Mohon tunggu...
Bunda Azza
Bunda Azza Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya adalah seorang Ibu RT yg "nyambi" jd abdi negara & pelayan masyarakat di sebuah Kota Kecil yang Indah di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Mencoba belajar menjadi manusia seutuhnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebablasan Emansipasi, Salah Kaprah Gender

10 Mei 2013   12:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:48 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika senja mulai beranjak dan malam membuka selimutnya ke penjuru hati manusia yang terbebas dari beban di hari itu. Ning Anna muncul di tempat persemayaman terakhirnya ketika hidup, yakni di sebuah kampung di kota Brebes, Jawa Tengah.

Saya sedang santai menikmati tayangan acara masak memasak di layar kaca yang dipandu oleh seorang chef yang ganteng. Asyik juga menonton program yang mestinya bisa dinilai dengan indera pengecap dan atau indera pembau. Namun rupa-rupanya indera penglihatan cukup menjadi alasanku berbetah-betah di depan kotak ajaib itu. Tapi Ning Anna menjawil lengan saya dan menghempaskan badan saya ke sisinya.

Tidak kaget saya oleh sikap ke-ABG-annya. Mendengus kesal sembari mengerucutkan bibir ke depan. Memuntahkan segala isi hati dan otaknya tanpa bisa disela. Kata-kata dari bibirnya mengalir bagai air bah. Saya tahu ia menunggu pertanyaan saya : “Kenapa, Ning? Kenapa tiba-tiba kesal sore-sore begini?” Tapi saya tidak bertanya. Saya mematung saja dan memandang ke arah menentu.

Hingga ia menjawab pertanyaan yang dibayangkannya sendiri : “Karena kaumku tak mungkin kesal, maka akulah yang kesal”.

Hampir saja saya tergoda untuk bertanya dan membantah. Apakah para perempuan merasa tersinggung dengan tampilnya para lelaki menunjukkan kebolehannya dalam bidang-bidang “perempuan”?

Tapi rupanya Ning Anna mendengar suara hati saya dan menanggapi : “Bodoh! Aku baru selesai membaca koran, majalah dan tabloid yang semuanya memuat keberhasilan beberapa tokoh wanita dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dewasa ini perempuan mulai menempati ruang-ruang publik. Kebanyakan berkiprah di ranah ekonomi, politik dan sosial budaya. Ruang lingkup perempuan tak lagi dipersempit hanya berdikari di dalam rumah.”

Aku bertanya, “Bukannya hal itu bagus untuk kaum kita. Kenapa Ning Anna malah kesal?”

Ia tersenyum dan berkata, “Karena euforia perempuan dalam mengaktualisasikan diri rupanya menimbulkan rasa kehilangan bagi beberapa kaum lelaki. Mereka merasa sejak emansipasi wanita berkibar, sejak saat itu pula banyak wanita yang tak lagi mahir urusan domestik. Indikator persangkaan mereka didasarkan dengan dikuasainya profesi-profesi kedomestikan oleh kaum mereka sendiri. Sebagai contoh, hampir semua tokoh chef dan ahli tata rias dikuasai oleh lelaki. Kemudian hal itu dikaitkan dengan banyaknya wanita bekerja yang tak mahir memasak untuk keluarganya di rumah karena sibuk berkarir di luar rumah.”

“Subjektif!” saya memekik. Tidak tahan lagi. “Itu persepsi subjektif!”.

“Pasti. Pasti subyektif,” jawabnya, sambil menunda kesalnya. “Bisakah ilmu obyektif melihat, menembusdan menilai dimensi kesuksesan perempuan di dalam jiwa manusia? Bisakah ilmu obyektif memastikan apakah seorang lelaki yang memasak benar-benar masak untuk dirinya sendiri? Bisakah ilmu obyektif menemukan klaim bahwa seorang lelaki atau sekumpulan lelaki yang luwes di dalam dapur tidak sedang melakukan hal-hal di luar minat mereka terhadap kuliner, seperti sedang menertawakan atau menyindir kekakuan perempuan?”

“Tapi, Ning. Bukankah bila dicermati lebih jauh, sesungguhnya fenomena dominasi kaum lelaki pada profesi kedomestikan sama sekali tidak terkait dengan emansipasi wanita? Justru hal itu sejalan dengan semangat emansipasi wanita. Sesungguhnya emansipasi wanita tak hanya melulu bicara tentang perempuan. Ia juga bisa menjangkau dan memeluk kawan jenisnya yaitu pria. Emansipasi membawa spirit untuk perempuan maupun lelaki untuk membebaskan diri mereka. Baik lelaki maupun perempuan tak terkungkung oleh budaya yang memisah-misahkan peran yaitu domestik hanya untuk perempuan dan lelaki hanya boleh melakukan pekerjaan yang “laki”. Kini, para lelaki tak perlu malu menunjukkan minatnya dalam bidang yang dulunya dianggap pekerjaan “perempuan”.” Saya menyela.

Ning Anna mulai tersenyum meskipun wajahnya masih masam.

“Kalau aku menilai, emansipasi wanita sering dikambinghitamkan seolah-olah emasipasi yang kebablasan sebagai sebab atas bermunculannya para lelaki dalam profesi-profesi kedomestikan. Padahal jika urusan ekonomi keluarga yang mengharuskan bekerja di luar rumah telah ditanggung berdua oleh suami-istri secara sukarela. Maka alangkah tidak adilnya jika urusan domestik tidak dikerjakan secara bersama-sama oleh suami maupun istri dan tetapdibebankan sepenuhnya kepada istri. Apalagi jika sang suami memaksa sang istri harus mahir mengurus keperluan domestik. Itulah yang dinamakan “double burden” atau beban ganda bagi perempuan masa kini yang dituntut sukses di dalam maupun di luar rumah.”

“Ning!” kata saya kemudian, “Kehidupan adalah proses menuju kesempurnaan, termasuk perempuan dalam menjalankan setiap perannya baik di luar maupun di dalam rumah.”

“Sejak sebelum lahir aku sudah tahu itu!”

“Maksud saya begini, Ning. Masalah banyaknya wanita karier yang tak pintar memasak hanya perlu jam terbang untuk menyelesaikannya. Para suami cuma perlu sedikit lebih bersabar. Syukur-syukur bisa ikut mengajari atau sama-sama belajar. Betapa indahnya rumah tangga yang dilandasi emansipasi dan kesetaraan gender.”

“Tetapi wajib hukumnya bagiku untuk kesal!” mendadak ia mendengus kesal dan mengerucutkan bibirnya ke kanan dan kiri.

“Betapa tak tahu dirinya aku di samping kaumku kalau aku tak kesal!” lanjutnya “Rekan-rekan sesamaku semakin berkembang di luar tapi tidak mendapatkan kebanggaan di dalam rumah…”

Saya memotong, “Tidakkah Ning merasa bahwa ucapan Ning itu kasar dan menusuk perasaan?”

“Kalau kaumku itu memang benar-benar lemah dan tak berdaya, aku masih punya alasan untuk mensyukuri batas pencapaian mereka. Tapi kalau sebenarnya mereka kuat dan sesungguhnya memiliki kesanggupan untuk berubah, apakah ucapanku kau sebut kasar dan menusuk perasaan kaumku?”

“Kapan kita berubah, Ning?”

Raut Ning Anna makin tak sedap dipandang. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun