Pada akhir abad ke-19, Belanda mengasingkan beberapa orang dari wilayah Kalimantan ke Pulau Tidung, dimana belakangan diketahui salah satu yang diasingkan tersebut merupakan raja dari suku / kerajaan Tidung di Malinau, Kalimantan Utara, ialah Raja Pandita. Seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya teknologi komunikasi, seabad kemudian pada tahun 2011 nama "Pulau Tidung" akhirnya sampai juga ke telinga warga Malinau yang masih keturunan suku Tidung di Kalimantan Utara.
Dari sinilah awal mula muncul rasa penasaran mereka yang ingin mengetahui keterkaitan antara nama pulau di kepulauan Seribu ini dengan nama kerajaan dan suku Tidung di Malinau, Kalimantan Utara. Maka pada tahun 2011 perwakilan masyarakat Malinau, keturunan suku Tidung, berkunjung ke pulau Tidung untuk melakukan penelitian dan penelusuran asal usul nama ini. Setelah dilakukan beberapa kali kunjungan dan penelitian mendalam pada akhirnya penelitian ini membuahkan hasil.
Seabad berlalu, keberadaan makam ini pada akhirnya berhasil ditemukan dan dipindahkan pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 3 Juli 2011, dikukuhkan dengan sebuah prasasti sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Adapun prosesi penggalian dan pemindahan makam Raja Pandita dipimpin langsung oleh keturunannya, bapak Muhammad Nafsir, yang juga merupakan juru kunci makam. Pemindahan lokasi makam dilakukan atas persetujuan pihak Pulau Tidung dan pihak keluarga di Malinau, Kalimantan Utara. Makam ini dipindahkan dari sudut barat ke tengah perkampungan namun masih di sisi barat pulau Tidung.
Sekelumit kisah Raja PanditaÂ
(dinukil dari berbagai sumber hasil seluncuran dunia maya dan penuturan bapak Muhammad Nafsir, sang Juru Kunci Makam)
Seabad yang lampau, kisah sang Raja diawali dari perseteruan antara 2 kerajaan, yaitu: kerajaan Tidung dan Bulungan yang masih berkerabat. Kerajaan Bulungan yang dipimpin oleh Sultan Maulana Mohammad Kaharudin, mengklaim bahwa Kerajaan Tidung telah ia kuasai dan oleh karenanya berhak atas hasil penjualan komoditas hutan. Klaim ini disetujui oleh pemerintah kolonial Belanda sekitar tahun 1878 dan dibuat sepihak tanpa melibatkan Raja Pandita, Raja Tidung XIII dari Kerajaan Tidung.
Raja Pandita merasa kerajaan Tidung masih tetap berdaulat. Atas dasar pertimbangan usia yang sudah lanjut, maka beliau menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada cucunya yang bernama Sayid Abdurrahman (Syarif Panamban). Namun ternyata Sultan Bulungan tidak menerima dengan adanya penyerahan kekuasaan tanpa sepengetahuan dirinya. Sultan Bulungan merasa berhak atas politik dan pajak dari Kerajaan Tidung. Disinilah Belanda turut bermain, Raja Pandita dipaksa meneken kesepakatan dan sumpah yang menguntungkan Sultan Bulungan. Namun Raja Pandita menolak sehingga beliau diasingkan oleh Belanda ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dari Banjarmasin, Raja Pandita memperisteri Teah dan selanjutnya diasingkan kembali ke wilayan Batavia, sebagaimana penuturan pak Nafsir.
Dari Batavia Raja Pandita beserta isterinya, Teah, melarikan diri berlayar ke kepulauan Seribu. Masyarakat di tanah pengasingan ketika itu tidak ada yang mengenali bahwa yang melarikan diri tersebut adalah seorang Raja. Perahunya berlabuh di Pulau Air, dan beliau menggunakan nama Aji Muhammad Sapu di tanah baru tersebut. Namun satu hal yang beliau tinggalkan sebagai penanda, yaitu Raja Pandita memberi nama Pulau Air sebagai Pulau Tidung, agar ingatan tentang kerajaan Tidung tetap terjaga. Kemudian beliau memiliki keturunan bernama Hamidun, yang kelak di kemudian hari melahirkan keturunan selanjutnya di pulau ini.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI