Mohon tunggu...
Maha Dewanto
Maha Dewanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

aller anfang ist schwer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bertahan Ditengah Derasnya Imperialisme Budaya

29 Maret 2013   01:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:03 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun ini dunia permusikan di negara kita seperti mati suri. Para musisi seakan kehabisan akal untuk dapat tetap eksis di era digital ini. Lagu yang yang merupakan sebuah karya kini bukan sesuatu yang komersil lagi, sangat mudah didapat secara gratis. Seolah hal itu lumrah dilakukan, kita sebagai penikmat musik lebih memilih mendapatkan lagu dengan cara yang gratis. Termasuk saya juga sih, hehe. Lalu bagaimana nasib penjualan album dalam bentuk CD dsb yang menjadi sumber pemasukan para musisi?

Sampai saat ini ada beberapa cara yang dilakukan oleh para musisi untuk mengatasi hal tersebut. Salah satunya bekerjasama dengan sebuah restoran cepat saji. Setiap pembelian produk tertentu akan mendapatkan CD dari band tersebut. Mungkin masih ada beberapa dari kita yang masih menghargai sebuah karya dengan membeli CD original. Namun bukan rahasia lagi situs yang menyediakan link download lagu karya para musisi ini sudah menjamur.

Masalah kedua yang membuat industri musik kita mati suri adalah selera pasar saat ini. Kenapa dengan selera pasar saat ini?

Anda tentunya tak asing lagi jika mendengar istilah K-pop. Ya, K-pop bisa disebut sebuah genre, style dan juga trend yang sedang digandrungi anak muda zaman sekarang. Negara asalnya adalah korea selatan. Kenapa K-pop membuat industri musik kita mati suri?

Perlu kita ketahui, K-pop identik dengan boyband/girlband, sedangkan konsep boyband/girlband sangat jauh berbeda dengan band atau pun penyanyi solo. Karena perbedaan konsep itu, hal itu membuat band dan penyanyi solo perlahan terpinggirkan, tenggelam tertelan wabah yang berasal dari negara korea selatan tersebut. Apakah ini bisa disebut imperialisme budaya?

Ya, bisa jadi ini termasuk imperialisme budaya yang dilakukan oleh korea selatan melalu hiburan, terutama bidang musik. Jika melihat perilaku anak muda sekarang, tidak ngefans dengan yang berbau K-pop itu jadoel, tidak keren katanya. Bahkan banyak yang bisa dibilang sudah fanatisme berlebihan. Pro dan kontra itu wajar toh? Jika generasi muda kita yang fanatisme berlebihan ini menjadi pribadi yang anti kritik bagaimana bisa maju? Tutup mata seolah idolanya tak punya cela. Belum lagi dari segi musikalitas K-pop sangat kurang. Hanya mengandalkan kemasan yang wah, dari kostum, wajah dll.

Secara tidak sadar ada dampak negatif yang terjadi, terlalu membanggakan, memuja budaya dan hiburan dari negara lain dapat mengikis rasa nasionalisme. Kadar kecintaan terhadap musisi tanah air berkurang, bukan tak mungkin perlahan budaya kita bisa tergantikan.

Tengok saja perilaku anak muda disekitar kita, nama terkadang diubah menjadi kekorea-koreaan. Penampilan tak ketinggalan mengikuti trend asal negara tersebut.

Apa mungkin nantinya Indonesia hanya lah sebuah nama? Budaya, kebiasaan, ciri khas sudah tergantikan semua. Yah, semoga saja itu tidak terjadi. Masih banyak yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal tersebut terjadi. Dimulai dari diri sendiri, tak perlu menolak mentah-mentah budaya dan hiburan dari luar negri, tapi dengan membatasi rasa kecintaannya, jangan sampai melewati kecintaan terhadap budaya dan hiburan dari negara sendiri.

Apakah anda sependapat?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun