Mohon tunggu...
Bunda Hayaa
Bunda Hayaa Mohon Tunggu... Guru - Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain

Berusaha menjadi lebih baik. IG : @anitahayatun717

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Katakan Rima : Part 1

21 Juli 2021   19:53 Diperbarui: 21 Juli 2021   20:13 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

April 1978.

Di dalam rumah yang bertembok bambu dianyam, dengan beratap genting, dan disangga dengan kayu jati yang dikerumuni rayap. Hampir akan rubuh. Hanya tinggal menunggu waktu. Tak hanya di situ, gedeg [1] yang sudah berlubang. Terlalu besarnya lubang hingga tangan maling pun bisa masuk dan meraba apa yang ada di dalamnya. Gedek itu jadi tempat keluar masuknya katak di malam hari.

Tepat di tengah ladang yang gelap. Jarang sekali lampu yang berdiri disana. Sungguh waktu yang mengerikan. Tepat saat itulah ibuku melahirkanku. Dengan memangggil dukun anak, lahirlah diriku. Tanpa sehelai  kain apapun, aku keluar ke dunia ini. Menjadi  gadis yang polos hingga ku berumur 2 tahun. Ibuku melahirkan adikku. Aku, anak ke lima dari 7 bersaudara.

Tahun 1982, tragedi terjadi.

Saat itu, ibuku akan melahirkan adik terakhirku. Bapakku pergi ke surabaya bekerja disana. Saat malam tiba disertai hujan badai, ibuku mengalami kesakitan yang sangat.  Kakak kakakku tidaak ada di rumah. Mereka sedang keluar mengaji. Sedang aku dirumah bersama ibuku seorang.

Jarak rumahku dengan rumah tetangga 500 meter. Diriku dipenuhi dilema saat itu. Hujan terus saja mengguyur  kampung. Otomatis air masuk dalam rumah setidaknya menggenang sekitar 5 cm. Dan akan menggenang teras rumah sekitar 10 cm. Katak katak akan silih berganti masuk menerobos gedek berlubang .

Jika saat itu aku pergi mencari pertolongan ke tetangga, ibuku akan dirumah sendirian di bawah rumah yang akan roboh. Tapi jika aku tidak pergi, ibuku terus saja meneriakiku agar mencari pertolongan ke tetangga. Akhirnya, aku berlari keluar rumah. Di tengah hujan badai, petir menyala menmbuat jalan dari rumah ke jalan aspal terang.Setengah perjalanan, kakiku terpeleset dan badanku terpelanting jatuh ke tanah. 

Aduhh sakit sekali. Sudah basah kuyup bajuku, dan kotor badanku. Mau bagaimana lagi, keluargaku sangat miskin, tak mampu membeli payung. Jangankan payung, makan saja harus mencari dulu dan hasilnya baru dapat dimakan. Belum sampai di situ, saat ku berlari menuju rumah tangga yang paling dekat, ku gedor gedor rumahnya. Mencari pertolongan. Berharap orang didalam mau mengulurkan bantuan untuk ibuku yang akan melahirkan.

 "Mak Yah..... tolong ibuku........." tak ada jawaban. Kutoleh sekitar rumah. Tak ada seorangpun lewat. Hujan pun belum reda. Kugedor gedor lagi hingga hampir suara ini hilang ditelan derasnya hujan. Tak ada jawaban terdengar dari dalam. Ku berlari lagi 300 meter, adu cepat dengan hujan yang mengguyur kampungku saat ini. Di rumah tetangga berikutnya, ku gedor pintu. Berharap sang pemilik rumah membukakan pintu dan mengulurkan bantuan untuk ibuku yang dalam kesakitan hebat."Pak Dul.... tolong ibuku mau babaran..........[2]" kalimat itu kuucapkan berkali kali. Hingga 2 menit kemudian, terdengar dari dalam rumah. " sinten?"[3].


TO BE CONTINUED

Note:

1 Gedek : Dinding dari anyaman bambu

2 "Pak Dul, Tolong ibuku mau lahiran"

3 "Siapa?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun