Sekelumit rindu yang kian menjalar di dalam benakku terhadap Tora, membuktikan bahwa aku masih sangat normal terhadap lawan jenis.
Meski kadang aku terbelenggu akan ikatanku dengan Raden Jaka Senggalung, sosok yang aku sendiri tidak tahu dari mana asalnya. Sosok yang tiba-tiba muncul ketika aku sedang masygul di hadapan sang purnama.
Aku terpanah dalam bidikan anak panah Dewa Amor tatkala netranya menghujam relung hatiku. Gagah, tampan, menampakkan sejatinya seorang ksatria. Senyumnya mampu membuat tubuhku serasa tak bertulang.
       Cah ayu
      Tresnaku teka nggawa sampeyan menyang sendhang asmoro adhem
      Sanadyan tresna iki manggul gairah sandikolo
Bait yang tertutur di bibirnya, aku terpanah asmara. Di balik jendela aku menatapnya, bulat netraku membimbing kedatangannya yang mengarah pada keterpanaanku. Dia berkuda dalam bimbingan cahaya purnama laksana ksatria dari negeri dongeng. Aku tak lagi berpikir dengan logika, siapa dia? Jin kah? Siluman kah? Aku hanya fokus pada kekagumanku kepada ksatria dengan maha kesempurnaannya.
Seketika dalam sekejap mata, dia telah berdiri di hadapanku. Entah kudanya terparkir di mana aku tak tahu.
Aku terpaku dan membisu, menikmati tatapan matanya. Sungguh aku merasa bak Dewi Shinta yang ditatap oleh Rahwana. Eh... Kok Rahwana? Lha iya, terus terang aku lebih menyukai kisah perjuangan Rahwana dalam mencintai Dewi Shinta, penuh pengorbanan dan chemistry. Bagaimana sejatinya seorang pria yang akan nekad berbuat apa saja demi mendapatkan cintanya meski urat lehernya sendiri yang harus terhunus pedang.
Aku tak suka kisah tentang Rama dan Dewi Shinta, sebab apa? Sebab Rama selalu menuduh Dewi Shinta telah berkhianat sampai-sampai pembuktian akan kesucian cinta Dewi Shinta membuat nyawa wanita ayu itu lenyap bersama kesaksian sang Dewa. Â Akh...! Begitu cerobohnya Rama. Susah payah menabuh genderang perang terhadap Rahwana yang telah menculik Shinta. Tetapi setelah berhasil mendapatkan kembali sang Dewi bukannya dijaga baik-baik malah disakiti dengan tuduhan-tuduhan yang melukai perasaannya.
Andai aku menjadi Dewi Shinta, aku akan memilih bersama Rahwana meskipun tak elok rupa dan tabiat, namun akan mencintaiku tanpa syarat dan tuduhan. Toh paras dan tabiat seseorang bisa dirubah menjadi lebih baik lagi meski butuh proses.
       "Apa yang sedang engkau pikirkan, Candhra Ayu Winangsih?"
        Aku tersentak, "Eh, maaf. Dari mana kau tahu namaku?"
       Dia membalas pertanyaanku dengan tersenyum santai, lalu dia menjawab, "Aku sudah lama mengetahui tentang dirimu, namamu, hidupmu bahkan cara tidurmu pun aku tahu."
Waduh! Mataku terbelalak mendengar pernyataannya.
"Sedetail itu kah? Lantas kau siapa?" Aku mulai sedikit takut.
"Kau tak perlu takut kepadaku, Cah Ayu."
Bersambung.........
Kamis, 19 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H