Mohon tunggu...
Harizul Akbar
Harizul Akbar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tokyo Foundation Scholarship 2015-2016|Sekretaris Umum HMI Cab. Bulaksumur Sleman 2016|Menko Internal @bemkmugm 2014|Ketua Umum HMI Komisariat Teknik UGM|Sekjend @HMTPWK_UGM 2012|Lifelong Learner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akselerasi Pembangunan Sumber Daya Manusia demi Menuai Bonus Demografi

25 Januari 2015   23:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prologue : Indonesia dan Keadaan Manusia-nya

Suatu negara tidak mungkin bisa lepas daripada unsur-unsur pembentuknya yaitu penduduk, wilayah, pemerintah, dan kedaulatan. Begitu pula dengan Indonesia yang dikenal sebagai negara yang mempunyai jumlah penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk Indonesia adalah yang ke-empat terbesar di dunia yaitu sebesar 241 juta jiwa, setelah China (1,3 miliar), India (1,2 miliar) dan Amerika (318 juta).

Berdasarkan unsur pembentuknya, maka sumber daya manusia tentulah merupakan aset yang sangat penting bagi sebuah Negara. Tanpa adanya sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas, tidak mungkin sebuah negara bisa tumbuh menjaga negara yang unggul dan berdaulat. Sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan bermoral adalah jaminan sebuah masa depan bangsa. Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, tentu pemerintah harus ikut andil dalam menyongsong hal tersebut.

Gambar 1. Tabel Jumlah Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010

Sumber : www.bkkbn.go.id (diakses pada Januari 2015)

Jika melihat data diatas, maka diketahui bahwa dari hasil Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk Indonesia sampai tahun 2010 sebanyak 237.641.326 jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49% per tahun atau sektiar 3,2 juta jiwa per tahun. Sementara itu, rasio ketergantungan menurun dari 53,77% (Sensus Penduduk 2000) menjadi 51,31% (Sensus Penduduk 2010).  Berdasarkan paparan data diatas sesungguhnya Indonesia berada pada proses dimana bangsa ini akan mencapai sebuah keadaan dimana komposisi/proporsi penduduk usia produktif dengan usia kerja 15-64 tahun lebih besar dibanding proporsi penduduk usia tidak produktif yaitu 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas. Proporsi tersebut idealnya menggambarkan rendahnya ketergantungan (dependency ratio) penduduk usia tidak produktif terhadap penduduk usia produktif. Kondisi inilah yang biasa disebut dengan bonus demografi (demographic dividend)

Sesungguhnya jika kita cermati lebih seksama, sebagaimana umumnya sebuah “bonus”, bonus demografi tidaklah datang seketika namun merupakan dampak dari upaya yang telah dilakukan dalam jangka panjang. Berdasarkan data kependudukan dari BPS (Sensus Penduduk 2010) maka diketahui bahwa jumlah penduduk usia produktif  di indonesia adalah sekitar 66% (156 juta jiwa). Selanjutnya dalam buku Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2010-2035, BPS juga menyebutkan jika laju pertumbuhan penduduk tidak berubah, maka pada tahun 2020 Indonesia diproyeksikan akan berpenduduk sekitar 305,6 juta jiwa. Pada saat itu juga diperkirakan bahwa komposisi penduduk usia produktif akan mencapai 70% atau 2/3 jumlah total penduduk (sekitar 180 juwa jiwa). Asumsinya, jika laju pertumbuhan penduduk terus stabil maka presentasi penduduk usia produktif diharapkan bisa mencapai 70% hingga tahun 2030.

14221790641876328707
14221790641876328707

Gambar 2. Piramida Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010

Sumber : www.bkkbn.go.id (diakses pada Januari 2015)

Bonus Demografi dan Pembangunan Modal Manusia

Bonus demografi merupakan transisi demogafi yang bisa digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dengan memanfaatkan usia produktif yang lebih tinggi. Tentu ada prasyarat untuk memanfaatkan bonus demografi tersebut, antara lain bidang kesehatan masyarakat yang layak, penanganan kependudukan optimal, pendidikan baik, dan ekonomi khususnya ketersediaan tenaga kerja berkualitas yang harus memadai. Indonesia dapat menjadi negara maju melalui pemanfaatan potensi bonus demografi ini dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memperluas lapangan pekerjaan, menjaga stabilitas ekonomi makro dan menjaga stabilitas keamanan nasional.

Bonus demografi yang muncul melalui transisi demografi tersebut tentu berasal dari keberhasilan sebuah negara dalam mengendalikan jumlah penduduk, seperti di Indonesia dengan keberhasilannya menurunkan tingkat fertilitas dan meningkatkan kualitas kesehatan melalui program KB misalnya, yang telah menjadi penyebab utama kemunculan bonus demografi di Indonesia. Kesempatan ini adalah hal yang sangat menguntungkan bagi Indonesia jika benar-benar dipersiapkan. Namun dilain sisi, hal ini juga bisa menjadi bumerang bagi Indonesia jika Indonesia gagal dalam menyongsong bonus demografi.

Demografi tidak akan lepas hubungannya dengan pembangunan manusia. Oleh karena itu jika prestasi demografi Indonesia secara kuantitas (penduduk usia produkif) dinilai baik, maka yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana kualitas penduduk Indonesia saat ini. Seperti yang sudah penulis paparkan diatas bahwa sumber daya manusia adalah aset yang sangat penting dan merupakan faktor penenetu keberhasilan suatu bangsa.

Jika melihat data yang ada saat ini maka diketahu bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia masih tergolong rendah. Indonesia berada pada urutan 111, dari 182 negara di dunia. Sementara di kawasan ASEAN, HDI Indonesia berada di urutan 6 dari 10 negara ASEAN dibawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei dan Singapura. Dalam menyongsong bonus demografi tentulah harus diikuti pula dengan pembangunan manusia dan juga ketersediaan lapangan pekerjaan. Seperti yang penulis sedikit jabarkan diatas, bahwa bonus demografi di Indonesia selain bisa menjadi peluang emas namun juga bisa menjadi bumerang.

Kualitas sumber daya manusia disuatu negara tentu dipengaruhi oleh bagaimana usaha suatu negara untuk membangun manusianya. Karena pada akhirnya kualitas sumber daya manusia akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tingkat pembangunan manusia yang baik akan mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi melalui kapabilitas (kemampuan) penduduk dan akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan kreativitas masyarakat. Menurut Brata (2004) dengan meningkatnya produktivitas dan kreativitas tersebut, maka penduduk dapat menyerap dan mengelola sumberdaya yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Untuk memudahkan melihat kondisi eksisting kualitas manusia indonesia, maka penulis akan membagi dua faktor pembangunan manusia yaitu: pendidikan dan kesehatan.

Pendidikan dalam arti luas, baik pendidikan dalam arti formal maupun pelatihan-pelatihan akan mempengaruhi kualitas modal manusia, baik pada level mikro ataupun level makro. Pada level mikro, peningkatan pendidikan seseorang relevan dengan peningkatan pendapatan atau upah yang diperoleh. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi maupun pengalaman pelatihan, maka semakin tinggi produktivitasnya dan hasilnya ekonomi nasional akan tumbuh lebih tinggi.

Disamping pengaruh langsung terhadap produktivitas, ternyata pendidikan juga mempengaruhi kualitas modal manusia melalui kemampuan daya serap terhadap perkembangan metode atau teknologi. Ranis (2004) menyebutkan bahwa analisis di srilanka menunjukkan tingkat pendidikan dan keterampalin pekerja serta pengusaha berhubungan secara positif terhadap rata-rata perubahan metode dan teknik yang lebih efektif dan efisien dalam menjalankan perusahaan.  Begitu juga di Thailand, sektor pertanian menunjukkan pengaruh positif tingkat pendidikan petani terhadap adopsi teknologi modern, seperti pupuk dan peralatan mekanis, sehingga meningkatkan hasil pertanian. Di Thailand, petani yang bersekolah lebih lama akan mengadopsi metode bertani lebih baik untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Lalu pertanyaannya adalah bagimana di Indonesia?

14221791771858480434
14221791771858480434

Tabel 1. Indikator Pendidikan Indonesia 2011-2013

Sumber : www.bps.go.id (diakses pada Januari 2015)

Jika dilihat berdasarkan data diatas diketahui bahwa angkat partisipasi sekolah dasar (7-12 tahun) dan angka partisipasi sekolah menengah pertama (13-15 tahun) cukup tinggi. Namun yang menjadi catatan penting adalah angka partispasi sekolah menengah pertama (16-18 tahun) dan juga perguruan tinggi (19-24 tahun) yang tergolong rendah. Secara umum data diatas menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia belum cukup baik, khususnya dalam hal pemerataan pendidikan. Lebih detail, beberapa data menunjukkan bahwa fasilitas pendidikan di banyak desa di Indonesia masih sangat buruk. Tidak hanya itu, aksesibilitas pendidikan juga adalah hal yang harus dijadikan catatan merah bagi bangsa Indonesia karena rendahnya akses untuk bersekolah, khususnya oleh sebagian saudara kita, masyarakat perdesaan Indonesia di sebagian pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Apabila pendidikan menjadi salah satu faktor penentu pembangunan manusia yang berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi, maka sudah seharusnya dibutuhkan willingness dari Pemerintah untuk benar-benar fokus terhadap pembangunan manusia. Momentum bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya pada tahun 2030 tidak akan berhasil dicapai dengan sempurna jika Indonesia tidak siap dalam menghadapi persaingan global, khususnya persaingan sumber daya manusia. Dalam rangka menghadapi Asian Economic Community 2015 sudah barang tentu persaingan global akan semakin sengit. Hal ini disebabkan karena akan terjadi free flow pekerja secara bebas di wilayah Asean. Saat ini tercatat bahwa pengangguran di Indonesia sebagian besar pendidikannya adalah dari Sekolah Menengah Pertama ke bawah. Sementara di negara ASEAN, 80 % penduduknya adalah lulusan Sekolah Menengah Atas hingga perguruan tinggi. Hal ini mengindikasikan, keberadaan skilled workers dari negara tetangga akan menjadi ancaman bagi Indonesia.

Disamping pendidikan, kesehatan juga memiliki peranan penting terhadap peningkatan kualitas manusia dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Angka harapan hidup yang meningkat akan mendorong peningkatan pendapatan pada masa yang akan datang. Pengaruh faktor kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi umumnya terjadi melalui beberapa cara, antara lain misalnya perbaikan kesehatan penduduk yang akan meningkatkan partisipasi angkatan kerja, perbaikan kesehatan dapat pula membawa perbaikan dalam tingkan pendidikan yang kemudian memberikan sumbangan positif terhadap pertumbuhan ekonomi, ataupun perbaikan kesehatan yang dapat mendorong bertambahnya jumlah penduduk yang akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja.

No.

Indikator Kesehatan

2010

2011

2012

2013

1

Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan sebulan yang lalu

30,97

29,31

28,59

27,70

2

Persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan (dokter, bidan dan tenaga medis)

79,82

81,25

83,36

85,31

3

% Balita yang pernah mendapat imunisasi BCG

92,73

94,85

92,89

93,09

4

% Balita yang pernah mendapat imunisasi DPT

89,79

89,07

90,02

90,25

5

% Balita yang pernah mendapat imunisasi Polio

90,56

89,34

90,26

90,17

6

% Balita yang pernah mendapat imunisasi Campak

77,67

76,88

77,95

77,93

7

Rata-Rata lama (bulan) anak 2-4 tahun mendapat ASI

20,00

19,68

19,41

19,87

8

Rata2 anak 2-4 tahun yang disusui dengan makanan tambahan (bulan)

15,00

14,98

14,60

15,01

9

Rata2 anak 2-4 tahun yang disusui tanpa makanan tambahan (bulan)

5,00

4,70

4,81

4,86

10

Persentase penduduk yang mengobati sendiri

68,71

66,82

67,71

63,10

11

Persentase penduduk yang menggunakan obat tradisional

27,58

23,63

24,33

21,41

12

Persentase penduduk yang berobat jalan sebulan yang lalu

43,99

45,80

45,14

48,83

13

Persentase penduduk yang rawat inap setahun terkahir

2,51

2,10

1,89

2,30

Tabel 2. Indikator Kesehatan Indonesia

Sumber : www.bps.go.id (diakses pada Januari 2015)

Data diatas sedikit menunjukkan kondisi kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan data diatas terlihat bahwa masyarakat Indonesia masih cukup banyak yang mengalami gangguan kesehatan kesehatan jika dilihat dari penduduk yang memberikan pengobatan secara sendiri yaitu sebanyak 63% dan penduduk yang mengalami berobat jalan sebanyak 48,84%.

Tingkat kesehatan yang baik akan mempengaruhi secara positif produktivitas pekerja yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Tjiptoherijanto (1984) memberikan analisa terhadap hubungan antara tingkat kesehatan dan produktifitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas sumber daya manusia terletak pada keadaan kesehatannya sendiri. Rendahnya tingkat gizi dan kalori bagi penduduk usia muda di perdesaan akan menghasilkan pekerja-pekerja yang kurang produktif dengan tingkat mental yang terbelakang. Saat ini santer terdengar bahwa banyak lulusan dari perguruan tinggi yang gagal dalam menjalankan test masuk instansi negeri atau perusahaan swasta karena terganjal dengan masalah kesehatan, padahal para pelamar dirasa mempunya tingkat kompetensi yang tinggi dan tergolong well educated. Dari beberapa diskursus yang berkembang saat ini, banyak perusahaan ataupun instansi yang menolak pekerjanya yang tergolong tidak sehat karena akan menjadi beban perusahaan. Biaya kesehatan yang tergolong mahal tentu akan memengaruhi pendapatan sebuah perusahaan atau instansi. Selain hal tersebut, produktifitas para pekerja tentu akan menurun karena terkendala gangguan kesehatan. Hal ini memberikan bukti bahwa kesadaran akan kesehatan di Indonesia masih tergolong rendah.

Di Indonesia sendiri permasalahan kesehatan adalah suatu hal yang selalu terjadi. Walaupun ada peningkatan, namun gejala ini masih menjadi ancaman yang cukup serius. Peningkatan akses dan pemerataan kesehatan yang bermutu, terjangkau, dan berkeadlin harus terus dilakukan agar kedepan sumber daya manusia Indonesia benar-benar siap bersaing di era global. Selain hal fundamental diatas, yang tidak kalah penting dalam pembangunan manusia khususnya dalam bidang kesehatan adalah penerapan budaya hidup sehat untuk segala jenis umur, yaitu balita, pemuda, dewasa, dan lansia. Budaya hidup sehat merupakan sebuah konsep kehidupan yang mengutamakan berbagai kegiatan hidup yang berbasis pada tindakan-tindakan yang menyehatkan. Hal ini harus terus dilakukan karena saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia dirasa belum begitu memikirkan pentingnya kesehatan, baik sejak usia dini hingga usia dewasa.

Epilogue : Generasi Global, Generasi Optimis!

Dua hal diatas, yaitu pendidikan dan kesehatan adalah faktor penentu terhadap kesiapan sumber daya manusia Indonesia dalam menyongsong era global, tatanan kehidupan Masyarakat Ekonomi Asean dimana tingkat persaingan global akan semakin tinggi. Bonus demografi seperti pisau bermata dua, disatu sisi jika Indonesia tidak mampu memaksimalkan perannya sebagai negara untuk membangun sumber daya manusia yang baik, maka patut untuk dikhawatirkan bahwa gelombang besar globalisasi akan menyapu bersih bangsa ini. Namun sebaliknya, jika Indonesia sanggup untuk membangun sumber daya manusia yang berdaya saing global dan bermoral maka bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan menjadi bangsa besar dan berdaulat yang mempunyai keberpengaruhan besar di dunia.

Tidak hanya persiapan sumber daya manusia yang harus menjadi underlined issues di Indonesia, ketersediaan lapangan pekerjaan tentu harus menjadi faktor penopang sumber daya manusia. Seperti yang telah banyak penulis paparkan diatas, Indonesia diprediksi akan memiliki 70% penduduk usia produktif pada tahun 2020-2030. Lantas pertanyaannya adalah apakah Indonesia mampu untuk menyiapkan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan jumlah tersebut? Berangkat dari ragam permasalahan diatas, kita semua harus sadar bahwa era globalisasi bukanlah suatu keadaan yang mudah. Justru sebaliknya, dibutuhkan pemikiran dan usaha ekstra untuk mempersiapkan Indonesia menyongsong era globalisasi yang sesungguhnya. Dibutuhkan usaha dari dua arah, baik dari pemerintah dan juga masyarakat. Pemerintah sebagai agent of development serta masyarakat sebagai subjek dari segala bentuk upaya yang dimaksud agar dapat menyadari pentingnya pembangunan manusia serta mempersiapkan diri menjadi lebih baik demi menyongsong era global. Generasi global, generasi optimis.

Referensi :

Aloysius Gunadi, Brata (2010). “Financial Inclusion for Youth entrepreneurs in Creative Industry: a case of youth entrepreneurs in clothing industry in Yogyakarta, Indonesia”. MPRA Paper, University Library of Munich, Germany.

Ranis, Gustav (2004). “Human Development: Beyond the HDI," with Frances Stewart and Emma Samman in Journal of Human Development, pp.12-14.

Tjiphoherijanto, Prijono (1984). Ekonomi Indonesia, hubungan dan ketergantungan. Jakarta, Ghalia Indonesia.

Tautan Online :

www.bps.go.id

www.bkkbn.go.id

www.bappesnas.go.id

http://www.academia.edu/5203689/Jurnal_Ilmu_Kesehatan_Masyarakat_ASPEK_PENTING_PENGEMBANGAN_DAN_PEMBERDAYAAN_SUMBER_DAYA_MANUSIA_SDM_KESEHATAN_DI_ERA_DESENTRALISASI_DEVELOPMENT_AND_EMPOWERMENT_OF_HEALTH_HUMAN_RESOURCES_THE_IMPORTANT_ASPECT_IN_DECENTRALIZATION

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun