Kalau bukan seorang Romo YB Mangunwijaya yang melakukan perlawanan kepada rezim Orde Baru, barangkali dia sudah hilang dari dulu. Entah diculik atau menghuni penjara tanpa batas waktu.
Kasus penggusuran warga di bantaran kali Code dan Waduk Kedung Ombo melambungkan nama Romo Mangun sebagai pembela kaum lemah. Saat itu tahun 80 an diktator Soeharto sedang kuat-kuatnya memberangus siapapun yang tidak setuju dengan kebijakannya. Romo Mangun tidak gentar menjadi "perisai hidup" memperjuangkan hak hak warga korban penggusuran atas nama pembangunan.
Siapakah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang sepak terjangnya membuat Orde Baru kewalahan mengatasinya?
Film dokudrama berjudul Sang Manyar (Nyanyian Pinggir Kali) merupakan film pertama  yang mengisahkan perjalanan seorang Romo Mangun dari masa kanak-kanak hingga dijuluki Romonya rakyat tertindas. Film sejarah ini menarik dijadikan inspirasi, bagaimana proses pembentukan kekuatan karakter dan intelektual seorang tokoh diawali dari rasa terima kasihnya pada rakyat lemah.
Lahir di Ambarawa di masa penjajahan Belanda dan memutuskan memanggul senjata bergabung dengan TKR pada usia 16 tahun. Pada Agresi Militer Belanda 1 menjadi Komandan Tentara Pelajar Kompi Kedu. Dalam Agresi Milter ke 2 termasuk salah pelaku langsung Serangan Umum 1 Maret 49 yang menjadi tonggak sejarah Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
Perang usai Romo Mangun memutuskan karirnya di bangku sekolah di HIS Fransiscus Xaverius, Magelang (1936-1943) dilanjutkan STM Jetis Yogyakarta (1943-1947) SMU-B Santo Albertus, Malang (1948-1951) Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta (1951)
Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang (1952) Filsafat Teologi Sancti Pauli, Kotabaru, Yogyakarta (1953-1959)Â
Ketertarikan pada dunia Arsitektur membawanya kuliah ke Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule (RWTH) Aachen, Jerman (1960-1966) dengan meraih gelar Dipl.Ing yang terbilang langka di masa itu.
Romo Mangun salah satu sosok lengkap dalam karirnya. Penjuang  kemerdekaan, Intelektual, Arsitek, Pastor, Budayawan dan Sastrawan. Memenangkan Piala Kincir Emas, untuk karya Cerpen yang diselenggarakan Radio Nederland,  Penerima penghargaan The Aga Khan Award untuk arsitektur Kali Code. Dan yang paling fenomenal adalah karya novel sejarahnya "Burung Burung Manyar" yang memperoleh dua penghargaan bergengsi tingkat dunia, yakni South East Asia Write Award (1983) dan Ramon Magsasay Award (1996).
Film karya sutradara Sergius Sutanto dan diperankan dengan apik oleh Ojing J Raharjo berdurasi 60 menit ini masih terlalu singkat untuk me-reka ulang perjuangan Romo Mangun. Pergulatan mempertahankan kawasan kali Code yang dianggap kumuh oleh pemerintah, membuat sosok kharismatik ini rela melakukan mogok makan.
"Mereka bisa memperbaiki permukimannya asal dikasih kesempatan. Penggusuran tak akan menyelesaikan masalah sebab mereka akan mencari tempat lain untuk tempat tinggal. Beri mereka kesempatan untuk memperbaiki lingkungannya sehingga mereka tidak hidup kumuh."Â
Itulah satu isi pembelaan Romo Mangun.
"Kalau bicara perjuangan, mereka yang tinggal di bantaran kali juga bekas pejuang juga. Ikut berperang melawan penjajah pada waktu itu"
"Saya akan tetap berjuang, sampai paksaan itu berhenti, dan tumbuh penyelesaian alternatif yang lebih sehat. Tapi jika langkah tanpa kekerasan ini masih juga dianggap salah, saya sudah siap masuk penjara atau mati sekalipun"Â
Keteguhan hati Romo Mangun inilah melatar belakangi aksi mogok makannya yang akhirnya meruntuhkan tekanan penguasa kaki tangan Orba.
Film sejarah selalu sarat dengan pesan. Tidak mudah mengambil esensi sejarah untuk ditampilkan dalam tayangan audio visual. Sutradara cukup jeli menggali sisi sisi humanis tokoh sekelas Romo Mangun. Sikap dan pernyataannya abadi menginspirasi generasi kapanpun. Itulah "roh" film sejarah yang sesungguhnya.Â
Berbeda dengan film film biografi sejarah sebelumnya. Dibanding Film Habibi 1-3. Penonton sibuk menikmati acting impresif Reza Rahardian daripada pesan moril seorang Habibie. Atau Film "Sang Pencerah" yang mengisahkan biografi epik sosok Ahmad Dahlan. Penonton dimanja dengan setting situasi tahun 1800 yang langka dalam imajinasi. Film yang diperankan Lukman Sardi sebagai Ahmad Dahlan itu sekedar "kronologis" peristiwa, yang nyaris tanpa pesan bagi penonton generasi sekarang.
Sang Manyar, Nyanyian Pinggir Kali hanya diperankan aktor lokal tanpa popularitas. Film itu sedang berbicara tentang nilai nilai filosofis. Dialog dari pinggir kali, rel kereta, kampung kumuh benar-benar sebuah "nyanyian" yang indah dalam "orkestra" hidup masa lalu dan masa sekarang.
"Sekali lagi, saya tidak ingin menyalahkan siapapun. Tuhan masih ada. Telur ayam akan melahirkan anak ayam. Telur ular akan melahirkan ular. Ini bukan hanya ideal dan keyakinan Mangunwijaya saja. Tapi saya percaya pada orang yang hati nuraninya masih normal. Dan saya percaya orang orang seperti ini masih banyak sekali"
Dan film itu mengakhirinya dengan kalimat idealis yang sederhana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H