Di era informasi yang serba cepat seperti saat ini, kita hidup di tengah-tengah era yang sering dikenal sebagai "era post-truth". Dimana di era ini fakta seringkali dipertanyakan, dan emosi serta kepercayaan pribadi lebih sering mendominasi daripada bukti objektif. Keberadaan media sosial yang mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok telah mengubah cara kita mengonsumsi dan menyebarkan informasi. Sayangnya di balik kemudahan ini muncul masalah besar seperti bagaimana kita dapat membedakan antara kebenaran dan kebohongan. inilah mengapa literasi digital merupakan senjata penting untuk menghadapi tantangan di era ini.
Apa itu era Post-Truth?
Konsep post-truth mengacu kepada persepsi publik yang lebih banyak dipengaruhi oleh emosi dan keyakinan pribadi daripada fakta objektif. Sebagai contoh, informasi yang bersifat hoaks atau tidak benar dapat lebih mudah tersebar dan dipercaya hanya karena sesuai dengan pandangan atau perasaan seseorang. Teori post-truth pertama kali diterbitkan oleh seorang jurnalis asal Inggris, Steve Tesich yang diterbitkan di The Guardian pada tahun 1992. Sejak saat itu fenomena ini semakin terasa relevan dalam masyarakat modern, Tesich (1992).
Situasi ini semakin diperburuk oleh algoritma yang dirancang untuk menyajikan konten yang sesuai dengan ketertarikan dan minat kita, sehingga menciptakan sebuah echo chamber atau ruang gema. Orang-orang yang terdapat di dalam ruang gema lebih sering bertemu dengan informasi yang menguatkan pandangan mereka, dan kurang terekspos pada sudut pandang yang berbeda. Oleh karena itu, informasi yang salah atau distorsi fakta sering kali lebih cepat tersebar daripada informasi yang sebenarnya.
Dampak Era Post-Truth
Fenomena post-truth ini membawa dampak yang serius dan memiliki konsekuensi yang signifikan. Berita palsu menyebar jauh lebih cepat di media sosial daripada informasi yang benar, menurut Vosoughi et al (2018) di Journal Science. Berita sensasional atau kontroversial yang seringkali perlu dipertanyakan faktanya mendapat perhatian lebih banyak dan lebih cepat tersebar dibandingkan berita lainnya. Hal ini menunjukan bahwa emosi lebih sering menggerakan seorang untuk berbagi informasi daripada membagi kebenaran. Selain itu, pemahaman yang buruk terhadap fakta juga dapat menyebabkan polarisasi sosial yang semakin tajam.
Menurut Imelda Ginting, berbagai macam jenis informasi yang ada dapat membuat orang dengan mudah tertipu dengan kabar angin atau yang sering dikenal dengan sebagai hoax, yang semakin sulit untuk dibedakan antara mana yang asli dan mana yang palsu, dalam blog Provinsi Bangka Belitung.Â
Literasi Digital Sebagai Solusi
Literasi digital sangat penting untuk mengatasi penyebaran infromasi yang menyesatkan saat ini. Literasi digital tidak hanya tentang menggunakan teknologi di masa kini, namun juga tentang berpikir kritis, memverifikasi, dan memahami pengaruh dari konten yang kita konsumsi dan sebarkan. Literasi digital juga mengajarkan kita untuk mencari, mempertanyakan, menganalisis, dan menelaah apa saja bukti yang mendukung klaim yang diajukan.Â
1. Memverifikasi Sumber InformasiÂ
Langkah awal dalam pengembangan literasi digital adalah memastikan atau memverifikasi sumber informasi. Tidak semua berita atau artikel yang beredar di media merupakan sumber yang terpercaya. Artikel yang tampak meyakinkan tidak selalu berasal dari sumber yang kredibel. Masih banyak orang yang terbiasa untuk membaca judul atau cuplikan tanpa memastikan kebenaran dari penggalan informasi tersebut. Maka dari itu, literasi digital mengajarkan kita untuk selalu memeriksa sumber informasi yang didapat dan menilai reputasi media yang menerbitkannya.Â