Mohon tunggu...
Prabu
Prabu Mohon Tunggu... Pegawai Swasta -

Ngomong Indonesia Ngomong budaya Indonesia Ngomong budaya wayang Indonesia http://indonesiawayang.com https://www.facebook.com/bumiprabu https://www.facebook.com/wayangprabu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Mati Sang Tiran (4)

6 Januari 2016   13:22 Diperbarui: 6 Januari 2016   14:44 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Prabu Duryudana"][/caption]

“Ya ... saya yang salah, dinda yang benar. Apabila nanti ada suatu kabar yang tidak mengenakan hatimu, tidak akan aku wartakan lagi.”

Selalu dan selalu akhirnya begitu. 
Sang Kurupati selalu kalah atau mengalah 
Demi tak berpisah dengan sang Permaisuri 
Apapun bakal dilakukan 
Walau merendahkan diri di bawah kaki Banuwati sekalipun
seraya menghiba “Ku ingin slalu tetap bersamamu, Banuwati !”

Namun disaat kemarahan menggelegak, keputus-asaan mulai melanda, kekhawatiran semakin meruncing akibat terjadinya hal hal yang semakin menghimpit kedudukannya dalam perang Baratayudha, Duryudana pun datang dengan satu tekad

“Suamiku bagaimana kabar dari perang Baratayuda? Apakah sudah berakhir? Apakah Kanda telah menyerahkan sebagian negri Astina kepada Pandawa?”

Berondongan pertanyaan yang keluar dari bibir indah Banuwati, seakan kembali menusuk perih jiwa Duryudana. Ia sadar, apa tujuan dari pertanyaan istrinya itu, ingin memastikan keselamatan dari kekasih abadinya. Diabaikannya rasa cemburu sangat

“Istriku tercinta, perang masih berlangsung. Banyak sudah pepunden dan orang-orang terkasih telah gugur dalam peperangan ini. Eyang Bisma, telah gugur membela negri. Guru kami Durna, pun telah tiada. Dan yang belum lama ini, suami dari kakakmu Surtikanti, Kanda Karna, pun telah gugur sebagai seorang senapati perang. Kakakmu Surtikanti, mati bela pati.”

Membayangkan kematian orang orang yang selama ini diandalkan, campur aduk perasaan Duryudana antara geram, duka, benci, khawatir, takut dan dendam. Namun Duryudana adalah penguasa sebuah kerajaan besar yang bernama Hastina, Duryudana bergelar Kurupati yang adalah anak turun Kuru yang terkenal akan kebesaran dan jiwa satrianya.

“Lalu apa kata dunia, bila mereka-mereka yang telah memberikan nyawa untuk negri ini sementara aku kemudian menyerah kalah? Sungguh aku akan dicap menjadi orang tak tahu diri, dicap sebagai pecundang. Berpesta pora di atas peluh dan darah orang-orang yang membantu dan mengangkat kemuliaanku. Ingat Banuwati istriku, selama tubuh Duryudana ini masih tegak berdiri. Selama nyawaku masih berada dalam jasadku, selama itu pula aku akan tetap melanjutkan peperangan ini,”

“Namun bukankah Pandawa masih saudara kita sendiri, Sinuwun ? Bukankah sebenarnya Paduka dapat menghindari perang saudara ini dengan memberikan hak mereka akan sepenggal tanah di Astina ini. Bukankah sebagai gantinyapun, rama Prabu Salya telah bersedia memberikan negri Mandaraka bila Kangmas menghendakinya ?”

“Oooo .... Banuwati, dinda tidak mengerti bagaimana perih hati ini menyaksikan kemenangan sedikit demi sedikit diraih Pandawa. Meskipun itu juga tidak diperoleh dengan percuma. Banyak ksatria mereka yang tewas juga. Namun Pandawa masih lengkap berjumlah lima, sedangkan Kurawa ? Tinggal berjumlah lima, dinda. Seratus tinggal lima. Bagaimana pertanggungjawabanku terhadap adik-adikku yang berkorban demi kemuliaan kakaknya, kalau aku saat ini menyerah begitu saja. Tidak, dinda ! Tidak saat ini dan tidak untuk selamanya ! Meskipun Pandawa masih bersaudara dekat denganku, meskipun masa kecil kami lalui bersama, namun saat ini keyakinanlah yang membuat peperangan antara kami harus terjadi”

Duryudana melanjutkan dengan suara parau menahan gejolak rasa

“Oleh karenanya, kanda pamit kepadamu dinda. Ijinkanlah suamimu ini tuk maju ke medan laga. Perang pastilah menawarkan hanya dua pilihan. Menang atau menjadi pecundang, hidup atau meregang nyawa. Itu yang kanda sadari dan tentunya juga si Adi. Dinda tahu bagaimana cinta Kanda kepadamu. Dari awal kita menikah hingga kini tiada berkurang, bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu. Cintaku buta, tidak peduli akan terpaan kejadian apapun ataupun gejolak di hatimu yang setidaknya aku ketahui”

Tidak seperti biasanya, kali ini begitu lembut Duryudana mengungkapkan hal itu. Kembali tergambar masa dimana Banuwati, sang kekasih pujaan hati, akhirnya berhasil dinikahinya meskipun dia tahu bahwa tak akan pernah mampu memiliki hati dan cintanya. Cinta kasih Banuwati telah terengkuh dibawa pergi oleh Arjuna. Duryudana sadar akan kelemahan dirinya. Namun cintanya begitu telah tertanam dan tertancap kuat dalam relung hatinya. Biarlah apa kata orang tentang istrinya ataupun sikap istrinya terhadap dirinya yang adakalanya tersirat mengungkapkan harapan sejatinya, baginya Banuwati adalah satu-satunya wanodya yang dikasihinya sepenuh hati. Tiada tergantikan. Walau bila dia mau, puluhan atau bahkan ratusan wanita yang tak kalah cantiknya mampu direngkuh tuk mendampinginya, namun tiada mampu dia melakukan itu.

Banuwati tlah memenuhi setiap sudut hatinya, tiada tersisa, tiada untuk lainnya. Dan kini saat dia harus maju sendiri ke medan perang, yang diingat hanyalah Banuwati. Keselamatan Banuwati harus tetap dijaga. Maka diperintanlah prajurit kerajaan untuk segera mengamankan Sang Ratu ketempat persembunyian. Duryudana harus yakin akan keselamatan belahan hatinya sebelum dengan sepenuh hati berperang melawan Pandawa.

Akankah kemudian kita menertawakan cintanya Duryudana itu ? Kalau saya pasti akan memilih tombol “LIKE” terhadap sosok Duryudana dalam bercinta.

(Tancep Kayon)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun