Pernah ga sih merasa ga setuju atau ga sreg terhadap sesuatu? Pengennya komplain atau protes aja terhadap sesuatu.
Kalau lagi pengen protes, komplain, atau menyampaikan pendapat atau aspirasi gitu, apa sih yang biasanya teman-teman lakukan?
Misalnya nih, anak-anak biasa dapat duit jajan 50ribu seminggu. Mungkin uang segitu cukup bagi mereka, dulu, tapi sekarang, apa masih cukup? Saat banyak harga barang naik, saat kebutuhan meningkat, rasanya udah ga cukup lagi ya. Lalu, protes lah mereka. Apakah mereka pakai acara demo untuk menyatakan ketidaksetujuan? Apakah mereka pakai acara mogok-mogok makan untuk menunjukkan protes? Rasanya ga gitu kan ya?
Menunjukkan ketidaksetujuan, menyampaikan protes atau aspirasi, bisa dengan banyak cara.
Negara kita ini mengenal istilah musyawarah untuk mufakat. Ketika ada ketidaksesuaian, ketidaksetujuan, cara mudah menyampaikannya justru dengan bicara, diskusi. Bahkan dalam keluarga aja pun berlaku lho musyawarah untuk mufakat.Â
Ya seperti kasus anak tadi, kalau mereka ga setuju dengan pemberian uang jajan yang masih segitu-gitu aja, ya tinggal ngomong kan? Diskusi. Kalau ternyata orangtua punya kendala keuangan dan tidak sanggup memenuhi permintaan anak, kan bisa dibicarakan baik-baik. Ga perlu pakai demo-demo kan? Kadang demo ga selalu bisa menyampaikan aspirasi dengan baik. Seringkali justru terjadi kesalahpahaman.
Kayak saya aja nih, ceritanya mogok bicara sama suami yang tiba-tiba beli bass tanpa bicara pada saya atau ketika dia memilih mau berbisnis tanaman hidroponik. Alih-alih membicarakan suara hati, saya malah milih demo, protes, mogok bicara. Yang ada suami jadi salah paham, ga ngerti ini istrinya tiba-tiba mogok bicara karena apa.
Setelah suami ajak bicara baik-baik, kami diskusi hingga berdebat. Saya menyampaikan aspirasi, bicara apa yang saya inginkan, apa yang saya rasakan, bagaimana perasaan saya, dsb. Suami juga bicara dan menjelaskan, kami berdiskusi hingga akhirnya menemukan solusi.
Ternyata, setelah sekian tahun perkawinan, saya baru menyadari, kebiasaan saya yang suka mogok-mogok bicara, demo-demo protes gitu ternyata ga efektif sama sekali untuk menyampaikan aspirasi. Saya belajar, ternyata, untuk menyampaikan sesuatu, ketidaksetujuan sekali pun, better ya ngomong, bicara, diskusi.Â
Menyampaikan keberatan dengan cara mogok atau demo gitu jadi terlihat kurang dewasa, koga ya kesannya kek anak-anak yang belum bisa diajak bicara atau diskusi . Karena kemampuan komunikasinya terbatas, anak-anak memilih protes dengan mogok atau demo. Apa iya kita kek gitu? Waduuh.
Nah, ini sih yang saya rasain saat lihat demo-demo saat ini. Ya bukannya ga boleh demo. Cuma ya kalau demo di saat pandemi gini untuk sesuatu yang masih bisa disampaikan dengan cara lain itu kog ya rasanya gimana ya? Emangnya sudah ga ada sarana lain untuk menyampaikan aspirasi?
Kayak rencana demo besar-besaran tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, apa iya lebih efektif disampaikan dengan demo? Apa iya akan tersampaikan semua tuh unek-uneknya?
Yang sudah-sudah sih demo-demo begini cuma mengundang Mudharat. Yang lempar-lemparan lah, bakar ban, efek terburuknya ya rusuh. Apa dengan begitu aspirasi jadi tersampai kan?Â
Emang orang yang kita protes akan tahu apa keberatan kita? Apa iya mereka tahu apa yang bikin kita keberatan?
Misalnya kaum pekerja keberatan dengan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang kurang berpihak terhadap ibu hamil dan menyusui, apa iya dengan demo akan tersampaikan? Apa iya mereka bisa paham apa yang jadi keberatan kaum pekerja?
Tapi sepertinya memang banyak yang kurang paham apa sebenarnya Omnibus Law itu. Yang dicetuskan sebagai undang-undang sapu jagat atau undang-undang yang akan lebih menyederhanakan dari peraturan yang sudah ada. Yang selama ini dirasa masih tumpang tindih.
Presiden sebagai pemimpin negara sangat berharap dengan adanya Omnibus Law ini, maka para investor akan dapat menanamkan modal di Indonesia tanpa melalui birokrasi yang berbelit tapi lapangan kerja akan tersedia semakin luas sehingga bisa mencukupi kebutuhan tenaga kerja yang ada. Apakah para pekerja tahu inilah tujuan pemerintah, dalam hal ini presiden,?
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini kan penyederhanaan beberapa undang-undang terkait penciptaan lapangan kerja yang sebelumnya terpecah-pecah menjadi berbagai macam undang-undang yang membuat birokrasi penciptaan lapangan kerja menjadi ribet.Â
Pada intinya sih Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini bertujuan untuk memudahkan pembukaan lapangan kerja di Indonesia, memberi regulasi yang jelas bagi pengusaha yang ingin berinvestasi dan membuka lapangan kerja, memudahkan birokrasi dalam berinvestasi. Jika tadinya dengan banyak undang-undang yang saling tumpang tindih dan membuat bingung kalangan pengusaha yang akan berinvestasi, kini dibuat lebih sederhana dan mudah. Ujung-ujungnya ya tentu untuk kemudahan pembukaan lapangan kerja.
Sejatinya sih, itikad baik pemerintah untuk memudahkan dan menyederhanakan birokrasi ini mustinya disambut baik sih. Toh selama ini kita juga suka ngeluh kan soal kurangnya lapangan kerja. Kog giliran dicarikan solusinya, malah diprotes? Ya ok lah jika ada banyak pasal-pasalnya yang mengundang keberatan para pekerja, ini masih bisa didiskusikan kan? Masih bisa disampaikan dengan cara yang "manis" kan?
Betapa melangsungkan demo di masa pandemi sekarang ini jelas memunculkan banyak masalah baru. Resiko yang tinggi. Pelanggaran protokol kesehatan akan sangat besar. Yang pasti akan banyak orang yang mungkin abai dengan physical distancing. Kalau ada banyak orang, sulit rasanya menjaga jarak kan? Iya kalau semua patuh bermasker, kalau nggak? Kebayang lah itu muncratan-muncratan ludah ke mana-mana *hiiiy. Kebayang ga kalau diantaranya ada yang carrier alias pembawa virus COVID-19? Menulari banyak orang lalu muncul cluster baru COVID-19. Duh, ini kan jadi merepotkan banyak orang.
Cara lain buat protes bisa aja kan disampaikan lewat media sosial, ngobrol sama wakil DPR. Atau bisa juga bikin petisi atau mungkin surat terbuka? Menulis opini di Kompasiana gini juga bisa jadi salah satu cara kan? *Cmiiw.
Ya ini mah sekedar opini saya, maaf jika ada yang tidak berkenan. Yang pasti, menyampaikan aspirasi bisa kog dengan cara yang lebih elegan dan efektif. Banyak jalan menuju Roma, ya ga sih? Kalau teman-teman, bagaimana nih cara menyampaikan aspirasinya? Share dong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H