Mohon tunggu...
Haryo K. Buwono
Haryo K. Buwono Mohon Tunggu... -

Menulis juga disini: www.antisintesa.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Goro-Goro I (Gareng + Petruk)

18 September 2012   15:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:16 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berikut ini adalah pembicaraan antara Gareng dan Petruk, saat Goro-Goro dijaman Tanah Jawa mengalami Era Baru. Petruk : ada yang ingin saya tanyakan kepada Kang Gareng, sebenarnya apa pengertian dari ”slendro”? Ada yang bilang kepada saya,orang Slendro itu memiliki kecendrungan tidak sama dengan kebanyakan orang pada umumnya. Banyak orang menyebutnya sebagai pemberontak atau keluar dari pakem, itu yang pertama. Yang kedua, ada yg menyebutkan ”Kamu jangan punya keinginan untuk memperdalam ilmu tasawuf, karena tasawuf dijaman sekarang, berbeda dengan tasawuf dijaman Rasulullah. Tasawuf sekarang lebih condong terhadap ke ilmu kebathinan, sehingga keluar dari jalan Allah.” Gareng : Petruk Adiku, saya berikan jawaban ilmiah dulu. “Slendro” adalah nada dasar asli dalam gamelan Jawa (Pentatonis). Semenjak datangnya Islam di Jawa, maka muncul nada “Pelog” (yang berarti pelo atau miring). Jadi nada dasar Slendro adalah nada JEJEG atau Lurus. Menanggapi penggunaan kata slendro sebagai konotasi tidak sama dengan pakem, sebetulnya sekarang ini yang dianggap wajar dimasyarakat adalah cenderung keliru. Jadi, slendroisme ini adalah suatu bentuk pemberontakan atas ketidakwajaran yang ada sekaran. Namun, karena sering berbeda maka sering dianggap cara berpikir yang “aneh” padahal sebetulnya “lugu”. Kemudian kata “slendro” untuk Kejawen/kebathinan, ini kayaknya cenderung untuk pendekatan saja / dimirip-miripkan, walau sebetulnya tidak ada korelasinya. Kalau bicara tasawuf, sebetulnya ilmu itu memiliki kedalaman dalam hati, sehingga membaca Kitab Allah SWT (Quran dan Alam Semesta), tidak sekedar membaca dan mempelajari, namun lebih dihayati dan dijalankan sesuai kedalaman hati. Tasawuf itu ilmu filsafat islam. Semakin dalam mempelajari Tasawuf, biasanya semakin tergila2 dengan keberadaan Allah. Kembali pada “kesenangan” mempelajari tasawuf, niatannya untuk apa. Untuk Pameran dan arogansi, maka masuk katagori JIL (Jamaah Islam Liberal). Petruk: Terimakasih Kang Gareng, penjelasannya sangat menjawab sekali. Ini akan membuat saya semakin mantab lagi mendalami ilmu Tasawuf, yang tentunya bukan untuk pameran atau arogansi, tapi, kalau istilah sundanya untuk ”ngaji diri” sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT. Sebentar Kang, ada sedikit yang mengganjal dalam kedangkalan pikir saya. ”setelah kedatangan Islam ditanah Jawa, maka lahirlah nada Pelog diartikan pelo atau miring”. Bukankah, islam adalah agama pembawa kebenaran? Gareng : Saya sedang mendalami Filsafat Islam dan Jawa untuk kepentingan diri. Biasanya teman-teman kalau diskusi sama saya sering “terkejut” dengan ungkapan saya. Pertama karena tidak standar, yang kedua selalu diakhiri dengan “benar juga ya”. Kebenaran sering tertutup kabut tipis yang sebenarnya kabut itu, karena “ketakutan” menyampaikan pendapat, alias takut dibilang calon penghuni  Neraka. Sebetulnya Bagi saya Neraka atau Surga itu sama saja, yang terpenting kepandaian kita dalam bersyukur, dalam menerima Surga atau Neraka itu. Istilah saya, Walau nanti saya dimasukkan Neraka, yang penting mendapat Ridho Allah. Jangan sampai masuk Surga tapi enggak diridhoi. Pelog = Pelo = Miring, artinya bukan dikaitkan dengan Agama Islam secara Harafiah. Tetapi nada Arab itu tidak sama dengan nada Asli Jawa (Slendro), Maka dibuatlah Nada Pelog. Pelog ini bagi orang Jawa Asli termasuk saya, memberikan suatu momentum dimana Jawa dan Islam (Arab) bisa berjalan bersama, tetapi tidak bisa bercampur. Artinya: Saya bisa memeluk agama Islam, tapi lebih mampu bersetubuh dengan Jawa. Jadi, saya masih orang Jawa, dan tidak bisa meninggalkan budaya Jawa itu. Budaya welas Asih, gotong royong, ora gampang nesu, ora gampang pinginan, ora gampang gawe lara atine uwong. Mangan Ora Mangan Sing Penting Madhang = Makan atau tidak makan yang penting “Terang”! (Terang Pikirannya, Terang Hatinya). Petruk: Maaf Kang gareng, Saya semakin tergelitik untuk bertanya lebih lanjut. Mengapa antara Islam dan Jawa tidak bisa bercampur. Kalau budaya Jawa mengajarkan welas asih, gotong royong, ora gampang nesu, ora gampang pinginan, ora gampang gawe lara atine uwong, bukankah Islampun, kalau kita mau membuka makna dari ”Bismillahi rohmanirohim”, mengajarkan hal yang sama seperti halnya Budaya Jawa. Gareng: Hehehehe…. Sebetulnya ini yang sedang saya alami. Saya merasakan bahwa semakin kedalam mempelajari Islam dan Jawa, semakin terlihat jarak antaranya. Jawa ritualnya lebih kepada pergerakan batin, sedang Islam masih membutuhkan gerakan badan. Islam mengatakan bahwa Pohon dan batu tidak punya jiwa, sedangkan Jawa semua punya jiwa, sehingga Jawa cenderung sangat hati-hati, dan masih banyak lagi lainnya. Saya tidak menganggap Islam adalah kesalahan bagi orang jawa, begitu pula sebaliknya. Keduanya bisa berjalan bersama, tetapi tidak bisa campur. Seperti Slendro dan Pelog. Dalam sebuah Pagelaran Wayang (Penggambaran Jagad Besar dan Jagad kecil) itu tetap menggunakan Gamelan Slendro dan Pelog, dan keduanya menempati posisinya masing-masing. Keduanya memberikan Nuansa yang berbeda, namun mampu bersinergi. Inilah hidup itu Dimas Petruk. Tidak bisa sama pemikiran dan perasaan, tetapi dalam hidup bersosial dan besama alam, mampu memberikan nuansa tersendiri. Suatu saat, hidup saya akan berhenti disuatu masa. dimana pada masa itu Alam dan sosial sudah tidak membutuhkan saya lagi. saya harus berganti wujud. tetapi Aku ya tetap Aku. Tuhan tidak akan berubah wujud, tetapi Tuhan tetap Tuhan. Namun selalu berharap bahwa Aku akan kembali kepada Aku (Tuhan). Petruk: Sebelumnya saya minta maaf Kang, kembali lagi ada beberapa hal yang cukup memaksa saya untuk kembali menanyakan beberapa hal terhadap Kang Gareng, mungkin semua ini muncul karena, dangkalnya pola pikir saya. pertama, setahu Saya, ajaran Islam itu tidak pernah berbenturan dengan aliran atau paham tertentu. Tapi kenapa Kakang mengatakan bahwa antara Islam dan Jawa itu bisa berjalan bersama, tapi tidak bisa bercampur? Kedua, mengenai Surga dan Neraka. Bukankah Neraka itu bentuk murka Allah terhadap kaumNya yang tidak menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Jadi, apakah mungkin, orang yang masuk Neraka itu mendapat Ridho Allah? dan, ada kemungkinan orang yang masuk surga itu,ada yang tidak mendapat Ridho Allah? Gareng: Agama itu Ilmu Laku, jadi kalau sudah melaksanakan akan terasa perbedaannya. Tetapi tidak apa2, tidak bisa bercampur, yang penting bisa bersinergi khan Dhi? Allah menciptakan Surga dan Neraka ini lebih dahulu dibandingkan makhluk2Nya: Malaikat, Iblis, Jin dan Manusia. Tidak disengajakah jika Iblis nantinya akan membangkang? Tidak sengajakah jika Iblis ini dibuat dari Api? Semua sudah menjadi aturanNYA. Kenapa harus ada yang Buruk? Jika Allah juga bisa mencipta Malaikat yang serba Patuh? Lalu Kenapa Manusia diciptakan dari Tanah, dimana saat kering “ingin” dibasahi, saat basah “ingin” dikeringkan? Allahlah yang mencipta kebaikan itu sekaligus keburukkannya. Lalu jika Saya harus menjadi orang yang buruk bagi orang lain, kenapa saya harus marah dengan Allah? Syukuri saja setiap kejadian. Allah menciptakan Petruk ini orang yang Baik, tentu karena ada orang lain yang disebut tidak baik. Bagaimana Petruk bisa disebut orang baik, kalau tidak ada orang yang disebut tidak baik? Maka dari itu, saat kita menjadi fungsi yang buruk pada suatu sistem (Konsep Neraka), apakah kita mampu ikhlas menghadapi itu? Terbakarkah Nabi Ibrahim saat dibakar dengan tumpukan kayu bakar? Atas Ridho Allah api yang panas itupun tidak mampu untuk membakarnya, bahkan makin mengangkat derajat Nabi Ibrahim. Ikhlaskah kita saat dimasa penuh kesengsaraan? Bersyukurkah kita saat mendapatkan keringanan kesengsaraan itu, walau sedikit? Konsep sengsara, sedih, duka, siksa itu adalah Konsep Neraka. Marahkah jika Petruk diberikan itu semua? Kalau tidak, berarti di dalam Nerakapun asal dimas Petruk Ikhlas, maka Allahpun Ridho. Kalau tidak adalagi bedanya mendapatkan Surga ataupun Neraka, maka Allah akan mengangkat Derajat manusia itu, karena yang dicari hanyalah Ridho Allah, bukan Kesenangan belaka. Petruk: Subhanallah Kang.. Saya sangat setuju sekali! Kalau agama itu adalah ILMU LAKU. Dimana kita saling menyayangi, saling gotong royong dengan sesama, tidak menyakiti orang, tersenyum ketika orang mencela kita, serta ikhlas dan ridho dalam menerima apapun yang datang dalam kehidupan kita. Terima kasih atas penjelasannya. Ini Bagong kemana ya? …. Bersambung….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun