Dialog Dua Hati
1/
Saat aku berlari menjauh
Menjauh bathin tersiksa
Semangkin jauh hati terpenjara
Di lupa kian menderita
2/
Angin apa yang membawa kau kembali
Menyapa gadis kecilmu
Yang setia menantimu
3/
Rindu dan kangen
Kangen dan rindu
Tanpamu ku terbelenggu
4/
Sempat ingin menghapus jejak
Namun tak mampu
Kau datang seperti kilat
Dan saat itu pula kau menghilang
5/
Itulah awan di saat datang badai memporak-porandakan
Bertahun-tahun telah berlalu Elang dan camar
Masih ingatkah kisah ini telah terpatri
Malam membawa aku pada kepekatan yang memenjarakan diri pada belenggu kasih sayang yang pernah singgah di hati. Di saat segalanya mampu aku kikis dan lupakan. Dengan begitu banyak pengorbanan dan air mata yang tak mampu aku bendung di saat kau berlalu dari kehidupan. Haruskah aku kembali menguak tabir yang telah tertutup bertahun-tahun? Setelah aku menemukan pengganti dirimu yang lebih menyayangi dan mencintai! Walau kata cintanya tak berucap namun aku memahami dia lebih mencintaiku dari pada dirimu.
Maret, 1988
Perkenalan yang tanpa sengaja membawa kita semakin dekat, walau umur dan beda tingkat di sekolah tak pernah kita permasalahkan. Bahkan ketika kita sama-sama di panggil guru BP. Jawaban yang sama seakan benar-benar sehati. Kebersamaan yang kita bina berdasarkan hati menjadikan kita sepasang Romi dan Yuli seakan tak akan pernah terpisahkan. Di mana ada aku, kau pun ada di sana. Kegiatan sekolah bahkan pulang sekolah pun kita selalu bersama. Kau bela-bela mengantar aku pulang walau sebenarnya rumah kita beda arah. Tak terasa setahun sudah perjalanan cinta kita, setahun cinta itu terjalin tanpa ada masalah yang membuat kita emosi karena kau tahu betul bagaimana membujuk dan menahlukkan amarah dan keegoisanku. Walau usiamu setahun lebih muda dari usiaku.
Kebersamaan itu lambat laun akan hilang, karena tak mungkin selalu bersama sedangkan engkau tak ingin sekolah di tempat yang sama karena kau jengah pada guru-guru yang tak pernah menyetujui hubungan kita.
“Setamat SMP ini, aku akan sekolah di SMA yang lain. Aku tak ingin kita satu SMA, karena kutak sanggup mendengar ocehan guru-guru tentang kita,” ujarmu saat kita duduk di taman sekolah.
Aku hanya mampu diam, bening di ujung mataku mulai mengalir di sela-sela pori-pori wajah. Tahukah kau betapa pedih dan luka di hati ini, bila kita tak bersama. Hariku akan berasa hampa, kebersamaan itu tak ada, tak ada yang memanjakanku lagi. Tangis yang sedari tadi kutahan membuat dadaku terasa sesak, nafasku tak beraturan. Dan kau tahu itu, kelemahan yang ada pada diriku. Tanganmu merangkul pundakku dan merebahkan kepalaku pada pundakmu yang kekar. Aku merasakan kedamaian bersamamu, haruskah semua ini berlalu?
“Yakinlah dek, aku akan tetap menunggumu sepulang sekolah, kita akan tetap meniti perjalanan kita dan menapakkan jejak pada tawa dan canda kita yakinlan,” katamu berusaha meyakinkan diriku.
“Tapi mas, apakah aku bisa tanpamu? Kataku lirih seakan tersekat pada kesedihan yang berantai dan tak mampu untuk membayangkannya.
Hari ini, hari terakhir kau berada di sekolahan ini. Namun aku tak akan hadir di hari perpisahan nanti, hanya akan membuat pedih di hatiku. Biarkan aku tak melihatmu berlalu dan biarkan aku tenggelam dalam kesedihan tanpamu. Walau aku tahu kau tak akan pungkiri janjimu.
Menjumpaimu sayang disela-sela perpisahan
Maafkan aku, bila aku tak menghadiri perpisahan di sekolah kita, karena ku tak ingin mendengar kau membacakan puisi Elang itu, puisi yang kita buat bersama saat didetik-detik waktu yang tersekat. Camar mungilmu tak sanggup melihat Elang mengepakan sayap. Menjauh dari Camar. Biarkan Camar tetap berada di ruang sunyi ini, ruang yang telah menyatukan cinta kita.
Camar mungilmu akan selalu menanti
Tiga bulan sudah perpisahan itu, walau kau masih menjemputku sepulang sekolah. Namun aku tak merasakan kebersamaan itu lagi, sayangmu pun serasa berkurang. Matamu yang penuh cinta pun tak pernah kutatap lagi. Rangkul sayangmu pun telah menghilang seiring waktu yang berlalu. Aku merasakan perubahan itu, dan benar-benar merasakannya. Saat rutinitasmu menjemput telah berkurang, saat aku ingin bersamamu berbagai alasan kau beri dari tugas sekolah hingga kegiatanmu di luar sekolah. Haruskah aku marah dengan semua ini? Haruskah aku pertanyakan tentang cinta kita? Haruskah aku tuntut kesetiaan yang kau janjikan dahulu?
Tidak! Tidak akan! Aku lakukan itu, aku akan membiarkan kau tenggelam dalam suasana barumu. Aku akan tetap di ruang sunyi ini menanti sang Elang kembali dan menepati janjinya.
Hingga akhirnya pertengkaran itu terjadi setelah aku menyaksikan sendiri kau menduakan hati.
“Untuk apa mas! Untuk apa! Semua ini , tiada artikah aku selama ini? Kurang apa aku mengalah! Mas sendiri yang berjanji dan mas sendiri yang mengingkari janji itu, apa dosaku mas, padamu.” Tangis ku tak dapat kubendung lagi sembari memukul dadanya yang bidang. Nafasku mulai terasa sesak dank au buru-buru mengambil obat sesak nafasku. Masih kulihat rasa cemas, ada rasa sesal yang terpancar di matamu. Namun maafkan aku mas, aku tak ingin melihatmu lagi, terlalu sakit dan perih luka hati ini seperti ditetes perasan jeruk nyerih. Berlalulah mas, biarkan aku sendiri dalam deritaku.
Juni, 1991
Sejak saat itu, aku pun tak pernah ingin ditemuinya. Hingga aku memutuskan untuk melanjutkan kuliahku ke kota lain. Mungkin di sini aku mampu melupakan lukaku bersamamu. Perjalanan hariku pun kembali seperti semulah dan berharap perjalanan cintaku menjadi pelajaran diri. Disaat lukaku telah tertutup tabir kau hadir kembali, dan hanya berkata
“ Maafkan mas, mas akui kesalahan ini, kehilafan mas aka cinta kita yang tak mampu mas jaga. Mas datang tak ingin mengganggu adek, hanya ingin pamit. Mas akan mengadu nasib ke negeri seberang. Mas berharap adek tetap menanti mas pulang.”
Tak perlu kau ucapkan mas, aku masih menantimu hingga sampai kapan pun, karena kau tetap Elangku. Tak akan ada yang dapat menggantikan posisimu walau kau sempat terbang dan tinggalkanku. Maaf biarkan kata-kata ini terucap dalam hati agar kita dapat saling memahami seperti dulu berdialog dengan hati.
Bertahun-tahun aku menunggu khabarmu, tak selembar surat pun kau layangkan. Hingga seseorang hadir dan ingin memenuhi relung hatiku dengan kasih sayangnya. Haruskah aku menolaknya? Dan tetap menunggu kau kembali, yang tak pernah tahu kapan kau kembali! Ya, Allah dalam sujud istiharohku, berikan aku petunjuk bila yang di depan mataku adalah jodoh terbaik bagiku, dan apabila tidak beriku petunjuk siapa yang berhak memiliki hatiku ini. Dengan segenap jiwa dan petunjuk Allah, aku mengambil keputusan menerima lamarannya dan menikah dengannya. Keluarga kecilku penuh dengan kebahagiaan. Hingga bahagiaku terusik dengan deringan telpon
“Halo, bisa bicara dengan Camar,” degup jantung ku tak menentu benarkah di seberang sana kau, Elangku yang tiada kabar berita. Aku buru-buru menenangkan hatiku, agar tak mengundang prasangka suamiku. Perbincangan demi perbincangan terlewatkan. Hingga akhirnya aku menutup telpon darimu. Kenapa dibenakku terpapar wajahmu yang melekat dihatiku bertahun-tahun? Kenapa kau hadir di tengah bahagiahku?
Apatah tak berjawab, hingga aku memutuskan untuk berdialog kembali denganmu lewat hati seperti yang sering kita lakukan terlebih bila ada persoalan yang tak terselesaikan. Setelah ber whuduk dan mengenakan mukenah, aku mencoba memanggilmu dengan telepati, agar kita sama-sama menyelesaikannya dengan dialog hati bukan berdialog dengan mulut karena kebohongan dan amarah yang akan terpenuhi pada rongga persoalan.
“Mas, aku ingin bicara padamu, duduklah, kita bicara sejenak,” kurasakan tiupan di kuduk dan kutahu kau telah hadir dan duduk dihadapanku.
“Kenapa dek, apa kah kau ingin kita kembali merajut cinta kita yang sempat tersekat waktu,” katamu membuatku jengah dan ingin menampar wajahmu. Namun tersadar bahwa kita bicara dengan hati kita berdua.
“Aku telah meneemukan cinta dan kasih sayang, dan biarkan aku bersamanya memupuk rasa itu seutuhnya, jangan ada getaran di hati kita lagi. Hingga dapat merusak segala apa yang telah aku bina.”
“Tidak! Bagiku , kau tetap camarku yang mungil yang butuh aku lindungi,” aku merasakan getaran amarah itu. Namun aku harus bisa menentukan pilihan dan bertahan pada pendirianku.
“Terima atau tidak itu adanya dan harus kau terima! Kataku sedikit tegas.”
Aku tahu, kau pasti terluka namun kalau kau memahami lukaku lebih dalam dan perih saat kau bohongi dan tinggalkan aku bertahun-tahun tanpa khabar berita. Biarlah cerita kita menjadi cerita hati kita. Biarkan hati kita berdialog ketika rasa itu memenuhi ruang. Berjalan dijalan yang sama belum tentu tujuan kita sama. Doa Camar selalu ada untuk Elang.
Goresan Akhir Dua Hati
Mengapa elang mengepakan sayapnya kembali setelah sekian tahun telah berlalu
Entah berapa kali musim berganti, berapa kali tangis ini menggenang dipelupuk mata
Berapa kali bulan purnama terlewati, Awan putih kembali hitam
Pelangi barganti hujan bahkan kembang mulai layu
Rumput-rumput telah mengering berterbangan ditiup sang bayu