Mohon tunggu...
Intan Parinduri
Intan Parinduri Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat Politik

Rakyat Biasa yang mencoba mengamati politik dan kehidupan sosial di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Inikah Tahun Sandyakala Amien Rais?

11 Oktober 2018   16:47 Diperbarui: 11 Oktober 2018   17:45 4080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Amien Rais mengadakakan konferensi pers di depan Gedung Polri, mungkinkah ini jadi awal bagi keruntuhan nama besar Amien Rais? (Sumber Gambar : Liputan 6.com)

Seluruh tubuh Amien Rais seperti Cakra Manggilingan, roda nasib yang berputar kencang, kadang ia diatas dan kadang dibawah, dulu dipuja puja sebagai Bapak Reformasi, kini dimaki dan dijuluki Sengkuni,  di masa kejayaannya ia menjadi simbol kebangkitan intelektual dan kejujuran dalam berpolitik namun sekarang ia menjadi simbol "politik hoax" dan "nepotisme yang kelewatan" .

Dalam dunia politik Indonesia, tak ada yang bisa melebihi permainan sirkus Amien Rais, ia menciptakan banyak manuver dan menjadi sejarah. Tapi tanpa disadari ia terjebak dalam alam pikiran "bahwa ia selamanya menjadi penentu sejarah" dan alam pikiran itu justru hancur total ditubruk roda jaman yang tak pernah ia sangka-sangka menaikkan tetangganya di Solo menjadi Presiden sebuah jabatan dimana ia sangat mengejarnya, seorang tukang kayu sederhana bernama Jokowi.

Amien Rais, lahir tahun 1944 dari keluarga sederhana. Anak seorang guru yang juga terobsesi dengan dunia pendidikan. Keluarganya sendiri berasal dari Gombong, Kebumen yang kemudian pindah ke Kota Solo.

Dari sisi keterkenalan, Amien Rais dianggap orang Solo namun ia memusatkan semua kegiatannya di Yogya, dua kota inilah yang amat mempengaruhi kehidupan Amien Rais.  Tidak seperti di Solo yang namanya sangat tidak populer, bahkan di rumahnya sendiri di Kampung Kepatihan, ia dan partainya selalu kalah. Di Yogya ia mendapatkan nama besar bahkan membangun dinasti politiknya sendiri.

Dinasti politik Amien Rais, adalah sebuah paradoks besar dalam diri Amien, sebuah ambigu yang menciptakan dua sisi wajah Amien Rais. Bila sepanjang tahun 1990-an, Amien adalah orang di baris pertama yang menantang Nepotisme ala Cendana, kini ia menjadi bagian dari wajah Nepotisme itu sendiri, ia bahkan meniru Cendana dengan membangun Dinasti Condongcatur.

Akrobat Politik Amien Rais

Bagi Amien, politik bukanlah sebuah pencerahan, bukanlah sebagai alat pembebasan dari sebuah penindasan atau kungkungan. Amien Rais lebih melihat dunia politik sebagai sebuah akrobat, sekaligus bagaimana memanfaatkan akrobat itu untuk keuntungan politis bagi dirinya sendiri ketimbang memperbesar entitas yang pernah dipimpinnya seperti di Muhammadiyah atau PAN.

 Sesuai permainan akrobat, ia harus memantaskan diri sesuai branding yang ia ingin kenalkan ke publik. Di masa penjatuhan Suharto, penampilannya selalu belagak intelektual. Selalu mengenakan dasi, yang dilambangkan sebagai bagian terpenting busana kaum intelektual dan kelas menengah kota. Ia kerap menggunakan bahasa Inggris dengan aksen yang lucu sehingga banyak orang Indonesia menyebutnya "Bahasa Inggris-nya Amien Rais" ketika mendengar orang menggunakan bahasa Inggris beraksen Jawa.

Memang Amien Rais di awal karirnya, membangun dirinya sebagai seorang intelektual. Ia berjalan seiringan dengan Gus Dur, bahkan mampu membuat kutub baru, bila Gus Dur adalah bagian NU, maka Amien Rais menjadi bagian kutub seberang, ia menjadi "lawan Gus Dur" dalam hal apapun. Persaingan politik ini dimulai, ketika Amien Rais dengan cerdik di awal tahun 1990 mendorong pembentukan ICMI, disini Amien Rais ingin menjadikan dirinya sebagai "tokoh yang mengendalikan Suharto" setelah Suharto agak berjarak dengan kelompok militer dan mendekatkan kelompok Islam. 

Gus Dur membaca, akrobat politik Amien Rais ini hanya untuk memperalat kekuatan Islam yang seharusnya memiliki kekuatan tersendiri berhadapan dengan Suharto, malah ia menjadikan Islam sebagai sekutu Suharto. 

Manuver inilah yang ditolak oleh Gus Dur, sehingga Gus Dur menolak bergabung dengan ICMI. Tapi di kubu Suharto juga membaca, bahwa Amien Rais adalah orang yang tidak bisa dipercaya, di kalangan intelijen Orde Baru saat itu, ada laporan bahwa Amien Rais kerap membangun konspirasi untuk menyingkirkan temannya sendiri di internal Muhammadiyah , atau sekutu politiknya dibuat terjebak.

Dikalangan internal Muhammadiyah sendiri, Amien Rais dikenal orang yang suka membolak balikkan dukungan, ia kadang berkomplot mendukung seseorang, lalu setelah orang itu dipandang merugikan secara politis ia akan menjatuhkan. 

Amien Rais juga dicurigai membawa Muhammadiyah ke dalam ranah politik. Khittah Muhammadiyah sebagai Organisasi modernisasi gerakan Islam lewat pendidikan dan rumah sakit, dibawa oleh Amien Rais ke politik praktis. Orang yang paham gejala ini adalah Lukman Harun, tokoh Muhammadiyah yang menantang frontal Amien Rais.  Dan Lukman Harun-lah yang menyerukan di muka publik agar Amien Rais tidak membawa Muhammadiyah untuk kepentingan politik praktis.

Banyak yang mengira pendirian ICMI awalnya diberikan pada Amien Rais, tapi akhirnya Suharto memberikan itu kepada BJ Habibie, sedikit banyak hal ini mungkin membuat Amien Rais kecewa pada Pak Harto.

Amien Rais adalah orang yang cerdas bagaimana kekuasaan bisa dimainkan, ia sadar kelebihan utamanya adalah membentuk panggung dan menciptakan aktor, ia bagai "Sjumandjaja Dalam Politik" seseorang yang mampu menciptakan film-film bagus tapi dia sendiri hanya menjadi cameo sejenak.

Di tahun 1990, ia menjadi ketua Muhammadiyah karena ketum Muhammadiyah Azhar Basyir meninggal dunia. Disini Amien Rais mulai berpikir "Kalau ingin besar, harus cari lawan yang besar" dan tak tanggung-tanggung ia memutuskan Presiden Suharto menjadi rival.

Di tahun 1994, lawan Suharto paling serius ada dua yaitu : Megawati yang kuat karena kemenangannya di kongres Sukolilo, Surabaya pada tahun 1993 membuat Megawati memiliki entitas politik resminya berhadapan dengan Suharto dan Gus Dur yang diam-diam membangun persekutuan politik dengan kubu Benny Moerdani sejak 1984 untuk secara taktis melawan Suharto. 

Kini Amien Rais harus muncul dan menjadi rival Suharto untuk menaikkan dirinya, namun ia tidak punya modal sosial yang kuat untuk melawan Suharto. Ia tau tidak mungkin memanfaatkan Muhammadiyah untuk kepentingan politik, karena Muhammadiyah sangat berjarak dengan politik, kepentingan Muhammadiyah hanya di bidang bidang sosial, seperti sekolah dan rumah sakit. Satu-satunya jalan ia harus membranding dirinya sendiri, sehingga namanya harus melebih Muhammadiyah. Dan inilah yang dilakukan.

Di tahun 1993, Amien Rais mulai membangun gorong-gorong politik. Ia membangun persekutuan dengan Permadi, seorang kejawen dan lebih dikenal sebagai dukun peramal. Amien Rais kerap duet dengan Permadi dalam diskusi-diskusi politik, di kalangan aktivis mulai banyak tersebar pamflet pamflet penantangan Amien Rais kepada Suharto, di media Amien Rais mulai memanfaatkan media, ia menggunakan Republika sebagai corong politik, dimana Parni Hadi pemred Republika membantu mempopulerkan nama Amien Rais habis-habisan, jadilah Amien memiliki kolom sendiri di Republika. 

Disinilah Amien melihat namanya mulai meraksasa bahkan  melebihi nama Muhammadiyah sekalipun. Amien Rais tidak lagi melihat semboyan Muhammadiyah "Hidup, hidupkanlah Muhammadiyah, tapi jangan cari makan di Muhammadiyah" menjadi sebuah nilai nihil, karena ia menjebak Muhammadiyah untuk diperalat meraih kekuasaan, kepentingannya sendiri bukan kepentingan Muhammadiyah.

Ada fokus utama yang ditembak Amien Rais sebagai peluru isu untuk melawan Suharto, yaitu "Nepotisme", ia menganggap Cendana telah merusak mental orang Indonesia dengan nepotisme. Bila di medio 1980-an, tulisan-tulisan Amien Rais seperti di majalah Prisma, lebih ke persoalan geopolitik seperti  Revolusi Impor Islam yang mengagung-agungkan Imam Khomeini Syi'ah yang dianggap berhasil menantang Ronald Reagan, maka di tahun 1990-an Amien Rais mulai menyerang Suharto, dan menciptakan jargon bahwa Suharto adalah Fir'aun. 

Namun bukan Amien namanya yang mampu ngadalin Suharto, di satu sisi ia gampar kiri kanan Suharto di media, di sisi lain ia datang ke Suharto untuk minta bantuan. Hal ini diakui oleh adik tiri Suharto,  Probosutedjo yang geram dengan sikap Amien Rais bermain dua muka.

Salah satu kelebihan Amien Rais, ia sadar kelebihan dan kekurangan dirinya, sehingga ia bisa mengukur akrobat politik yang ia mainkan,  ia paham memiliki kekurangan yaitu : Solidarity Maker, ia bukanlah penggerak massa, namun ia mampu mengatur bagaimana elite-elite politik dijebak, dalam suatu permainan hitung-hitungan politik, semua diarahkan sesuai dengan permainan Amien Rais.  

Di masa pergolakan 1997-1998, Amien Rais dengan cerdik menunggangi gerakan mahasiswa 1998, sebagai gerakan dirinya dalam menantang Suharto. Ketika Megawati dan Gus Dur menolak ikut masuk gelanggang 1998, karena biarlah mahasiswa berjuang atas nama moralitasnya bukan atas nama politik praktis, Amien Rais malah masuk gelanggang dan tanpa malu membranding dirinya sebagai penggerak mahasiswa. Ia menciptakan gerakan 2 Mei 1998 dengan rencana mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa di Monas, namun ia menghentikan gerakan ketika tentara tegas akan melawan gerakan monas 2 Mei 1998 dan gerakan itu mengalami kegagalan, ia menghilang sejenak karena ancaman tentara sebelum kemudian muncul lagi setelah Mahasiswa menduduki MPR/DPR, ia pidato di depan ribuan mahasiswa di lapangan MPR/DPR dan pers mengelu-elukan ia sebagai "Bapak Reformasi", kelak di Gedung MPR/DPR adalah takdirnya, ia tak pernah sampai ke Istana Negara, dari sinilah ia mulai sadar bahwa rejekinya  di Gedung MPR/DPR bukan di wilayah eksekutif, seperti pesan ibunya Sudalmiyah "Kavling kamu itu di MPR" bukan yang lain.

Singkat cerita Amien Rais mampu menduduki ketua MPR/DPR, setelah berhasil ngerjain Megawati, kemudian ia malah berbalik ngerjain Gus Dur. Kemudian Megawati naik, giliran Amien Rais menyeberang ke SBY, bintang baru yang muncul di tahun 2004.

Amien Rais mendukung SBY serta menempatkan Hatta Radjasa sebagai counterpart terpenting SBY dan malah jadi besan SBY, namun belakangan Hatta Radjasa enggan menuruti todongan Amien Rais yang mulai neko-neko dan tidak membuat nyaman Hatta, Amien Rais kesal dengan Hatta Rajasa, ia kemudian mem-plot besannya Zulkifli Hasan untuk menggantikan posisi Amien Rais, sebelum itu Amien juga mempermalukan Sutrisno Bachir.  PAN yang awalnya didirikan dengan cara cara intelektual, kini malah menjadi sebuah Partai berwajah Amien Rais, nafas PAN sebagai Partai Pembaharu menjadi sebuah Partai yang hanya menuruti kemauan Amien Rais saja.

Watak "nakal" Amien Rais sepertinya tak hilang, di masa SBY ia mencoba ngerjain SBY juga, namun SBY dengan cepat mengancam Amien Rais, dan Amien Rais sadar ia masih cari makan di kubu SBY, bila melawan SBY keluarganya akan hancur, sementara ia mulai menua. Akhirnya Amien Rais tergopoh-gopoh mengejar SBY ke bandara dan minta maaf.

Amien Rais terus menjadi "King Maker", bahkan ia terobsesi menjadi king maker. Naluri liar Amien Rais semakin kencang, saat Jokowi muncul menjadi RI-1. Sejak awal kemunculan Jokowi sebagai tokoh politik, Amien Rais tidak pernah diikutsertakan. Bahkan Amien Rais terkesan selalu menganggap remeh Jokowi tetangganya di Kota Solo.

Amien Rais tak pernah melirik Jokowi, selama menjadi Walikota Solo. Bagi Amien, Jokowi hanya mainan politisi-politisi daerah, tak lebih. Sementara ia adalah "pusat perhatian nasional". Namun justru ketika Jokowi melesat, Amien Rais jauh ketinggalan di belakang, namanya tak disebut dalam sejarah kemunculan Jokowi.

Mengamankan "Politik Dinasti Condongcatur"

Amien Rais ia tak akan bisa lagi menduduki jabatan impian Presiden RI, nasibnya terhenti di posisi ketua MPR/DPR. Namun dari situlah ia sadar, ternyata jabatan di Parlemen lebih menggiurkan ketimbang jabatan politik.

Amien Rais  menjadikan semua anak anaknya sebagai calon anggota DPR atau DPRD,  Amien Rais adalah penantang Suharto, tapi ia juga menjadikan cara-cara Suharto untuk membangun dinasti politiknya. Berbeda dengan Jokowi yang mendidik anak anaknya tidak boleh bermain politik dan menggunakan uang anggaran negara untuk cari penghidupan. 

Maka Amien Rais menggunakan anak-anaknya untuk menjamin hari tua, dan menjaga kekuasaan politiknya. Hanafi Rais, puteranya maju dari Dapil Yogyakarta untuk jadi anggota DPR RI. 

Puteranya yang lain, Mumtaz Rais mencalonkan dari Dapil Magelang untuk anggota DPR RI, puterinya yang menangis-nangis disamping Ratna Sarumpaet dan menjadikan Ratna Hoax sebagai "Tjoet Nyak Dien" menjadi Caleg DPRD Dapil Sleman dan puteranya yang lain, Baihaqi mengamankan suara Kulon Progo sebagai Caleg DPRD, demi keberlangsungan nepotisme Amien Rais.

Bisakah kita mempercayai, tokoh yang kerap membolak balikkan dukungan, tadinya ia anti Suharto bahkan mengata-ngatai anak anak Suharto sudah kena karma atas perbuatan jahat bapaknya, kini malah nyaman dengan keluarga Cendana demi mengamankan posisi Dinasti Condongcatur.

Kini Amien Rais tersandung kasus kebohongan Ratna Sarumpaet, Amien adalah politisi papan atas pertama yang dipanggil pihak kepolisian. Apakah Polisi telah memegang data atas persoalan ini, bagaimapun Amien Rais adalah tokoh besar dalam dunia politik, pemanggilannya pun harus disertai data kuat, kalau data kuat itu ternyata menyudutkan Amien Rais, mungkinkah ini jadi Sandyakala Amien Rais... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun