Mohon tunggu...
Khoirul Muttaqin
Khoirul Muttaqin Mohon Tunggu... Wiraswasta - IG: @bukutaqin

Halo 🙌 Semoga tulisan-tulisan di sini cukup bagus untuk kamu, yaa 😘🤗

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Seperti Gadis di Titik Nol

10 Juni 2022   07:00 Diperbarui: 10 Juni 2022   07:02 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pexels.com by Mart Production

Sakit! Sekujur tubuhku lebam dan terasa perih.  Mulutku disumpal dengan kain dan membuatku sangat panik dan ketakutan.

Di mana ini? Siapa mereka!

Saat itu aku mulai sadar jika sedang diculik. beberapa orang laki-laki membuatku bangun dengan paksa. Tubuhku barusaja diguyur dengan ember penuh air. Napasku terengah-engah dan jantungku berdegub dengan kencang.

Sekian detik setelah sadar, tak bisa dipungkiri jika aku meronta-ronta kesakitan. Rasa perih dari luka di tubuhku terasa lagi. Namun tanganku di ikat sangat kuat. Kakiku juga. Membuat tekanan yang akhirnya menyerang psikologiku.

Haus.

Aku haus!

Aku ingin minum!

Tolong aku!

Namun mulutku tersumpal kain sehingga tidak  mampu bicara.  Lemas.

Siapa sebenarnya mereka? Apa yang mereka inginkan dariku? Dua ..., tiga ..., tiga orang lelaki berada di ruangan ini. Persis orang-orang yang mencoba menabrakku dengan mobil di jalan. Satu orang mengenakan topi hitam. Satu orang bertubuh kekar, tapi paling pendek di antara lainnya. Satu orang lagi berkumis tebal dengan rokok berada di tangannya. Aku akan mengutuk perbuatan kalian selama hidupku!

"Kita apakan dia enaknya?" Kata lelaki bertopi hitam.

"Hahaha. Gaya bicaramu tumben sekali lentur. Tentu saja sesuai rencana awal. Biar aku saja yang memulainya jika kau merasa kasihan." Si Pendek berjalan mendekat dengan ekspresi senang. Seolah menatapku seperti mainan baru. "Jangan dipikirkan lagi kalau bayarannya sudah pas!" tambahnya berucap, sambil menjambak rambutku membuat wajahku terangkat.

Sialan. Sakit. Ingin rasanya kutonjok dan kuludahi  wajahnya. Tapi aku tak bisa bergerak sama sekali. Bahkan ikatan tali mereka di tubuhku terasa menyakitkan.

"Dari mana saja kau?"

"Hanya dari luar melihat sutuasi. Ada yang tidak beres, tapi ternyata tidak ada apa-apa."

"Kupikir kamu takut dan lari ke rumah."

"Haha. Sama sekali tidak lucu," ucap si Pendek. "Hei, bos! Apa perempuan ini bisa dipakai? Sungguh sayang kalau hanya dihancur-"

"Tutup mulutmu, Jon. Jangan macam-macam dengan perjanjian."

Si Pendek tak membalas ucapan Kumis. Wajah sebalnya berada tepat dihadapanku. Kini tangannya tak lagi menjambak rambut agar wajahku terangkat. Melainkan tamparan dan pukulannya silih berganti menghantam wajahku yang masih basah.

Sakit! Sakit! Sakit! Perih! Aku tidak kuat! Tubuhku menggeliat.

Teriakanku terdengar seperti gumaman. Tak ada orang yang mendengar jeritan dari balik mulut tersumpal kain. Tidak ada yang bisa menolong perempuan muda tak berdaya.

Bahkan tangisku sudah tak ada lagi artinya selain hanya air yang berjatuhan di kandang lawan. Wajahku panas dan perih akibat hantaman bertubi-tubi mereka. Bahkan aku ragu jika Silvi dan pacarku melihat, apakah mereka masih ingat denganku.

Aah. Sial!

Sudah tidak mampu bertahan lagi. Namun aku juga tidak mampu menghindar dari neraka ini.

Darah .... Perih .... Luka yang semakin lebar.

Darah mulai berceceran di mana-mana dari mulutku dan mereka tetap menghajarku, bergiliran. Nahkan aku tak bisa memohon untuk diberi ampun.

"Hentikan dulu. Alex sudah mulai terhubung." Kata si Kumis terdengar semangat.

Alex? Siapa Alex? .... Ayahku? Apa yang dimaksud adalah ayahku? Tolong ....

Si kumis terdengar sedang bicara dengan ayah. Ya! Ayah. Aku masih ingat nada suara dan gaya bicara ayah.

Meski tidak lama kemudian semuanya terlihat hitam. Kesadaranku melayang. Tidak tahu lagi menganai apa yang telah mereka bicarakan dengan ayahku. Kenapa mereka menghubungi ayah? Apakah ayah di pihak mereka? Apa hubungan ayah ayah dengan mereka yang menculikku?

Entah pukul berapa aku tersadar untuk kedua kalinya di tempat ini. Sudah tidak ada lagi cahaya matahari.

"Aery, bangun!"

"Bangun, Aery!"

"Aery? Kamu masih bisa berjalan?"

Kain yang menyumpal mulutku telah hilang. Tangan dan tubuhku bisa bergerak dengan bebas meskipun lemas. Samar-samar, kulihat dua wajah yang aku kenal.

"Silvi? ..., Reezky? .... Kaliankah itu?"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun