NIKAH BEDA AGAMA, TOLAK!
Beberapa waktu lalu 5 orang Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia telah berani datang ke MK untuk menggugat Undang-Undang Pernikahan yang menurut mereka telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi warga yang akan menikah beda agama di Indonesia (Kompas.Com 4/9).
Tren Pernikahan beda agama makin hari makin menguat di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia. Padahal dalam UU Pernikahan Pasal 2 Ayat 1 UU No 1/1974 telah diatur bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.”
Adapun islam memandang bahwa pernikahan itu adalah sebuah ikatan suci dan harus mengikuti aturan yang jelas yang datang dari Allah SWT. Di dalam Alquran Surat Albaqarah ayat 221 Allah SWT dengan tegas melarang laki-laki muslim untuk menikahi wanita musyrik, begitupun sebaliknya perempuan muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki musyrik. Dan larangan ini bersifat jazim (tegas) sehingga jelaslah bahwa dalam islam menikah berbeda agama itu adalah haram hukumnya. Khusus bagi perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab (Nasrani dan Yahudi) adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita ahlul kitab yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya (afifat).
Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk persoalan menikahpun diatur secara terperinci. Ketika terjadi pernikahan beda agama dan dilakukan dengan akad yang menyalahi aturan/syariat islam, meski mungkin sah secara administratif di catatan sipil namun dalam pandangan agama islam itu batil dan tidak sah.
Adapun konsekuensi dari pernikahan yang batil diantaranya adalah akan menjadikan hubungan suami-istri menjadi tidak sah dan dianggap zina, pertalian nasab bapak biologis dengan anaknya terputus sehingga ia tidak dapat menjadi wali yang sah bagi anak biologisnya, meniadakan hukum nafkah bagi bapak biologisnya, dan secara otomatis hubungan waris antara bapak biologis dengan anaknyapun menjadi tidak ada.
Pangkal dari semua itu karena islam tidak dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan. Akibatnya secara individu lahirlah generasi liberal yang tidak mau terikat dengan aturan islam. Sementara pada level negara, karena islam tidak dijadikan sebagai sumber negara, maka penistaan dan penggerogotan terhadap hukum islam akan terus terjadi.
Maka untuk menyelesaikan itu semua dengan tuntas tidak ada jalan lain kecuali kembali pada hukum syariat islam secara totalitas di bawah naungan sistem islam Daulah Khilafah yang mengikuti Manhaj Nabi Muhamad SAW. Wallahu a’lam bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H