Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Grevillea (32)

28 Juli 2016   12:45 Diperbarui: 28 Juli 2016   12:52 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

              Lantas, cepat ia tersadar, ia mengucapkan astaghfirullahberkali-kali dibarengi ucapan subhanallah,seraya ia usap wajahnya dengan tangan kanannya, bahwa ia tidak boleh sedikit pun menyesali keputusannya untuk menikah dengan Edo. Ini takdir yang harus ia lalui; takdir baik dan takdir buruk, ia yakin pasti ada yang mengaturnya, dan ia yakin pula pasti ada hikmahnya. Yang pasti, Hesty yakin bahwa apa yang dialaminya ini adalah ujian. Tapi sampai kapan?

              Duduk manis di dalam bus dengan jubelan penumpang lainnya, Hesty untuk yang ke sekian kalinnya, menakar-nakar perjalanan hidupnya selama ini. Ini bukan sekali dua terjadi otomatis begitu saja. Termyata ia harus merasa bersyukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa apa yang sudah diberikan kepada dirinya, tak terhingga banyak dan nikmatnya. Masih banyak orang yang lebih susah dan sengsara ketimbang dirinya. Hesty menghibur dirinya sendiri.

              Ia memandang keluar jendela, bis melewati daerah yang kumuh. Di sepanjang bantaran kali Ciliwung ia melihat kaum wanita melakukan aktifitas rumah tangganya. Perempuan-perempuan itu pasti ingin lebih dari apa yang mereka alami. Suami-suami mereka mungkin sekarang sedang menjadi kuli-kuli serabutan di pasar-pasar tradisional, atau di pelabuhan Sunda Kelapa, atau sedang mencopet, dan bahkan sedang membanting kartu domino bermain judi sambil menenggak minuman keras murahan.

              Ia menghela napas, lega.

              Namun, pada saat yang sama, ia kembali cemas, bahwa perjanjiannya dengan Pak Bermawi untuk mengembalikan uang itu, semakin dekat saja. Sudah sembilan hari berlalu, belum ada tanda-tanda bahwa ia akan mendapatkan pekerjaan layak, dengan harapan, bahwa uang panjar penjualan rumahnya itu bisa segera dikembalikan.

              Status panjar rumahnya itu, kini sudah berubah menjadi hutangnya. Seratus dua Puluh Juta Rupiah. Itulah yang tertulis di atas selembar kwitansi yang disimpan dalam lemarinya. Sementara, biaya operasional rumah tangganya juga semakin menipis, termasuk untuk pembiayaan kontrol kesehatan Edo yang sudah empat kali dilakukan.

              Turun dari bus, Ia setengah berlari menuju sebuah gedung bertingkat perkantoran. Hesty mengetok pintu ruangan yang terbuat dari kaca tebal berwarna buram. Di dalam ruangan itu, seorang wanita muda sedang duduk seenaknya. Sebelah kakinya diletakkan pada sebuah rak mungil yang di atasnya bertengger pesawat telepon model antik.

              Wanita itu berpenampilan atraktif, dengan segala hal yang menarik tentang kewanitaannya. Bermata jeli, sikapnya tak acuh, dan mengesankan, bahwa gaya gua emang gini, tak bisa dibuat-buat, tak bisa diubah-ubah! Maka ia tipikal wanita masa kini, yang sering tampil di layar tivi dalam tajuk infotainment. Dan semua pria normal, kedua matanya akan tertuju pada perempuan berpakaian seronok itu, tak peduli jika ia seorang ustads sekalipun. Barangkali!

              Melihat seorang kaumnya ini, sontak Hesty kaget. Tapi dengan cepat ia sembunyikan, sehingga ia tampak normal, bersikap biasa saja, ketika dipersilahkan duduk. Hesty menduga pastilah wanita muda eksentrik, dan menggugah hasrat setiap pria ini adalah anak sang Bos. Biasa, namanya orang kaya, suka bersikap aneh, ingin berbeda dari yang lainnya. Dalam bayangan Hesty, pastilah keluarga wanita ini jauh dari tuntunan agamanya, namun hidup berkelebihan.

              Tapi, Hesty tak peduli, yang penting ia memperoleh pekerjaan, habis perkara! Wanita muda itu dengan ramah menyambutnya.

              “Mbak . . . ibu . . . atau . . . !”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun