Mohon tunggu...
Selendang Sulaiman
Selendang Sulaiman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

pada akhirnya setiap jalan hidup tak lain kematian indah ujungnya pun cinta dan keyakinan hanya titipan Sang Maha Asmara menjadi wahyu di jalan-jalan malam sang penyair bersuka ria atas lapar dan dahaga dalam senyuman liar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bulan Sabit Kartini

12 April 2011   08:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:53 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku tahu, kau takut kan,sesuatu yang lain akan terjadi?”

Kartini tak mampu mengeluarkan kata lagi. Ia hanya mampu meriakkan air payau di
muara matanya. Berkaca-kaca.

“Keluarkan air mata itu, tak perlu kau tahan lagi!” pinta Sulaiman dengan
tatapan tajam menusuk hati Kartini dan sebaris senyum di bibirnya.

“Air mata ini tak mampu lagi membuatku menangis.”

“Lantas apa yang kau inginkan? Apa aku,yang harus memulai?”

Kartini mengangguk kecil,tanda isyarat yang berharap besar Sulaiman mengatakan dan menyatakan sesuatu
sesuai dangan apa yang menjadi beban pikiran dan perasaannya selama itu.

“Baiklah! Sejak beberapa hari yang lalu aku sudah yakin bahwa apa yang kau
lakukan padaku adalah bagian dari perasaanmu. Dan aku tulus menerimanya. Sebab,
aku mencintaimu jauh hari sebelum cinta itu lahir di hatimu untukku. Kupikir
kau telah mampu untuk merasakan semua itu dari SMS yang aku kirim padamu.
Sungguh apa yang aku tuliskan menjadi SMS,yang orang-orang bilang,bahasa gombal, itu adalah suara hatiku yang
sebenarnya. Hanya waktu dan keadaan yang memaksaku untuk menyimpannya
rapat-rapat. Tidakkah kau sadar, bahwa ketakutanmu dalam beberapa hari ini,
telah aku rasakan sejak beberapa bulan yang lalu?”

Seperti kilat menggores langit, aura terang terpancar di wajah Kartini. Kebahagiaan
terpotret indah di matanya yang berkaca-kaca. Meski kata-kata masih tidak mampu
ia lahirkan. Kalimat-kalimat indah yang ia rangkai menjadi sebutir pasir yang
hilang dihempas derasnya angin kata-kata Sulaiman berhembus ke jantung hatinya.

“Aku bersyukur walau hanya cukup mengetahui bahwa kau merasa hal yang sama
denganku. Meski tak juga aku pungkiri, sesak dadaku menanggungnya. Maafkan aku,
lantaran terlanjur jauh jatuh pada hatimu. Aku yakin kau sadar sejak lama,
bulan sabit yang selalu aku sebut adalah dirimu! Malam ini, bulan sabit itu telah menjadi purnama di hatiku. Tentunya
berwarna ungu.”

“Apa kau masih takut dengan kenyataan yang harus kita hadapi ini?”

“Tidak! Hanya aku tak mampu menjalaninya. Sebab, kita tidak hidup berdua dan
orang-orang itu selalu mengawasi kita,” tanggapnya dengan senyum sumringah.
Yogyakarta, 19 april 2010/Kenang-kenangan untuk
Febrian Danastri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun