. Game on line, Play station. Tidak ada lagi halaman yang dipenuhi oleh canda tawa, tembang-tembang permainan, riuh anak berlarian.

Energi mereka lebih terserap pada permainan elektronik. Kurangnya bersosialisasi. Seakan permainan tradisional dianggap permainan jadul, tidak gaul, kurang menantang dan sebagainya.

Semua itu bisa jadi karena berbagai faktor. Semakin sempit dan kurangnya lahan untuk bermain, dan mungkin juga kurangnya “imbas” dari orang tua kepada anak-anaknya, kurangnya orang tua memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-anaknya. Sehingga anak lebih suka bermain jempol di handphone, tablet, atau android yang difasilitasi orangtua.

Memang, tidak ada yang disalahkan dalam hal ini. Semua itu karena tuntutan perkembangan zaman yang tidak bisa dipungkiri. Tetapi dengan kondisi demikian, apakah berarti kita melupakan permainan tradisional. Permainan yang sarat dengan nilai-nilai luhur. Kebersamaan, cinta alam, menghargai orange lain. Tapi ada satu hal yang perlu cermati. Selain orang tua, peran guru juga sangat besar.

Pada pembelajaran kelas dasar, banyak sekali nilai-nilai yang bisa diambil dalam sebuah permainan tradisional. Siswa tidak hanya diajak untuk bermain saja, permainan tidak hanya sebagai hiburan saja, dan bukan hanya sebagai pengisi waktu senggang saja. Tetapi permainan tradisional bisa digunakan sebagai pembelajaran. Siswa tidak hanya diajak untuk membayangkan apa yang mereka pelajari, tetapi siswa diajak untuk mengamati (observing) apa yang ada disekitar mereka. Perilaku dan kebiasannya. Menanyakan mengapa demikian, apa penyebabnya (questioning), melakukan eksperimen, mengolah informasi, kemudian mengkomunikasikan hasilnya.

Contoh dalam permainan jamuran. Sira mbade jamur apa …? Jamur gagak (kalian tebak jamur apa…? Jamur gagak). siswa mencoba menggali memori tentang binatang gagak yang sudah diamati, kemudian mengkomunikasikan kepada teman-temanya dengan gerakan yang biasa dilakukan burung gagak saat terbang, atau gerakan pada saat burung gagak bersuara, mematuk makanan. Hal-hal yang sangat sederhana, mudah dilakukan, tetapi melalui proses pembelajaran secara langsung, nyata (kontekstual).

Ada banyak unsur penilaian yang bisa diambil dalam permainan tersebut. Choir/nyanyian, tarian/gerakan, olahraga, kosakata, daya ingat, kejujuran, bersosialisasi, menghargai orang lain. Tembang yang dikumandangkan seakan merasuk dalam sanubari bagi setiap orang yang mendengarnya. Menyatu dengan alam, menikmati ciptaan Tuhan, dan kehangatan dalam kebersamaan.

Tidak terlambat rasanya jika kita sebagai pendidik (orang tua dan guru) lebih mengenalkan lagi permainan tradisional pada anak-anak. Bukan saja sebagai pengenalan budaya, tetapi lebih pada penanaman sikap dan karakter, permainan tradisional mulai menjamur kembali, semakin bertumbuh, semakin men ”jamur” nya sikap dan karakter yang baik pada anak didik. Sehingga budaya bangsa yang luhur tidak terpuruk dan tergerus oleh perkembangan zaman, tetap dapati seiring dan sejalan dengan tehnologi yang tumbuh dan berkembang dengan pesat. (*)

Oleh, WS Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun