Mohon tunggu...
Bunda Ai
Bunda Ai Mohon Tunggu... profesional -

Guru Prakarya & Kewirausahaan. Suka memasak untuk suami&anak, belajar apapun dan dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Aku, Kompasiana dan Suamiku yang Pemaksa

13 Oktober 2014   22:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:11 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menikah dengan suamiku tanpa ada restu dari ibunya hanya karena perbadaan status sosial, namun suamiku ngotot dan berusaha keras menyuntingku dengan resiko sering beda pendapat dan beda keinginan dengan ibunya.

Menunjukkan kemampuanku sebagai wanita kampung lewat paksaannya untuk mengikuti seabreg kegiatan pelatihan adalah upaya suamiku menunjukkan jati diri serta kemampuanku. Dan aku merasakannya sebagai bentuk sayang dan cintanya yang besar padaku.

Merias pengantin adalah kegiatan pertamaku pada sebuah LPK di kota Pandeglang, kebetulan memang ini cocok dan sudah lama kunantikan. Ini adalah paksaan pertamanya dan aku memang juga menyukainya. Dan hebatnya lagi ini pelatihan meriasku yang pertama ini bersifat gratis. Entah dari mana suamiku mendapatkan formulirnya, yang kuingat itu adalah kerjasama LPK dengan Dinas Sosial Provinsi Banten.

Dari sanalah terbuka jalanku untuk mendapatkan kemudahan mengikuti kegiatan pelatihan keterampilan lainnya seperti membuat aneka kue, memasak hingga membuat hantaran pengantin.

Dan support suamiku demikian besarnya lewat menghantar atau belai-belain minjam uang pada saudaranya untuk mengongkosi kegiatan keterampilanku.

Setelah keterampilanku semakin bertambah dan saat kemampuanku dilirik orang, mulailah ibu mertua yang tadinya bersikap sebelah mata mulai melirikku dan sering menyuruhku membantunya lewat kemampuan keterampilanku. Sedikit-demi sedikit aku mulai diperhitungkan oleh ibu mertua.

Setahun lalu tiba-tiba suamiku mulai memaksaku kembali mengikuti keinginannya untuk mengajar dengan mendaftarkanku pada sekolah setingkat SMA,  tempat dimana suamiku mengajar dengan mengambil bidang study baru (K13) yaitu prakarya dan kewirausahaan.

Dan ternyata lamaran mengajarku diterima, lagi-lagi suamiku mensuportku dengan segala bantuan mulai dari administrasi guru, mengetikkan soal hingga mengajari pembuatan RPP dan segala macam yang berkaitan dengan tugas baruku sebagai pengajar Prakarya & Kewirausahaan.

Tanpa terasa setahun sudah aku mengajar dan mulai menikmati dunia belajar mengajar, cape memang membagi waktu antara sekolah, anak dan suami serta urusan rumah tangga. Namun kini tak menyesal aku telah dipaksa suamiku untuk mengajar. Mengapa, karena lewat berbagi ilmu inilah aku merasakan semakin memiliki manfaat bagi orang lain, terpacu terus untuk belajar demi mengembangkan pengetahuanku.


  • Kompasiana.

Empat bulan lalu aku kembali dipaksa suamiku untuk mengikuti kegiatan baru dengan bergabung bersama suamiku di blog keroyokan Kompasiana, dengan berbagai promosi ala sales suamiku meyakinkanku tentang manfaat banyak bila bergabung di kompasiana. Mulai dari akan bertambahnya ilmu lewat membaca tulisan kompasianer hingga nangkring berdua sambil menengok anak di Jakarta.  " Sayang mah, kebiasaan menulis di buku diary bila tidak dimanfaatkan": kata-kata itu diulang setiap ada kesempatan.    Teringat begitu banyak manfaat paksaan suamiku selama ini, aku mengiyakan tanpa syarat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun