Isu tentang krisis iklim dunia yang sudah bergulir selama beberapa tahun terakhir telah menjadi isu panas yang juga mencuri perhatian rakyat Indonesia, terlebih setelah terjadinya kasus Kebakaran Hutan (Karhutla) di Sumatera dan Kalimantan pada bulan Agustus-Oktober 2019 lalu yang dinilai sebagai salah satu penyumbang terjadinya krisis iklim yang saat ini terjadi.
Menyikapi isu tersebut, Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), INDIES, IBON International dan Koalisi Clean Biofuel For All mengadakan Dialog Multipihak pada Rabu, 18/12/2019 bertempat di Hotel Sofyan, Tebet -- Jakarta Selatan.
Dialog ini dihadiri oleh Abednego Tarigan perwakilan dari kantor Staff Kepresidenan Republik Indonesia (KSP-RI) serta perwakilan dari berbagai organisasi dan NGO seperti AGRA, SERUNI, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), LSAM, SP JICT, PEMBARU, SPI, INDIES, Koalisi Clean Biofuel for All dan FMN. Dalam dialog tersebut membahas tentang masalah perubahan dan krisis iklim yang terjadi serta upaya-upaya yang telah dan akan dilakukan yang berdasarkan pada tuntutan masyarakat yang berkaitan dengan krisis iklim.
Nego dari KSP menjelaskan bahwa sejauh ini Pemerintah telah melakukan upaya untuk menyelesaikan kasus krisis iklim dengan 2 (dua) tahapan, yaitu Litigasi dan Mitigasi. Pemerintah telah melakukan upaya dalam tahapan litigasi yang mencakup sektor energi, kehutanan, pertanian, limbah dan IPPU (Industrial Prosess and Product Use). Dalam tahapan Mitigasi, Presiden telah berkomitmen untuk mewujudkan lingkungan hidup yang berkelanjutan, "Mitigasi perubahan iklim ini juga sudah tertuang secara eksplisit dalam janji presiden sejak periode pertamanya" tambahnya.
Namun apa yang sudah dilakukan dan direncanakan oleh pemerintah seperti apa yang disampaikan oleh Nego tidak memberikan perubahan ke arah yang lebih baik bagi rakyat, terkhusus kaum tani yang paling terdampak dari adanya perubahan iklim tersebut.
Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Rahmat Ajiguna dari AGRA. Rahmat menjelaskan bahwa akibat krisis perubahan iklim ini kaum tani mengalami kerugian dengan semakin merosotnya hasil produksi pertanian bahkan kaum tani terancam mengalami gagal panen akibat kemarau panjang dan curah hujan yang semakin sedikit.Â
"Petani kita ini masih sangat bergantung pada iklim dan cuaca dalam proses produksinya yang masih menggunakan alat-alat tradisional yang terbelakang, sekarang saja biasanya pada bulan-bulan berakhiran 'Ber' petani sudah mulai memasuki masa tanam karena hujan harusnya sudh turun, tapi sampai mendekati Januari, petani masih kebingungan karena curah hujan yang masih tidak menentu" paparnya.
Akibat dari ketergantungan petani pada iklim dan penggunaan alat pertanian terbelakang juga tidak jarang petani harus menjadi korban dari permainan tengkulak nakal, "Saat panen, karena tidak adanya sinar matahari, petani terpaksa harus menjual padinya yang tidak kering bahkan berjamur dengan harga yang sangat murah" tambahnya lagi.
Hal serupa pula disampaikan oleh Agus Sutomo dari koalisi Clean Biofuel. Menurutnya Pemerintah memang sudah ada upaya dalam menikapi krisis iklim ini seperti membuat listrik dari sampah serta penggunaan bahkan memproduksi Biofuel dan menempatkan Indonesia di posisi nomor 5 terbesar di dunia dalam produksi Biofuel. "Tapi apakah kemudian Pemerintah sudah membuat kebijakan untuk mengatasi wilayah-wilayah yang terbakar tersebut?" tanyanya.
Dalam konteks hutan yang masih belum mendapatkan penegakan hukum, bahkan menurut Tomo, Pemerintah Pusat/KLHK malah sibuk menangkapi, segel, gugat, para pegiat lingkungan.
"KLHK sebenarnya adalah tempat atau papan bermain catur untuk mendapatkan wilayah konsesi di hutan yang memberi perlindungan hutan namun juga memeberi Hak konsesi hutan." Paparnya.