Standard & Poor’s mengatakan Beijing memperlakukan proyek-proyek infrastruktur di bawah kebijakan Belt and Road itu sebagai utang dalam bentuk konsesi jangka panjang, dimana satu perusahaan China mengoperasikan fasilitas itu dengan konsesi 20-30 tahun dan membagi keuntungannya dengan mitra lokal atau pemerintah negara setempat.
Stevenson-Yang direktur riset J Capital Research mengatakan pinjaman China dikoversi dalam mata uang dolar, “tetapi pada kenyataannya pinjaman itu setara traktor, pengapalan batubara, jasa rekayasa dan hal-hal seperti itu. Kemudian mereka meminta bayaran dalam bentuk uang”.
Kementerian Keuangan Indonesia mencatat total utang pemerintah pusat hingga Januari 2020 lalu sebesar Rp 4817,5 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan posisi utang pada Januari 2019 yang mencapai Rp 4.498,6 triliun. Sementara Bank Indonesia mencatat data utang luar negeri (ULN) Indonesia hingga akhir Februari 2020 mencapai US$ 407,5 triliun atau setara Rp 6.316,2 triliun (kurs Rp 15.500 per dolar AS). ULN tersebut tumbuh 5,4 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Proporsi utang luar negeri terhadap PDB meningkat dari 29,8 persen di tahun 2018 menjadi 35,6 persen di tahun 2019.
Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia periode Agustus 2019, posisi ULN yang berasal dari China sebesar US$ 16,99 miliar. Posisi ULN dari China menempati posisi keempat. Urutan pertama ditempati Singapura yang mencapai US$ 66,46 miliar, kemudian Jepang US$ 29,36 miliar lalu Amerika Serikat US$ 22,54 miliar.
Berkaca dari kasus yang banyak terjadi di banyak negara seperti yang di sebut diatas ada baiknya negeri tercinta ini mesti banyak belajar dan mempertimbangkan dengan masak setiap kerjasama dalam bentuk bantuan ataupun pinjaman dari manapun termasuk China. Kita tidak menginginkan jika suatu saat salah satu teritori kita diklaim oleh negara lain dikarenakan kita tidak mampu membayar utang. Bisa jadi juga kalau banyaknya utang tersebut bukan semata-mata karena kebutuhan tetapi juga karena sebagian dari anak negeri ini memang bermental pengutang: “yang sangat demen jika dikasih utangan tapi soal bayar utang itu nanti dipikirkan di belakang hari”. Yang lebih mementingkan soal keinginan bukan prioritas pada kebutuhan. Atau penganut slogan; “biar tekor asal kesohor”. Atau juga penganut aliran: “jadi pengutang mesti harus jadi lebih lebih galak dari yang memberi utangan”.
Salam Indonesia Jaya.
Dikutip dari berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H