Mohon tunggu...
Markus Kristiyanto
Markus Kristiyanto Mohon Tunggu... Sales - Anak Bangsa

Membaca jadi tahu Menulis jadi paham Bertindak jadi terampil ...

Selanjutnya

Tutup

Money

Tidak Ada Makan Siang yang Gratis

27 April 2020   06:21 Diperbarui: 27 April 2020   15:26 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Standard & Poor’s mengatakan Beijing memperlakukan proyek-proyek infrastruktur di bawah kebijakan Belt and Road itu sebagai utang dalam bentuk konsesi  jangka panjang, dimana satu perusahaan China mengoperasikan fasilitas itu dengan konsesi 20-30 tahun dan membagi keuntungannya dengan mitra lokal atau pemerintah negara setempat.

Stevenson-Yang direktur riset J Capital Research mengatakan pinjaman China dikoversi dalam mata uang dolar, “tetapi pada kenyataannya pinjaman itu setara traktor, pengapalan batubara, jasa rekayasa dan hal-hal seperti itu. Kemudian mereka meminta bayaran dalam bentuk uang”.

Kementerian Keuangan Indonesia mencatat total utang  pemerintah pusat hingga Januari 2020 lalu sebesar Rp 4817,5 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan posisi utang pada Januari 2019 yang mencapai Rp 4.498,6 triliun. Sementara Bank Indonesia mencatat data utang luar negeri (ULN) Indonesia hingga akhir Februari 2020 mencapai US$ 407,5 triliun atau setara Rp 6.316,2 triliun (kurs Rp  15.500 per dolar AS).  ULN tersebut tumbuh 5,4 persen secara tahunan atau year on year (yoy).  Proporsi utang luar negeri terhadap PDB meningkat dari 29,8 persen di tahun 2018 menjadi 35,6 persen di tahun 2019.   

            Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia periode Agustus 2019, posisi ULN yang berasal dari China sebesar US$ 16,99 miliar. Posisi ULN dari China menempati posisi keempat. Urutan pertama ditempati Singapura yang mencapai US$ 66,46 miliar, kemudian Jepang US$ 29,36 miliar lalu Amerika Serikat US$ 22,54 miliar.

Berkaca dari kasus yang banyak terjadi di banyak negara seperti yang di sebut diatas ada baiknya negeri tercinta ini mesti banyak belajar dan mempertimbangkan dengan masak setiap kerjasama dalam bentuk bantuan ataupun pinjaman dari manapun termasuk China.  Kita tidak menginginkan jika suatu saat salah satu teritori kita diklaim oleh negara lain dikarenakan kita tidak mampu membayar utang. Bisa jadi juga kalau banyaknya utang tersebut bukan semata-mata karena kebutuhan tetapi juga karena sebagian dari anak negeri ini memang bermental pengutang: “yang sangat demen jika dikasih utangan tapi soal bayar utang itu nanti dipikirkan di belakang hari”. Yang lebih mementingkan soal keinginan bukan prioritas pada kebutuhan. Atau penganut slogan; “biar tekor asal kesohor”. Atau juga penganut aliran: “jadi pengutang mesti harus jadi lebih lebih galak dari yang memberi utangan”.

Salam Indonesia Jaya.

Dikutip dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun