KETIKA PARTAI (YANG MENGAKU) DAKWAH TERSANDUNG KORUPSI
Beberapa tahun belakangan ini kita disajikan hampir setiap hari mengenai pemberitaan tindak pidana korupsi, baik dari kalangan eksekutif, legislatif, hingga korupsi para penegak hukum. Korupsi yang terjadi saat ini pun bukan lagi korupsi sentralistik seperti pada rezim soeharto tetapi tejadi hampir di setiap tataran pemerintahan dari pusat hingga tingkat desa sekalipun. Dibukanya kran reformasi di dukung dengan otonomi daerah yang memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur kebutuhannya sendiri dan hal ini seakan membuka lahan baru yang memungkinkan untuk di salahgunakan oleh para elite. Fakta yang saat ini kita lihat bersama, hampir dari seluruh partai politik masing – masing memiliki kader aktifnya di tahanan khusus tindak pidana korupsi. Dari mulai anggota Dewan, kepala daerah, hingga pucuk pimpinan partai politiknya. Semua memiliki kedudukan yang sama di dalam proses hukum yang berjalan.
Pada awal tahun ini kita di cengangkan dengan pemberitaan tertangkapnya presiden partai keadilan sejahtera (PKS). Partai yang dari awal mendeklarasikan diri sebagai partai kader yang berbasis pada dakwah islam dan mencitrakan sebagai partai yang bersih dan jujur. Tentu hal tersebut menjadi heboh dan hampir setiap hari menjadi headline di hampir semua media massa baik elektronik maupun cetak. Dalam dunia politik di Indonesia , baik partai yang berideologi agama, pancasila, atau nasionalis menghadapi permasalahan yang sama dan memiliki kebutuhan yang relative sama. Salah satu kebutuhan yang vital yaitu mengenai logistik menjelang pemilihan umum, pemilukada, dan pemilu presiden. Saat ini yang saya ketahui partai politik dalam hal pendanaan hanya mengandalkan dari para kadernya yang memiliki posisi strategis pada birokrasi, dan tidak banyak bertumpu pada “Sponsor” dari pihak swasta. Hal ini tentu menuntut para kader partai untuk dipaksa bekerja keras untuk mengejar target logistic tersebut,tidak terkecuali partai yang berbasis pada dakwah islam tersebut.
Pada hakekatnya partai politik dengan korupsi adalah hal yang tidak bisa di lepaskan,karena memiliki hubungan sebab akibat. Tetapi hal ini menggelitik ketika korupsi dilakukan oleh partai dakwah yang mencitrakan dirinya sebagai partai bersih dan jujur. Hal ini tentu sangat kontradiksi dengan apa yang mereka citrakan selama ini, terlebih dengan membawa simbol agama dalam salah kegiatannya. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada citra agama yang mereka selama ini mereka perjuangkan. Bahkan di masyarakat muncul kalimat “agama sebagai kedok” pks tersebut. Hal itu muncul tentu karena kekecewaan yang dirasakan oleh ummat muslim yang secara tidak langsung merasakan dampaknya.
PKS sebagai partai dakwah tentu mempunyai beban moral yang lebih tinggi dari partai-partai yang lain. Membawa label agama islam yang tidak semua orang beragama islam memilih PKS, tentu harus bisa dipertanggungjawabkan secara moral oleh para kadernya. Pada akhir tulisan ini saya hanya ingin mengingatkan kepada kader yang berbasis pada agama agar dapat memberikan pembelajaran politik yang baik kepada ummat, karena agama adalah tuntunan ummat dalam berkehidupan dan tak terkecuali dalam bidang politik. Sehingga partai berbasis agama menjadi cerminan tata cara berpolitik dari agama yang mereka perjuangkan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H