Mohon tunggu...
Bunda HilmaDheera
Bunda HilmaDheera Mohon Tunggu... Guru - Khusnul Khotimah, S.Pd. - Guru TK Islam Al Azhar BSD

Pendidik di TK Islam Al Azhar BSD, penulis aktif di Majalah Ikrar Al Azhar BSD, pernah bekerja sebagai Terapis untuk anak berkebutuhan khusus di Klinik Bina Wicara Bogor 2002-2009.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Terima Kasih Guruku, Telah Menjadi Inspirasiku

27 November 2021   17:31 Diperbarui: 27 November 2021   17:40 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai Sahabat Kompasiana,

Kali ini penulis akan menceritakan pengalaman terkait mengenang guru, menjadi guru. Kisah ini bermula ketika penulis duduk di bangku kelas 3 SD. Saat itu saya baru pindah dari Kota Banyuwangi dan bersekolah di Kota Kediri. Tentu saja, saya harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, suasana baru, dialek bahasa baru, teman baru dan juga guru baru. 

Hal ini memang tidak mudah bagi saya untuk belajar menyesuaikan diri. Karena, saat saya pindah sekolah saya mendapatkan pengalaman yang menyenangkan dan sekaligus haru di sekolah lama. Guru-guru dan teman-teman yang menyayangi saya, bahkan mereka menangis saat tahu saya akan pindah sekolah ke kota lain.

Hari berganti hari, saya sudah mulai mengikuti pembelajaran di SD yang baru. Tentu saja, saya sering diejek karena dialek bahasa saya berbeda dengan di kota Kediri. Suatu ketika, pagi itu saya bersekolah seperti biasa dan saya duduk di paling belakang. Kemudian saat bel berbunyi, Kepala sekolah saya datang ke kelas menggantikan guru yang saat itu belum hadir. Beliau mulai memberikan arahan kepada murid-murid di kelas. 

Mungkin saya tidak terlalu fokus mendengarkan beliau karena duduk di belakang, dengan suara keras beliau mengatakan "hei kamu jangan suka duduk di belakang nanti jadi anak bodoh", tuturnya. Sontak saya terkaget, tertunduk dan malu karena teman-teman sekelas mentertawai saya. Saat itu saya berpikir, "Hai bu guru saya baru pindah sekolah, salahkah saya duduk di belakang?!, batinku.

Lantas, marahkah saya dengan Kepala Sekolah tersebut. Tentu saja tidak, ini menjadi pelecut motivasi atau shock terapy bagi saya untuk semakin giat belajar. Karena ketika kejadian itu saya ceritakan ke ibu saya, "Buk, mau aku didukani bu guru mergo lungguhe ning mburi, mengko iso dadi cah bodo", (baca : Bu, tadi saya dimarahin bu guru karena duduknya di belakang, nanti jadi anak bodoh). Dengan ekspresi biasa saja, ibu saya malah menjawab "Mangkane lek didhawuhi bu guru di mirengke ojo guyon" (baca : Makanya kalau di kasih tahu bu guru didengarkan jangan bercanda). 

Dengan kejadian tersebut, saya semakin rajin belajar dan mengejar ketertinggalan pelajaran di sekolah baru. Dan itu saya buktikan bahwa saya mampu berprestasi, namun rasa malu dan takut bertemu  ibu Kepala Sekolah masih ada saat itu. Suatu hari saya terpilih menjadi peserta porseni tingkat SD di bidang olah raga bersama temen lainnya. 

Di hari lainnya saya juga ikut lomba tentang P4 dan Pancasila. Hari berlalu dengan semakin menyenangkan di sekolah baru. Guru-guru juga sangat mensupport murid-muridnya. Saya sangat terkesan dengan guru Agama saya yang begitu keras membimbing saya, sehingga bakat saya bisa di asah. 

Saya seringkali, didapuk untuk memberikan pidato di acara perpisahan kakak kelas VI. Ada juga ibu guru IPA dan juga guru PMP. Mereka guru-guru yang tidak hanya mengajar dan mendidik dengan hati tapi juga bersahabat bagi muridnya. Sehingga di sekolah baru ini saya mendapatkan banyak pelajaran berharga.

Dan ketika duduk di bangku SMP dan SMK pun bakat saya untuk bisa berpidato di depan umum makin terasah. Saya pernah meraih juara 1 lomba dalam rangka Hari Kesaktian Pancasila ketika duduk di SMP, dan juara 2 pidato bahasa Inggris dalam rangka Hari Pendidikan Nasional saat duduk di SMK. Saya memang bukan anak jenius. 

Seorang anak yang dilahirkan dari kedua orang tua sederhana dan bukan berpendidikan tinggi. Bapak saya lulusan Sekolah Rakyat dan Ibu lulusan Mualimat, mungkin setara dengan Tsanawiyah atau Aliyah. Tapi setidaknya saya punya daya juang tinggi, pantang menyerah dan mau belajar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun