Aku memeluk tubuh Silvi sangat erat setelah benar-benar sadar apabila dia dan Reezky telah menyelamatkan hidupku. Dengan napas terengah-engah, dan dengan rasa memar dan perih yang masih menjalar di sekujur tubuh. Rasa syukur tak henti-hentinya aku panjatkan. Terima kasih, terima kasih Tuhan. Engkau masih memberi kesempatan bagiku untuk hidup.
"Silvi, sudah kamu hubungi Pak Alex?"
"Sudah," balas Silvi. "Kamu tidak apa-apa Aery?"
"Minumlah dulu, sayang," ucap Reezky sambil menyodorkan botol minuman. "Kita harus buru-buru sebelum dua penculik itu kembali," ucap Reezky lagi, sambil membantuku berdiri dan berjalan.
Mereka ada tiga orang. Bukan hanya dua orang!
"Kamu bicara apa? Aery?" balas Silvi.
Ya Tuhan. Suaraku masih belum pulih utuh karena terlalu lama dibungkam. Sangat sulit untuk sekadar berbicara. Kalimat panjang yang berusaha aku katakana pada mereka hanya terdengar seperti bunyi tak beraturan. Seperti tangis bayi yang menginginkan susu pada ibunya: rengekan.
Silvi terus penasaran dengan maksud yang aku katakana. Dia bertanya berulang-ulang untuk memahami maksudku. Hanya saja, aku tetap gagal berbicara.
"Makan?"
"Am-am-am-am-am-ama," suaraku.