Mohon tunggu...
Khoirul Muttaqin
Khoirul Muttaqin Mohon Tunggu... Wiraswasta - IG: @bukutaqin

Halo 🙌 Semoga tulisan-tulisan di sini cukup bagus untuk kamu, yaa 😘🤗

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Pekerjaan Terakhirku

5 April 2022   07:27 Diperbarui: 5 April 2022   07:32 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berangkat kerja dengan semangat rasanya memang menyenangkan. Seharusnya bisa terjadi setiap waktu! Mungkin jika dipikir sejak tahun lalu bekerja hingga sekarang, baru kali ini aku merasa sebahagia ini. Tak henti-hentinya pikiranku membayangkan kejadian tadi saat bertemu Adam. Ah ..., rasanya menyenangkan.

"Aku pergi dulu," ucapku sebelum meninggalkan Adam dari indekos miliknya tadi.

"Maaf, aku masih harus membeli hadiah dulu untuk wisuda teman besok," Adam membalas dengan menatap wajahku.

"Pesananku jangan lupa, boneka panda dengan bungkus kado berwarna jingga. Aku akan memberikannya pada Leni teman sekelas ku. Sayang sekali gak bisa ambil langsung. Tapi aku sudah pesan ke penjualnya kalo barangnya diambil orang lain. Jadinya tinggal ambil dan bayar."

"Ya."

Sayang sekali harus bekerja gara-gara harus berhemat di saat-saat seperti ini." Aku sedikit mengeluh.

Dan tiba-tiba saja, Adam memandangku dengan tatapan yang tidak biasa. Lebih dalam dan lebih lama daripada sebelumnya. Ia meraih pundak kiriku dengan tangan kanannya perlahan, lalu selembut kapas tak terasa, tangan kirinya menggeser tengkuk leherku ke arahnya! Dia menciumku!

"Kamu yang hati-hati, besok adalah hari wisudamu juga. Aku tidak sabar melihatmu mengenakan toga," ucapnya lirih kepadaku setelahnya.

Dan aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain mengiyakan. Bahkan suara dari mulutku tidak keluar saking gerogi dan bahagia. Sungguh, momen seperti ini harusnya bisa terjadi setiap hari. Adam harus menciumku agar hari-hariku lebih cerah dan bersemangat. Mungkin nanti? Saat Adam menikahiku? Setelah wisuda? Haha. Pikiranku melantur lagi.

Kini di hadapanku, sebuah rumah dengan dua lantai terlihat berdiri dengan megah. Bunga-bunga beragam warna dan jenis tumbuh di latarnya. Jujur, sejak dulu aku menginginkan punya rumah seperti ini. Lokasinya lumayan tersembunyi di kaki gunung. Di kanan kiri hanya terlihat pohon-pohon hijau dengan pemandangan yang indah. Dari sini pula, aku dapat melihat perkotaan dan tempat kuliahku yang sesak dan panas dengan jelas.

"Bintang ya? Silakan masuk. Semuanya sudah saya siapkan di lantai atas," ucap Pak Anton saat aku memasuki rumah.

"Akan saya antar langsung ke ruangan untuk ambil foto. Di lantai atas ada banyak produk yang harus diambil gambarnya. Totalnya ada empat puluh tujuh produk. Karena toko kami mengadakan promosi besar-besaran. Sehingga butuh waktu cepat," istri lelaki itu menambahkan.

"Ibu Vivi ya?"

"Iya, saya yang memesan jasa foto produk," ucap bu Vivi. Sedangkan Pak Anton terlihat ke arah depan rumah.

Kami pun melewati ruang tamu dengan sofa yang terlihat empuk dan nyaman. Langsung berjalan menuju lantai dua di sebuah kamar yang letaknya paling jauh di antara kamar lainnya. Meski demikian, aku menyempatkan diri melihat keadaan rumah yang tampak megah ini.

"Saya ingin hasil fotonya bisa jadi sebagus mungkin ya. Silakan dikerjakan sesuai kesepakatan," ucap bu Vivi setelah menunjukan produk camilan kering dan bubuk kopi miliknya. "Saya akan ke lantai bawah karena sebentar lagi kami punya tamu. Sebenarnya tamu ini saingan toko kami. Tapi entahlah. Intinya saya ingin hasil fotonya bagus dan rapi," tambahnya berucap.

Ibu Vivi dan suaminya berada di lantai satu karena ada tamu lain. Sejenak, telingaku memang mendengar suara orang lain. Namun tidak begitu terdengar dari ruangan yang kugunakan.

Meski nada bucaranya terdengar judes, bu Vivi telah memberiku beberapa camilan dan minum. Aku bisa fokus memasang tripod, lampu blitz dan payung yang kubawa.

Sungguh, sepi rasanya di ruangan ini. Bahkan suara percakapan Ibu Vivi, suaminya dan tamunya sama sekali tidak terdengar dari ruangan yang kugunakan.

Setelah pencahayaan dan posisi telah tersusun rapi, aku mulai mengambil foto satu persatu produk dari toko mereka. Sedikit tidak fokus, karena Adam masih saja terbayang-bayang di kepalaku saat sebentar saja kepalaku berusaha berpikir.

"Tolong ...! Tolong ...! Jangan!"

Deg!.

Tiba-tiba suara seseorang terdengar berteriak. Sangat keras, dan terdengar sedang tersiksa karena tidak hanya kata "tolong" saja yang diteriakkan. Bu Vivi! Aku yakin dengan suaranya. Tapi bukankah suara percakapan mereka di lantai bawah tidak terdengar hingga lantai atas? Kenapa sekarang terdengar? Terlebih suara minta tolong di rumahnya sendiri?

Bulu kudukku terasa berdiri karena merinding. Penasaran dengan apa yang tengah terjadi di lantai satu rumah ini. Dengan hati-hati, mataku berusaha menyapu keadaan seluruh ruangan rumah. Tanganku tidak lagi memegang kamera.

Brak! Brak!

Dua orang laki-laki terlihat memukul Pak Anton bergantian di lantai satu dekat meja tamu. Sedangkan istrinya, bu Vivi terlihat sudah ambruk di lantai tak sadarkan diri. Posisi mata terbuka, bajunya robek di beberapa sisi lengan, dan genangan cairan merah berkeliaran liar, perlahan dari tubuhnya menuju lantai keramik di sekitarnya.

Buru-buru aku menarik tubuh agar tak terlihat lagi. Tanganku menutup mulut agar tidak berteriak karena kaget dan syok. Suaraku berhasil tertahan, aku tidak berteriak dan tidak membuat dua orang jahat itu curiga. Namun air mataku tak terbendung dan jatuh dengan deras.

Aku takut ..., takut.

Perlahan-lahan dengan tubuh gemetaran. Aku berusaha menjauhkan diri dari setiap sisi yang dapat dilihat dari lantai satu. Aku yakin mereka berbahaya, karena salah satu di antaranya membawa benda tajam. Dan bu Vivi .... Bu Vivi telah dibunuh oleh mereka.

Jantungku berontak tak karuan setelah sadar akan situasi yang tidak pernah aku bayangkan. Salah sedikit saja bertindak, nyawaku akan melayang karena di hadapanku adalah para pembunuh yang sedang melangsungkan pekerjaannya. Tapi siapa aku? 

Siapa aku?

Aku hanyalah penjual jasa foto produk paruh waktu.

Sedih dalam jiwaku sudah tak terbendung lagi melihat peristiwa kejam pembunuhan. Ingin rasanya tubuhku menggigil, jantungku berontak, dan menangis sejadi-jadinya. Aku takut. Kepalaku bingung. Dadaku sakit. Bahkan aku takut untuk takut karena pembunuh itu bisa datang dan mengambil nyawaku sewaktu-waktu, saat yang kulakukan terdengar oleh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun