"Kita apakan dia enaknya?" Kata lelaki bertopi hitam.
"Hahaha. Gaya bicaramu tumben sekali lentur. Tentu saja sesuai rencana awal. Biar aku saja yang memulainya jika kau merasa kasihan." Si Pendek berjalan mendekat dengan ekspresi senang. Seolah menatapku seperti mainan baru. "Jangan dipikirkan lagi kalau bayarannya sudah pas!" tambahnya berucap, sambil menjambak rambutku membuat wajahku terangkat.
Sialan. Sakit. Ingin rasanya kutonjok dan kuludahi  wajahnya. Tapi aku tak bisa bergerak sama sekali. Bahkan ikatan tali mereka di tubuhku terasa menyakitkan.
"Dari mana saja kau?"
"Hanya dari luar melihat sutuasi. Ada yang tidak beres, tapi ternyata tidak ada apa-apa."
"Kupikir kamu takut dan lari ke rumah."
"Haha. Sama sekali tidak lucu," ucap si Pendek. "Hei, bos! Apa perempuan ini bisa dipakai? Sungguh sayang kalau hanya dihancur-"
"Tutup mulutmu, Jon. Jangan macam-macam dengan perjanjian."
Si Pendek tak membalas ucapan Kumis. Wajah sebalnya berada tepat dihadapanku. Kini tangannya tak lagi menjambak rambut agar wajahku terangkat. Melainkan tamparan dan pukulannya silih berganti menghantam wajahku yang masih basah.
Sakit! Sakit! Sakit! Perih! Aku tidak kuat! Tubuhku menggeliat.
Teriakanku terdengar seperti gumaman. Tak ada orang yang mendengar jeritan dari balik mulut tersumpal kain. Tidak ada yang bisa menolong perempuan muda tak berdaya.