"Kasihan anak sekolah di sini", komentar ibuku. "Hujan libur, sandstorm pun libur".
Benar juga. Sejak kemarin pagi, langit Jeddah yang biasanya terang tertutup kabut pasir. Angin bertiup cukup kencang. Sampai hari ini pun langit masih terlihat gelap dan pandangan cukup terganggu karena tebalnya debu pasir. Angin pun tetap bertiup kencang walau tak sekeras kemarin. Sepertinya terjadi badai pasir di gurun sekitar Jeddah dan akhirnya berefek ke dalam kota.
Sekolah libur karena cuaca buruk mungkin adalah hal yang tak lazim terjadi di Indonesia. Sehingga seringkali saya merasa ini hanya alasan saja bagi para karyawan sekolah (guru dan lainnya) untuk mendapat libur gratis :). Bayangkan saja, karena hujan setitik dalam satu hari atau karena angin kencang, tiba-tiba anak-anak dipulangkan.
Bila debu pasir melanda, memang rasanya kami susah bernafas. Sesak oleh beratnya udara yang terisi pasir. Tentunya tidak baik untuk kesehatan, apalagi anak-anak sekolah. Maka dari itu banyak sekolah yang pagi ini mengumumkan bahwa hari ini kegiatan belajar mengajar di sekolah ditiadakan. Dan banyak orang tua yang tidak mendapat pengumuman pun merumahkan anaknya. Jadi saya ya nrimo saja.
Tetapi hanya karena hujan anak-anak langsung dipulangkan? Terus terang hal ini cukup mengesalkan saya. Ini terjadi karena kebanyakan penduduk Jeddah masih trauma atas kejadian 2 tahun terakhir dimana hujan turun beberapa hari, walaupun sebentar, namun cukup untuk membuat banjir besar yang merendam sebagian besar daerah di kota sebesar Jeddah.
Bagi penduduk Jakarta, terutama bagi pelajar sekolah favorit di daerah Tebet yang saya ingat adalah langganan banjir, kejadian di atas mungkin hanya menjadi bahan lelucon saja. Bisa-bisanya hujan rintik-rintik membuat anak sekolah libur. Pasti malahan 'sirik', mau ikutan libur juga kalau hujan deras. Tapi ingat loh, di Jeddah ini tak ada sistem gorong-gorong atau got yang membuat air hujan bisa langsung mengalir ke sungai. Jadi hujan sedikit saja bisa menjadi bencana kecil.
Keberatan saya muncul karena pada akhirnya ritme sekolah anak pun terganggu. Belum lagi pelajaran yang seharusnya bisa diselesaikan hari itu, akan dibebankan ke hari-hari berikutnya. Akhirnya, keluarlah upaya untuk tetap belajar di rumah saat "libur darurat" ini. Kalau tidak, kasihan juga anak-anak, harus menelan beban pelajaran yang sama namun dalam jangka waktu yang lebih pendek.
Yah, sudahlah, nrimo lagi. Paling tidak karena diliburkan anak-anak tidak menelan debu pasir hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H