Mohon tunggu...
Bulan Chantique Omnia Hernomo
Bulan Chantique Omnia Hernomo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Era Post-Truth, Literasi Digital Sebagai Senjata untuk Menghadapi Informasi yang Menyesatkan

11 November 2024   02:16 Diperbarui: 11 November 2024   05:14 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era informasi yang serba cepat seperti saat ini, kita hidup di tengah-tengah era yang sering dikenal sebagai "era post-truth". Dimana di era ini fakta seringkali dipertanyakan, dan emosi serta kepercayaan pribadi lebih sering mendominasi daripada bukti objektif. Keberadaan media sosial yang mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok telah mengubah cara kita mengonsumsi dan menyebarkan informasi. Sayangnya di balik kemudahan ini muncul masalah besar seperti bagaimana kita dapat membedakan antara kebenaran dan kebohongan. inilah mengapa literasi digital merupakan senjata penting untuk menghadapi tantangan di era ini.

Apa itu era Post-Truth?

Konsep post-truth mengacu kepada persepsi publik yang lebih banyak dipengaruhi oleh emosi dan keyakinan pribadi daripada fakta objektif. Sebagai contoh, informasi yang bersifat hoaks atau tidak benar dapat lebih mudah tersebar dan dipercaya hanya karena sesuai dengan pandangan atau perasaan seseorang. Teori post-truth pertama kali diterbitkan oleh seorang jurnalis asal Inggris, Steve Tesich yang diterbitkan di The Guardian pada tahun 1992. Sejak saat itu fenomena ini semakin terasa relevan dalam masyarakat modern, Tesich (1992).

Situasi ini semakin diperburuk oleh algoritma yang dirancang untuk menyajikan konten yang sesuai dengan ketertarikan dan minat kita, sehingga menciptakan sebuah echo chamber atau ruang gema. Orang-orang yang terdapat di dalam ruang gema lebih sering bertemu dengan informasi yang menguatkan pandangan mereka, dan kurang terekspos pada sudut pandang yang berbeda. Oleh karena itu, informasi yang salah atau distorsi fakta sering kali lebih cepat tersebar daripada informasi yang sebenarnya.

Dampak Era Post-Truth

Fenomena post-truth ini membawa dampak yang serius dan memiliki konsekuensi yang signifikan. Berita palsu menyebar jauh lebih cepat di media sosial daripada informasi yang benar, menurut Vosoughi et al (2018) di Journal Science. Berita sensasional atau kontroversial yang seringkali perlu dipertanyakan faktanya mendapat perhatian lebih banyak dan lebih cepat tersebar dibandingkan berita lainnya. Hal ini menunjukan bahwa emosi lebih sering menggerakan seorang untuk berbagi informasi daripada membagi kebenaran. Selain itu, pemahaman yang buruk terhadap fakta juga dapat menyebabkan polarisasi sosial yang semakin tajam.

Menurut Imelda Ginting, berbagai macam jenis informasi yang ada dapat membuat orang dengan mudah tertipu dengan kabar angin atau yang sering dikenal dengan sebagai hoax, yang semakin sulit untuk dibedakan antara mana yang asli dan mana yang palsu, dalam blog Provinsi Bangka Belitung. 

Literasi Digital Sebagai Solusi

Literasi digital sangat penting untuk mengatasi penyebaran infromasi yang menyesatkan saat ini. Literasi digital tidak hanya tentang menggunakan teknologi di masa kini, namun juga tentang berpikir kritis, memverifikasi, dan memahami pengaruh dari konten yang kita konsumsi dan sebarkan. Literasi digital juga mengajarkan kita untuk mencari, mempertanyakan, menganalisis, dan menelaah apa saja bukti yang mendukung klaim yang diajukan. 

1. Memverifikasi Sumber Informasi 

Langkah awal dalam pengembangan literasi digital adalah memastikan atau memverifikasi sumber informasi. Tidak semua berita atau artikel yang beredar di media merupakan sumber yang terpercaya. Artikel yang tampak meyakinkan tidak selalu berasal dari sumber yang kredibel. Masih banyak orang yang terbiasa untuk membaca judul atau cuplikan tanpa memastikan kebenaran dari penggalan informasi tersebut. Maka dari itu, literasi digital mengajarkan kita untuk selalu memeriksa sumber informasi yang didapat dan menilai reputasi media yang menerbitkannya. 

2. Mengevaluasi Konten dengan Pikiran yang Kritis 

Literasi digital mengajarkan kita untuk berpikir kritis. Dalam era post-truth ini kita sering disajikan dengan informasi yang terlihat menarik perhatian atau menyentuh hati, namun kita tetap harus mampu untuk memilih apakah informasi tersebut masuk akal atau tidak, dan terbukti kebenarannya atau tidak. "Apakah ini sebuah opini atau fakta yang perlu dibuktikan?" atau "Apakah ada bukti yang mendukung pernyataan ini?".

Literasi digital harus ditanamkan pada masyarakat, yang berarti mengembangkan nilai skeptis terhadap infromasi yang kita temui, serta tidak menjadi apatis atau berlebihan dalam skeptisisme. Menurut pendapat Kombes Pol Chaerul Yani (2019) dalam studinya, Oleh karena itu pencegahan hoax di media sosial menjadi semakin penting, agar harmoni di sosial masyarakat di tengah kemajemukan bangsa dapat terpelihara. Hal ini patut menjadi perhatian karena penyebarluasan hoax yang massif dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat, menimbulkan kebencian hingga konflik komunal disertai kekerasan. Dengan upaya ini, kita tidak mudah tertipu oleh informasi yang sengaja disebar dengan tujuan menyesatkan atau menghasut.

3. Menggunakan Alat Pengecekan Fakta

Dengan seiring perkembangan zaman, ada banyak alat yang tersedia untuk digunakan sebagai alat pengecekan fakta ketika kita ragu terhadap kebenaran suatu informasi. Kita dapat menggunakan situs seperti Snopes, TurnBackHoax, atau FactCheck.org yang dapat membantu memverifikasi pernyataan yang beredar di internet. Literasi digital mengajarkan kita untuk tidak langsung percaya atas apa yang kita lihat, melainkan mengajarkan kita untuk memeriksa kebenaran berita sebelum menerimanya atau membagikannya.

Pentingnya Pendidikan Literasi Digital 

Sebagai upaya untuk mengatasi fenomena post-truth, pendidikan literasi digital harus berperan dominan dan menjadi prioritas. Di banyak negara lain, pendidikan literasi digital telah menjadi makanan sehari-hari mereka karena telah dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dengan tujuan mengedukasi dan melatih generasi muda agar lebih berhati-hati dan bijak dalam mengolah dan mengonsumsi informasi. Sejatinya, literasi digital tidak hanya perlu diajarkan di sekolah, tetapi juga melalui edukasi secara publik dan kampanye kepada masyarakat luas.

Pendidkan literasi digital tidak hanya bermanfaat bagi kita untuk meyakinkan informasi, tetapi juga melatih kita untuk menjadi pribadi yang lebih bijak dalam menggunakan internet dan bertanggung jawab dalam menggunakannya. Karena dalam dunia yang serba terhubung ini, kebiasaan dan kemampuan untuk berpikir kritis sangat penting hingga perlu diasah dan dibiasakan untuk bertindak bijak dalam mengelola informasi. 

Kesimpulan

Di ambang dearsnya arus informasi yang sulit untuk dibedakan kepastiannya antara kebenaran atau kebohongan, bergantung kepada literai digital merupakan senjata yang sangat berharga untuk bertahan di era post-truth. Dengan literasi digital, diharapkan masyarakat dpaat lebih bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan internet, mengelola informasi, dan berpikir kritis teradap informasi apapun yang kita lihat dan ingin kita olah ataupun kita konsumsi. Berpikir kritis juga sangat penting agar tidak mudah untuk terjebak dalam hoaks atau informasi palsu. Jadilah masyarakat juga pengguna digital yang cerdas, terus meningkatkan kewaspadaan dan keterampilan untuk bertahan menghadapi tantangan infromasi yang kompleks dan menyesatkan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun