Salah satu tujuan pembelajaran tematik terpadu adalah “ Siswa lebih bergairah belajar karena mereka dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, seperti: bercerita, bertanya, menulis sekaligus mempelajari pelajaran yang lain”.
Ada syair lagu yang tidak asing bagi telinga kita yang notabene adalah masyarakat Jawa khususnya. Jamuran ya ge ge thok – Jamur apa ya ge ge thok – Jamur gajih mberjijih sak ara-ara – sira mbadhe jamur apa. Syair yang tidak begitu panjang, mudah di hafal, dan siapapun bisa menyanyikan tembang ini.
Saya teringat saat masih kecil, tembang ini begitu akrab bagi kami anak-anak gang lima (kala itu RT. 14a RK. 5) Desa Kebonagung – Kecamatan Pakisaji. Setiap sore antara jam 4 – 6 kami berkumpul di depan rumah mbah Kandar dan di depan rumah pak dhe Sumadji. Kami tidak membentuk kelompok secara gender, bahkan tidak terpikirkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Yang ada dalam pikiran kami adalah bagaimana kami bisa berkumpul dan bermain bersama. Mulai dari permainan dakon, loncat (menggunakan tali yang kami buat dengan merangkai karet gelang), jamuran, engklek, engklek gunung, bentengan, bek thor, bek ndan, sampai dengan blak sodor. Jamuran merupakan salah satu permainan yang sering dilakukan oleh anak perempuan, walaupun tidak jarang kami yang laki-lakipun ikut bergabung. Bahkan jika anak laki-laki bergabung, permainan akan semakin seru dan ramai karena tingkah laku dan gerakan anak laki-lakilah yang membuat semua menjadi tertawa.
Permaian “jamuran” diawali dengan membentuk lingkaran. Kemudian salah seorang (tanpa diminta) memimpin untuk mengajak teman yang lain menyanyikan tembang Jamuran dengan cara saling bergandengan tangan dan berjalan kesamping sesuai dengan lebar lingkaran. Pada saat berjalan, kaki kiri disilangkan ke kanan sambil badan agak direndahkan (mendek).
Lagu dinyanyikan sampai pada bait “sira mbadhe jamur apa” kemudian pemimpin tadi menyebutkan salah satu kalimat “jamur watu” misalnya, maka semua saling melepaskan tangan dan mengambil posisi tubuh diam dan kaku tetapi masing-masing anak saling memperhatikan yang lain untuk mencari anak yang bergerak atau tertawa. Jika ada, maka anak itu yang “dadi” dan berdiri ditengah lingkaran. Kemudaian permainan dilanjutkan dan memulai lagi menyanyikan tembang jamuran. Setelah bait terakhir, anak yang “dadi” tersebut menyebutkan dengan kalimat lain, jamur gagak, kemudian anak yang lain menirukan atau bergaya seperti burung gagak. Permainan dilanjutkan terus dengan kalimat yang berbeda antara jamur satu dengan jamur yang lain. Jika menyebutkan jamur yang sama atau jamur yang sudah diucapkan, maka anak yang “dadi” tersebut disuruh mencari jamur lain dan kalimat itu sebisanya dapat ditirukan gerakan atau suaranya.
Kira-kira pada tahun 1988 muda-mudi gang 5 yang kala itu mempunyai nama CIRENA “Citra Remaja Nasional” (Nasional diambil dari nama jalan untuk gang 5) mengadakan perayaan HUT RI ke-43. Seksi acara meminta kepada saya untuk menampilkan gerak dan lagu untuk anak-anak pada perayaan HUT RI tersebut. Dari permintaan teman-teman itu, akhirnya saya memilih beberapa permainan tradisional, salah satunya adalah permainan jamuran.
Berbeda dengan permainan jamuran pada umumnya, saya mencoba untuk memodifikasi menjadi tarian yang sederhana dan mudah. Tangan tidak bergandengan dan berjalan menyamping, tetapi berjalan ke depan dengan tangan kiri dipinggang sedangkan tangan kanan diayunkan ka kanan ke kiri dan telapak tangan terbuka dan posisi tangan di depan perut sambil bernyanyi berputar mengelilingi satu anak di tengah. Ternyata gerakan sederhana yang saya ciptakan tersebut disambut gembira oleh anak-anak dan mereka melakukan gerakan tersebut sambil menyanyikan tembang jamuran.
Saat ini, entah masih ingat atau tidak anak-anak yang saya ajari tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, permainan tradisional mulai tergeser oleh pesatnya perkembangan tehnologi infomatika. Anak cenderung lebih enjoy dengan permainan modern. Game on line, Play station. Tidak ada lagi halaman yang dipenuhi oleh canda tawa, tembang-tembang permainan, riuh anak berlarian.
Energi mereka lebih terserap pada permainan elektronik. Kurangnya bersosialisasi. Seakan permainan tradisional dianggap permainan jadul, tidak gaul, kurang menantang dan sebagainya.
Semua itu bisa jadi karena berbagai faktor. Semakin sempit dan kurangnya lahan untuk bermain, dan mungkin juga kurangnya “imbas” dari orang tua kepada anak-anaknya, kurangnya orang tua memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-anaknya. Sehingga anak lebih suka bermain jempol di handphone, tablet, atau android yang difasilitasi orangtua.