13. Nana
“Bagaimana hasilnya, Mas?” tanya Hesty ketika mereka usai makan malam, sambil nonton tivi. Ditanya seperti itu, seketika wajah Edo berkerut.
“Aku ketemu Budiono tadi, kita tunggu jawabannya sehari – dua hari ini,“ jawabnya penuh dengan keragu-raguan.
“Seandainya itu nggak berhasil?“ Hesty ingin tahu lebih jauh.
“Maksudmu aku akan menyerah, lalu usulmu?“ Edo balik bertanya.
“Bukan begitu maksudku, Mas! Boleh kan aku berandai-andai? Semua orang tahu, Mas, kalau sekarang susah cari kerjaan. Sekalipun setumpuk ijazah kesarjanaan telah kita raih. Maksudku, alternatif apa yang akan kita ambil. Toh, aku berhak tahu, Mas . . ! bukankah untuk kepentingan bersama? Jika Mas gagal, aku juga ikut gagal. Begitu pula bila Mas berhasil, toh aku akan lebih bahagia.”
“Aku akan coba di tempat lain. Kukira Tuhan memberi kebebasan bagi setiap orang untuk mencari kehidupan, dan sekaligus memilihnya. Kekhawatiranmu boleh saja, tapi jangan keterlaluan,“ ujar Edo tajam. Hesty menundukkan pandangannya. Ia tak mengira, suaminya bakal tersinggung.
Jika keadaan sudah begini, Hesty lebih baik memilih diam. Menghindari pertengkaran yang akan menjurus ke salah pengertian. Bisa fatal.
Jika saja Hesty boleh bekerja, ia tidak akan sesulit Edo mencarinya. Perusahaan pakaian jadi ratusan jumlahnya di ibukota ini. Atau bisa saja ia bergabung dengan Nana, yang kini semakin pesat perkembangannya. Bukankah Nana pernah menawarinya dulu. Dan kapan pun ia mau, pasti diterima.
Hesty menggigit bibirnya. Matanya tak lagi menyaksikan acara tivi. Ia bangkit dari duduknya, Edo tetap terpaku, matanya ke layar kaca itu. Ada ‘talk show’ tentang mafia peradilan. Sang pembicara yakin sekali dengan argumennya, bahwa pelaku kejahatan; siapa pun orangnya, dan apa pun bentuk kejahatannya, harus diambil tindakan tegas. Jika perlu potong jari tangannya, kata si pembicara yang juga praktisi hukum terkenal itu. Sang pewawancara nampak mengerutkan dahinya sejenak, lalu tersenyum ke arah kamera.