Pertarungan pilkada DKI 2017, sudah melibatkan isu agama terlalu jauh. Menjadi pertanyaan besar saat ini apakah isu agama ini memang murni dari penistaan ataukah memang dipolitisir, pertanyaan ini harus bisa dibuktikan, bukan saja dengan fakta hukum, tapi juga fakta politik dan perkembangan yang ada secara dialektis.
Gerakan 4 November 2016, sebenarnya menjadi menarik karena dalam prolog-nya terdapat Pidato Presiden SBY soal dukungannya pada Gerakan 4 November 2016. Pertanyaan ini menjadi kontekstual saat menoleh pada apa substansi gerakan itu?, Politis atau Memang murni kemarahan rakyat?. Dalam pidato itu juga seakan-akan SBY melakukan pembelaan terhadap Islam, pembelaan terhadap Akidah. Tapi apakah ada ketulusan di hati SBY dalam membela Islam, ataukah ada niat tersembunyi untuk kepentingan politik anaknya?
Ketika BJ Habibie dengan tulus menerima Ahok, bercanda bersama Ahok dan saling rangkul penuh rasa sayang sebagai dua generasi bangsa, BJ Habibie berkata “Hadiah terbesar bangsa Cina terhadap Indonesia adalah Islam”. Ada ketulusan dalam diri BJ Habibie, melihat Ahok sebagai manusia, dan menghargai Islam dalam arti sesungguhnya, BJ Habibie menjadikan Islam sebagai Subjek dalam dunia politik Indonesia, mendorong menjadi pelaku ekonomi dalam mendorong kemakmuran bangsa, dan tidak menggunakan Islam untuk menjahili lawan politiknya. Inilah Islam yang diangkat BJ Habibie.
Seperti kita tahu bahwa di masa Presiden Suharto, sekat-sekat itu ada : Kaum Tionghoa hanya boleh bergerak di sektor ekonomi dan diberikan keleluasaan lebih, tapi tak boleh sedikitpun masuk ke sistem negara, sementara ekonomi pribumi hanya dijadikan kembang latar, kesempatan pun semu, sehingga akumulasi kapital hanya pada kaum Tionghoa yang diberikan lisensi oleh Presiden Suharto, sehingga terjadi kepincangan sosial, kaum Tionghoa dianggap bukan pribumi tapi tidak diakui dalam sistem formal dan dihambat ruang geraknya, namun punya akumulasi kapital berlebih, sementara kaum yang dianggap pribumi tidak memiliki akses kapital, tapi punya ruang gerak terhadap sistem. Kepincangan inilah yang meledak dalam tragedi Mei 1998. Gus Dur mampu membongkar semua sekat-sekat ini dengan cerdik dan membangun jalan baru peradaban Indonesia yang menolak segregasi dalam bentuk apapun.
Saat berkunjung ke Amerika Serikat, tak lama setelah peristiwa serangan 9 November 2001, Megawati berusaha didikte untuk bicara soal terorisme. Pada saat itu banyak ahli politik dan ahli ekonomi yang mengatakan bahwa kunjungan itu merupakan kesempatan emas bagi Megawati untuk mendapatkan milyaran dollar untuk bersama USA memerangi terorisme. Amerika Serikat memerlukan dukungan Indonesia yang mayoritasnya muslim. Teks Pidato atas lobby USA sudah disiapkan. Tetapi Megawati lebih memilih menyuarakan keyakinan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat. Maka dalam pidato di PBB, hasilnya sangat mengejutkan, dan membuat Pemerintah Amerika kurang senang. Megawati tegas mengatakan, 'akar masalah terorisme adalah ketidakadilan dalam persoalan Palestina".
Suatu sikap yang tidak mungkin disampaikan oleh SBY, mengingat SBY (pengganti Megawati) dikenal sebagai "golden boy America", ucapan SBY paling terkenal soal Amerika Serikat adalah "America is my Second Country" ucapan ini jelas adalah sikap mendua SBY terhadap rasa cintanya pada sebuah bangsa, dan ini jelas beda dari kebanyakan orang Indonesia yang memiliki satu rasa cinta, cinta pada Indonesia. Itulah yang ditegaskan Bung Karno juga "bahwa mencintai tanah air harus hidup dalam hatimu, tak boleh kau ragu...sedikitpun ragu" Sikap Bung Karno terhadap Palestina jelas "Kemerdekaan Palestina adalah hak dari segala bangsa" itu diucapkan Bung Karno di tahun 1960-an menjelang berlangsung Asian Games 1962, dan menolak Israel untuk ikut karena dianggap menjadi bagian penjajahan tanah air bagi orang Palestina. Sikap tegas Megawati ini yang kemudian membuat Amerika tidak senang, dan SBY malah mendekat ke Amerika seperti tanpa syarat.
Pengertian kemerdekaan Palestina bagi Bung Karno sama dengan Megawati bahwa Palestina adalah satu-satunya bangsa yang belum merdeka dalam pengertian yang seluas-luasnya. Palestina tercatat sebagai peserta Konferensi Asia Afrika. Selain itu, Megawati memegang teguh konstitusi “bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Karena itulah penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”
Ketika Amerika berencana menyerang Irak, beberapa kali, Presiden Amerika saat itu, George W. Bush menelpon Megawati sebagai Presiden dari negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia. Namun upaya tersebut gagal. Megawati dengan tegas mengatakan “Mr. Bush, Islam di Irak itu hampir sama dengan Indonesia. Kami tidak akan memberikan dukungan selama aksi itu dilakukan secara sepihak, dan tidak atas nama PBB. Berapa lama Amerika akan menyelesaikan misinya atas Irak?” Sikap keras Megawati ini juga nampak dalam Organisasi Konferensi Islam. Raja Fahd dari Arab Saudi sempat mengingatkan Megawati atas ucapannya yang keras tersebut. Namun dengan tegas Megawati mengatakan: “Ini adalah hal prinsip. Jika saya tidak ikut menyuarakan, maka orang tidak akan berani bersuara”.
Hal itu terjadi mengingat saat itu Amerika merupakan kekuatan unipolar dunia. Apa yang dilakukan Megawati bukan karena berseberangan dengan Amerika. Tidak. Megawati sangat menghormati dan mengagumi Amerika. Namun ketika hal yang sangat fundamental dilanggar, maka Megawati tidak gentar bersikap. Meskipun dengan resiko politik yang sangat besar sekalipun. Jalan politik Megawati segaris dengan jalan politik ayah-nya Bung Karno, bahwa kemerdekaan dimanapun juga harus dihormati setinggi-tingginya, karena kemerdekaan adalah pintu menuju kemanusiaan yang berdaulat, sebuah harga diri manusia bagi tanah airnya.