Mohon tunggu...
Bunayya Izzani
Bunayya Izzani Mohon Tunggu... Mahasiswa - up to u

Equanimity

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Maha Guru : Kh. Hasyim Asy'ari

2 April 2022   03:18 Diperbarui: 2 April 2022   03:19 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Tentang

KH Muhammad Hasyim Asy`ari adalah  pahlawan nasional dan  pendiri Nawallatul Ulama dan ulama besar dengan gelar Rais Akbar (pemimpin tertinggi pertama). Ia dijuluki Hadratussyaikh, yang berarti Guru, dan  Kutubus Sittah (riwayat 6 Hadis) dan gelar Syekh Masyayikh  berarti Guru dari Guru. Ia adalah anak dari pasangan KH. Pesantren Asy'ari dan Nyai Harima lahir di desa Tamba Klejo di Jombang, Jawa Timur, dan dikaruniai satu orang anak bernama KH.  Wahid Hashim, salah satu pahlawan nasional yang menyusun Piagam Jakarta, dan cucunya  KH. Abdurrahman Wahid, merupakan Presiden RI ke-4.

Kiai Hasyim Asy'ari telah tinggal di lingkungan Pesantren sejak kecil, dan ayahnya adalah pendiri Pesantren yang masih populer, Pesantren Keras, Diwek dan Jombang. Sedangkan kakek dari pihak ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Gedan, dan kakek dari pihak ibu Kiai Shihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengurus Pondok Pesantren Bahrul Ulum di Tambak Beras, Jombang. selesai.

Pada usia lima tahun, Kiai Hasyim pindah dari Gedan ke desa Keras,  selatan Jombang, mengikuti ayah dan ibunya yang mendirikan Pesantren baru. Di sini Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan Keras setelah menghabiskan masa kecilnya hingga usia 15 tahun,  menjelajahi berbagai pesantren yang dikenal di Mekkah pada saat itu. Kiai Hasyim menikah dengan Nyai Nafisah, salah satu putri Kiai Ya'qub (Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo) pada tahun 1892. Tak lama kemudian, Kiai Hasyim berangkat ke Mekkah bersama istri dan menantunya untuk menunaikan ibadah haji Bersama Nyai Nafisa, Kiai Hasim tetap tinggal di Mekkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nyai Nafisah meninggal setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah, dan 40 hari kemudian, Abdullah mengambil alih ibunya ke rahmatullah. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu membuat Kiai Hasyim sangat sedih. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan untuk tidak tinggal di tempat suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.

Setelah menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis putri Kiai Romli di desa Karangkates, Mojo, Kediri bernama Nyai Khadijah. Pernikahannya berlangsung setelah kembali dari Mekah pada tahun 1899. Pernikahan dengan istri keduanya tidak berlangsung lama, karena Njai Kadijah meninggal dua tahun kemudian (1901).

 Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang wanita bernama Nyai Nafiqah, putra Kiai Ilyas, dan merupakan pengasuh Pondok Pesantren Sewulan, Dagangan dan Madiun, dan dikaruniai 10 orang anak: Hana, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid dan Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Sejak Nyai nafisa meninggal pada tahun 1920, pernikahan antara Kiai Hasyim dan Nyai Nafiqa berakhir sebelum waktunya.

Sepeninggal Nyai Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan untuk menikah lagi dengan Nyai Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo di Pagu, Kediri. Dari pernikahan keempat ini, Kiai Hasyim memiliki empat  anak: Abdul Qadir, Fatima, Khadijah, dan Muhammad Yakub. Pernikahan dengan Nyai Masrurah ini merupakan pernikahan terakhir  hingga akhir hayat Kiai Hsyim.

Pendidikan

KH Hasyim Asy'ari dikenal sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan tentang Islam. Sejak kecil, Kiai Hasyim bersekolah di berbagai  pesantren ternama di Jawa Timur saat itu. Selain itu, Kiai Hasyim juga banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari Islam di tempat-tempat suci (Mekah dan Madinah).

 Karena karir pesantrennya, Kiai Hasyim  dididik dengan sungguh-sungguh dan dibimbing untuk memperdalam ilmu agama Islam sejak kecil hingga berusia 15 tahun oleh ayahnya sendiri. Melalui ayahnya, Kiyai Hsyim sadar dan mulai mempelajari hadits, tauhid, tafsir, hadits, bahasa Arab, dan studi keislaman lainnya. Di bawah bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim sangat menonjol. Meski Kiai Hasyim belum berusia 13 tahun, ia telah  menguasai berbagai disiplin ilmu studi Islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar murid-murid yang lebih tua.

Belum puas dengan ilmu yang didapat dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai belajar di beberapa Pesantren. Pertama, Kiai Hasyim belajar di Pesantren Wonokoyo di Probolinggo. Kemudian diantar ke Pondok Pesantren Langitan Tuban. Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan akademiknya di Pondok Pesantren Tengiris Surabaya sebelum pindah ke Pondok Pesantren Kademangan di Bancaran yang diasuh oleh Kiai Kholil saat itu. Setelah Kiai Kholil dari pesantren, Kiai Hasyim melanjutkan ke Pesantren Siwalanpanji di Buduran, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya'qub. Kiai Hasyim telah menghabiskan tiga tahun meneliti berbagai disiplin ilmu keislaman, terutama tata bahasa Arab, sastra, fikh, tasawuf kepada Kiai Kholil. Di bawah bimbingan Kiai Ya'qub, ia berhasil mempelajari ilmu tauhid, fiqih, adab, tafsir, dan hadits.

Akhirnya, atas nasehat dan saran Kiai Ya'qub, Kiai Hasyim meninggalkan tanah air untuk menuntut ilmu di bawah asuhan Ulama terkenal di Mekkah sambil menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Di Makkah, Kiai Hasyim belajar di bawah Syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa'id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqaf, Sayyid `Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi mufti, dia Selain itu, Kiai Hasyim juga mendapat ilmu dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syekh Nawawi Al-Bantani dan Syekh Mahfuz Al-Tarmas.

Prestasi akademik Kiai Hasyim yang luar biasa juga kemudian memberinya kepercayaan diri untuk mengajar di Masjidil Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara dikatakan pernah belajar dengannya.

Mendirikan Nahdotul Ulama

Terbentuknya Nahdlatul Ulama sebagai wadah Ahlussunnah wal Jama'ah tidak semata-mata karena KH. Hasyim Asy`ari dan ulama lainnya menginginkan inovasi, namun situasi saat itu justru berada pada titik kritis, memaksa mereka untuk membentuk sebuah forum. Saat itu, ada momentum besar di Timur Tengah yang dapat mengancam keberlangsungan Ahlussunnahwal Jama'ah sehubungan dengan penghapusan sistem khilafah oleh Republik Turki modern dan penambahan sistem pemikiran Wahhabi. Pintu Arab Saudi untuk benar-benar tertutup bagi perkembangan mazhab lain di negara-negara Arab saat itu.

 Pada saat berdirinya NU, beberapa ulama ternama berkumpul di Masjidil Haram untuk mendesak dibentuknya organisasi pelindung Ahlussunnah wal Jama'ah. Usai istikara, ulama Saudi berpesan kepada KH. Hasyim Asy`ari mendatangi dua ulama besar di Indonesia saat ini. Jika dua ulama besar ini setuju, kami akan menindaklanjuti secepatnya. Keduanya adalah Habib Hasyim dari Pekalongan dan Syaikhona Kholil dari Bankalan. Dengan kata lain, KH Hasyim Asy`ari akan didampingi oleh Kiai Yasin, Kiai Sanusi, Kiai Irfan dan KH. R. Asnawi datang ke rumah Habibhasim di Pekalongan. Kemudian dilanjutkan mengunjungi Syaikhona Kholil Bangkalan dan kemudian KH. Hasyim dan ulama lainnya menerima dari Syaikhona Kholil wasiat untuk segera melaksanakan niatnya, sementara pada saat yang sama ia memberikan restunya.

 Kemudian pada tahun 1924 Syekhona Kholil mengirim Kiai As'ad, yang saat itu berusia 27 tahun, untuk membawa tongkat ke Kiai Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang, dan menghafalkan Surat Thaha ayat 17-23 untuk dibacakan di hadapan Kiai Hasyim.  Kiai As'ad berangkat dengan sepeda dan Syaikhona Kholil menyediakan uang untuk perjalanan, tetapi dia berpuasa selama perjalanan. Kemudian sesampainya di Tebuilen, Kiai As'ad mendatangi Kiai Hasyim Asy'ari dan memberinya sebuah tongkat.

Beberapa hari kemudian, Syaikhona Kholil mengirim Kiai As'ad lagi dan membawakan tasbih itu kepada Kiai Hasyim. Ketika Syaikhona menyerahkan tasbih kepada Kholil, Kiai As'ad menolak untuk menerimanya dengan tangan dan meminta Syaikhona untuk menggantungkan tasbih di lehernya. Syekhona Kholil memerintahkan Kiai As'ad untuk membaca "Yaa Jabbar Yaa Qahhar" 

sampai dia tiba di Tebuireng dan membacanya di depan Kiai Hasyim. Selama  perjalanan, Kiai Assad tidak pernah menyentuh tasbih sampai tiba di Tebuireng. Kiai Assad segera mendekati Kiai Hasyim dan meminta Kiai Hasyim untuk mengucapkan "Yaa Jabbar Yaa Qahhar" dan melepaskan tasbih dari lehernya. KH. Hashim Asy'ari menerima dua sinyal kuat ini. Artinya, Syakhona Kholil menguatkan pikirannya dan mengucapkan selamat kepada organisasi Jam'iyah Nahdlatul Ulama. Setahun kemudian pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H, para ulama Jawa Madura berkumpul di Surabaya. Mereka bermusyawarah dan sepakat untuk mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama.

Pemikiran

Pemikiran KH. Hasjim Asy`ari mengenai Ahlussunnah wal Jama`ah merupakan ulama pada bidang tafsir Al Qur'an, Sunnah Nabi Muhammad, & Fiqih yg tunduk dalam tradisi Rasulullah & Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya dia menyatakan bahwa hingga kini  ulama tadi termasuk "mereka yg mengikuti Mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi'i, & Imam Hambali". Pemikiran inilah yg diterapkan sang Jam'iyah Nahdlatul Ulama yg menyatakan menjadi pengikut, penjaga, pelestari, & penyebar paham Ahlussunnah wal Jama`ah

Ahlussunnah wal Jama`ah pada pandangan KH. Hasyim Asy'ari tidak mempunyai makna tunggal, tergantung perspektif yg dipakai. Paling tidak masih ada 2 perspektif yg dipakai untuk mendefinisikan Ahlussunnah wal Jama`ah, yaitu teologi & fiqih. Namun, bila ditelusuri lebih lanjut melalui karya-karya KH. Hasjim Asy'ari, maka sebenarnya bisa diambil sebuah konklusi yaitu bahwa Ahlussunnah wal Jama`ah dalam dasarnya lebih pada pola keberagaman bermadzhab pada generasi muslim masa kemudian yang relatif otoritatif secara religius.

 

Wafat

Kiai Hasyim wafat pada tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H. Pada waktu itu  Kiai Hasyim menerima  utusan Panglima Soedirman dan Bung Tomo yang memberitahukan keadaan negara setelah perang agresi pertama pada tanggal 21 Agustus. Juli 1947. Kiai Hasyim terkejut mendengar cerita dari utusan tersebut bahwa Shingosari ditangkap oleh Jenderal Spoor

  Kiai Hasyim kaget mendengar berita itu dan meninggal, seorang dokter dipanggil tetapi tidak dapat menyelamatkan nyawanya dan dimakamkan di  Pondok Pesantren Tebuireng di Diwek, Jombang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun