Mohon tunggu...
Vica Item
Vica Item Mohon Tunggu... -

Fulltime mother of two. Sedang mencoba memulai belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelopor "Bike to Work"?

19 Februari 2012   16:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:27 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melihat besarnya animo masyarakat Jakarta dalam bersepeda ke kantor (bike to work - bahasa gaulnya) saat ini, saya menjadi teringat akan kejadian kecil sekitar 12 tahun lalu.

Ada seorang teman berkebangsaan Jerman yang tinggal di daerah Senopati. Saat itu dia bekerja di daerah SCBD. Walaupun bisa mengemudi mobi, menurutnya  lebih praktis untuk bersepeda ke kantor dengan naik sepeda. Tentu saja, SCBD dan Senopati kan berseberangan.

Ia bercerita, sepanjang jalan ia merasa banyak orang di jalan memperhatikannya dengan air muka heran. Bukan hanya sekadar memandangi saja. Bukannya ge-er. Tapi sebenarnya ia risih juga karena tahu diperhatikan banyak mata asing.

Ia bercerita, "Mungkin mereka itu menganggapku "bule gila" ya, panas-panas bersepeda. Tapi rumahku kan dekat sekali, untuk apa bawa mobil?"

Saya senyum-senyum sambil memberikan perkiraan saya. Tak heran orang menganggap dia aneh. Pertama, dia bule, terus pakai jas lengkap dan dasi, naik sepeda pula (walaupun bukan jenis onthel). Kedua, jarang orang memakai sepeda di tengah SCBD pada masa itu.

Di Eropa memang biasa orang bersepeda tanpa melihat status, apalagi di Belanda. Orang dengan jas dan dasi, bersepeda ria, malah dengan hebat kadang pakai payung saat hujan rintik. Layaknya orang berakrobat saja. Mantan atasan saya saat berkunjung ke rumah saya selepas jam kantor, juga dengan menumpang sepeda lengkap dengan jas kantornya. Bersepeda dianggap sarana transportasi biasa, yang cepat dan hemat energi, serta sehat.

Tapi dasar "bule gila" (mungkin lebih ke keras kepala), tetap saja dia bersepeda ke kantor dengan cueknya.

Coba saja dia menunggu 8-10 tahun kemudian, dimana gerakan Bike To Work mulai menggema, mungkin tak banyak orang yang memandangnya dengan pandangan terheran-heran seperti saat itu.

*diedit dari blog pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun