“Aku percaya, Mas. Makanlah dulu! Kami sudah tadi. Ratri mau makan sama Papa lagi, ya!” Hesty menanyai Ratri. Ia menetralisir suasana. Ratri menggelengkan kepalanya. Kedua bola matanya membersitkan kedukaan, ikut prihatin apa yang dialami kedua orangtuanya. Seorang anak seusia Ratri, agaknya memiliki kepekaan yang tajam.
Edo senyum agak dipaksakan menatap anaknya. Lalu pandangannya tertuju ke wajah Hesty. Tak terasa hampir dua bulan, Edo belum juga dapat pekerjaan. Belum ada bayangan titik cerah ke arah itu. Uang tabungan mereka semakin menipis. Sebenarnya Hesty mau berinisiatif, tapi niatnya itu segera ia urungkan. Takut kalau Edo tersinggung, dan stres karenanya. Itulah sebabnya ia masih bertahan. Bertahan untuk tidak mengajukan solusi.
Untuk menghilangkan rasa bosannya, Hesty menyulam. Kadang ia mengisi waktunya yang berjalan terasa lama dan melelahkan itu dengan kegiatan corat-coret membuat pola pakaian di atas koran bekas. Siapa tahu, pikirnya, nanti akan berguna – ketika ia mendapat kesempatan lagi menggeluti bidangnya.
Suatu siang ia ke rumah Nana.
“Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang, Hes? tanya Nana.
“Menjadi ibu rumah tangga yang baik!” jawabnya singkat sambil mengangkat kedua alis matanya, yang hitam-lebat itu. Nana tahu Hesty bercanda dalam kegetirannya.
“Menjadi ibu rumah tangga yang ideal donk!“ Nana menimpali.
“Kukira begitu sambil menunggu piagam penghargaan.”
“Kegiatan Edo sekarang?“
“Menjadi Bapak ideal. Saban hari nyari kerjaan. Setiap kali itu pula aku mendengar ucapan yang sama ketika ia sampai di rumah. Belum ada kesempatan dan tak ada lowongan. Beri aku waktu dan percayalah! Hesty nyrocos. Nana geli mendengarnya.
“Kamu bisa ambil peran – seorang istri dalam keadaan krisis harus dapat tampil demi keselamatan bersama,” Nana memberi pandangan.