Mohon tunggu...
Liana Citra
Liana Citra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pribadi

Lahir di Indramayu, Jawa Barat. Apa adanya,suka menuangkan rasa lewat kata meski tak bisa menulis seindah pujangga dan sebaik para penyebar berita. FB : www.facebook.com/liana.citra.756 and follow my Instagram @_l_citra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerbung : Gadis di Ujung Senja (Bagian 2)

15 November 2013   14:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:08 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_291923" align="aligncenter" width="400" caption="Image may be subject to copyright"][/caption] ___Preview : Dia adalah gadis cantik yang terlahir ditengah keluarga yang kaya raya, kecantikan dan setatus social itu yang menjadikan Dia sebagai sosok yang begitu fenomenal, di sekolah, lingkungan tempat tinggalnya, juga teman-teman sebayanya. Bahkan Dia dianugrahi gelar "Ratu sekolah" di sekolahnya. Namun, segala kemewahan dan hal yang dimilikinya itu ternyata menghantarkan Dia kegerbang pergaulan yang kelam dan menjaikannya sosok yang egoistis. Hingga kejadian yang tak terlupakanpun menghampiri kehidupannya. Sesaat setelah pertengkarannya dengan Wahyu,sahabat yang juga secara diam-diam menaruh hati padanya. Cuaca siang itu amat menyengat, pancaran mentari yang menyentuh permukaan bumi seakan tengah berada di titik tertingginya. Nampak seorang siswa dengan seragam putih-abuabunya melangkah, menyusuri lorong sekolah yang menghubungkan ruangan kelas dengan ruang Guru. Perawakan tinggi kekar dengan rambut hitam lurus yang dibelah 7/3 terlihat mantap melangkah, menuju ruangan di ujung lorong itu. Diatas tangannya tertumpuk beberapa buku yang menjulang hingga menutupi bagian dadanya. "Woey...!!" Tepukan tangan seseorang yang mendarat di pundaknya sontak membuat ia terkejut. “ KemaneBray?” lanjutnya. “Ah elo Dith, ngagetin aja. Ini kaga liat? nganterin buku ke ruangannya pak Hasbun” Jawab pria itu. “Sini gue bantuin, kesiksa bener lo keliatanya” tawar Radith yang melihat Wahyu kesulitan dengan tumpukan buku-buku di tangannya. “Ah syukur deh, gue kira lo kaga ngerti” Radhit hanya terbahak mendengar jawaban Wahyu, sahabatnya, kemudian mengalihkan sebagian buku dari tangan wahyu ke genggamannya. “Eh iya, lo udah dapat kabarnya Dia?” Tanya Radith sekembalinya dari ruangan pak Hasbun. Wahyu yang ditanya hanya mengangkat kedua bahunya. “Tau deh, udah berkali-kali gue tanya ke keluarganya, tapi jawabannya masih sama. Dia masih gak mau ketemu sama siapapun.” Ucap Wahyu lirih. Lalu pandangannya dilempar jauh ke depan, seolah tergambar kembali kesedihan yang selama ini ia coba sembunyaikan. Kerinduan dan kekhawatiran terdengar jelas dari nada suaranya. “Huuuffgh,…!!” Nafas beratpun ia hembuskan. “Ya sudahlah Bray, mungkin memang ini yang terbaik untuk Dia dan kita semua. Doakan saja semoga semua bisa menjadi lebih baik.” Radhit seolah tahu persis bahwa sahabatnya tengah mengalami kegundahan yang maha dahsyat. “Ah apaan sih lo, so melankolis banget dah.” Tangan wahyu berusaha menyingkirkan tangan Radith yang bertengger di pundaknya. “Haha… yah elah Yu, sekali-kali kite romantic kan gak apa-apa kali” ledek Radith yang melihat Wahyu sibuk menyembunyikan kesedihan yang mulai terlihat di roman wajahnya. “Najooong….!!” Pungkas Wahyu yang berlari, berusaha mendahului Radith yang berada di sampingnya. Lalu kedua sahabat itu berlari, saling kejar, langkah mereka diiringi dengan gelak tawa dan candaan. Memang tidak ada yang berubah dari sosok Wahyu pasca pemberitaan media tentang kasus yag menimpa sahabat serta gadis yang dicintainya secara diam-diam itu. Ia tetap terlihat kalem dancool. Prestasi di sekolanya pun tetap stabil, seakan tidak ada kekhawatiran apapun dalam dirinya. Tapi, bagi orang-orang terdekatnya, termasuk Radith, Wahyu jelas tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Meski kerap ia menyembunyikan kesedihan dan kekhawatiran yang teramat  sangat dengan canda tawa dalam kebersamaan mereka. Kerinduan akan sosok Dia jelas diembannya saat ini. *** Sementara itu… Di tempat yang berbeda, dilereng bukit yang berselimut kabut tipis nan putih, dengan suhu udara yang pastinya jauh berbeda dengan Ibu kota dan segala hingar bingar dan pencemaran polusinya. Gadis cantik terbalut pakaian yang serupa dengan orang-orang disekelilingnya terlihat menyendiri disalah satu kursi yang tersebar di area taman rindang itu. Tangannya terlihat aktif menggerakan pena yang menari di atas sebuah buku, sesekali pandangannya ia lempar kesekeliling taman lalu kembali tertunduk, menatapi rentetan hurup yang ia cipta. "Nona Dia, Dokter Aldi memintamu untuk datang ke ruangannya." Suara seorang wanita berseragam serba putih menghentikan aktifitasnya. "Ah ya, terimakasih Suster." Ucapnya dengan seulas senyum manis yang ia lemparkan. "Sama-sama, mari saya duluan" Dia hanya mengangguk untuk mengiyakan. Masih, dengan senyum manisnya yang mengembang. Setelah suster tadi berlalu, tangan Dia kembali sibuk merapikan beberapa buku dan pulpen yang berserak di sekelilingnya, kemudian melangkah, meninggalkan keasrian taman dan lamunannya, menuju ruang yang dimaksudkan. Dia, gadis cantik berusia belasan tahun yang kini tercatat sebagai salah satu penghuni panti rehabilitasi yang berlokasi di pinggiran kota Bandung, terlihat lebih ceria dari pertama kali ia dikirim ke tempat tersebut. Kehidupan dan suasana panti telah mampu melahirkan Dia yang baru, kendati beberapa minggu pertama di panti terasa seperti neraka baginya. Terisolasi dalam lingkungan yang sangat tertutup dengan minimnya prasarana dan alat komunikasi, terlebih internet. No BBM, No Watsapp, No Facebook, No Twitter dan berbagai media sosial lainnya semakin menambah nilai kejenuhannya. Namun seiring berjalannya waktu, perlahan Dia telah bisa beradaptasi dan mulai terbiasa dengan keadaan tersebut. Bahkan, sosok Dia yang manja, judes dan egoistis kini telah lenyap, berganti dengan Dia yang kalem, mandiri dan selalu menebar senyum pada siapapun. Ya, ternyata masalah dan kesulitan telah memberikan Dia banyak pelajaran, dan pengalaman tersebut mengantarkannya pada kedewasaan yang sebenarnya. Took.. Took…. Tangan Dia mengetuk daun pintu ruangan Dokter Aldi. “Ya, masuk.” Sahut suara dari dalam ruangan bercat putih itu. Nampak seorang Pria berperawakan sedang yang mengenakan pakaian serba putih, mirip seperti Suster tadi.  Kacamata yang terpampang menutupi matanya menambah kesan wibawa pada dirinya. “Siang Dok” Sapa Dia saat mulai memasuki ruangan tersebut. “Hai Dia, selamat siang. Bagaimana kondisimu hari ini?” Sambut Pria yang dipanggil “Dok” itu. Ternyata dialah dokter Aldi, dokter yang selama ini mengawasi perkembangan psikis dan pesikologi para penghuni panti, termasuk Dia. “Saya baik, dokter sendiri bagaimana?” Jawab Dia. “Syukurlah, saya juga selalu baik pastinya. Mari silahkan duduk.” Kemudian dengan senyum ramahnya, dokter Aldi mempersilahkan Dia menduduki kursi yang berada dihadapan meja kerjanya. “Emmmh…Dia Prameswari, Perkembangan kondisi kamu melesat drastis yah. Waah hebat.” Ucapnya dengan mata yang masih khusyuk menatap lembar-lembar kertas di tangannya. “Terus pertahankan, makan teratur dan konsumsi obat serta olahraganya jangan lupa ya. Bila dalam seminggu ini kondisimu terus membaik, kamu bisa mengajukan waktu kepulanganmu lebih cepat dari yang ditentukan.” Terang sang dokter. “Benarkah dok, saya bisa segera pulang?” Tanya Dia meyakinkan tentang apa yang barusan didengarnya. “Betul” Jawab dokter dengan anggukan pasti. “Ngomong-ngomong, menurut penuturan suster jaga, belakangan ini kamu sering tidur larut, kenapa Di? Apa ada sesuatu ynag mengganggumu?” lanjut dokter “Ah.. tidak ada apa-apa dok, hanya saja beberapa hari kebelakang saya lagi suka menekuni hobby lama saja” tutur Dia menjelaskan. “Hobby? Apakah itu?” tanya dokter menyelidik. “Menulis dok.” Jawab Dia malu-malu. “Ooh.. wah bagus itu, terus  kembangkan. Tapi ingat, harus jaga kesehatan juga yah.” “Baik dok, terimakasih.” “Kapan-kapan boleh saya baca tulisannya?” tanya dokter Aldi dengan senyum yang masih melekat di keua bibirnya. “Tentu saja boleh, nanti kalau ceritanya sudah selesai dokter yang jadi pembaca pertama saya ya.” Jawab Dia setengah bercanda. “Deal!” jawab dokter Aldi, dan tawa merekapun memenuhi seisi ruangan tersebut. *** Beberapa minggu sudah Dia kembali ke rumah mewahnya, setelah beberapa bulan tinggal jauh dari rumah dan keluarga serta kehidupan yang dulu dimilikinya, kini segalanya telah kembali ketempatnya semula. Hanya saja satu hal yang memang telah berubah, sikap dan sifat Dia. “Sayang, apa kamu masih tidak mau nak Wahyu mengetahui kepulanganmu ini?” Tanya Ibu Cokro, yang terduduk di hadapan Dia yang sibuk menatap layar PC dengan tangan yang tak kalah sibuknya menari diatas keyboard . “Kasihan dia, entah sudah berapa puluh kali nak Wahyu menelpon Mamah untuk mencari tahu keberadaanmu.” Lanjutnya. “Dia masih malu untuk bertemu dengannya Mah” Kali ini pandangannya beralih menatap wajah cantik Mamahnya. “Yakin deh, suatu saat nanti Dia pasti akan menemuinya, tapi tidak dalam waktu dekat ini.” Jawab Dia lirih. Bu Cokro hanya mengangguk seraya mengelus rambut putri semata wayangnya itu, dengan penuh kasih ia lalu memeluknya. Inilah kebahagiaan baginya, bukan harta benda yang melimpah, tapi kasih sayang dan keutuhan keluarga. __Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun