Ketika aku kecil, aku pernah mencubiti perut ayahku, memukulinya selama perjalanan kami naik sepeda motor. Aku kesal keinginanku tak terkabul. Padahal selain pada Tuhan, Ayahkulah tempat menuntut, alih-alih memohon dengan manis.
"Lho, Yah kok lewat sini?"
"Katanya adek mau jalan-jalan?"
"Tap ini kan arah ke rumah Nenek."
"Ya kan kita mau jalan-jalan ke rumah nenek"
Selama perjalanan ke rumah nenek aku terus menggerutu, mencubiti perut ayah yang buncit, ayah hanya diam, kupukul punggungnya dan menjerit pun ia hanya diam. Entah ia terlalu sabar atau mungkin ayah memang membiarkanku memukulinya agar aku lega dan melupakan keinginanku untuk jalan-jalan daripada mengunjungi rumah nenek.
Bagi anak usia 5 tahun, tak ada yang asik sama sekali dari mengunjungi nenek yang sudah sepuh, tak bisa diajak main lompat tali, juga gak ngerti cara main monopoli. Yang selalu nenek lakukan sama ayah ya ngobrol. Gak ada serunya. Dan seingatku aku bukan anak yang manis memang.
Ayah memang selalu sabar, seingatku bahkan ayah hampir tak pernah marah. Hanya sering kudengar ibuku berteriak dengan jengkel. Ayah hanya diam, lalu ngeloyor pergi. Entah sabar atau tak peduli. Aku cuma anak berusia 5 tahun dengan banyak celotehan dan mimpi.
Ayahlah pendengar terbaikku pada setiap cerita sebelum tidur.
"Yah, nanti kalau aku besar aku mau ke hutan nyusul Tarzan."
"Terus dihutan sama tarzan ngapain dek? Kenapa bukan tarzannya saja kamu ajak kesini?"
"Kalau Tarzannya yang kesini kan binatang-binatang nya nanti ikut yah. Trus ditangkepin dimasukin kandang sama kebon binatang. Kasihan. Aku aja yang nyusulin Tarzan."
"Lho, kalau adek ke hutan, ayah sama ibuk gimana? Sendirian dong?"
Dan seterusnya sampai aku tertidur. sesederhana itulah aku memaknai masa kecilku. Bahkan ultraman dan kesatria bajahitam adalah idola yang begitu mempesona. Ayah sudah hapal, tiap sore pasti susah kalau disuruh mandi, nunggu filmnya habis dulu. Tiap jalan-jalan pun rasanya selalu beli poster ultraman untuk ditempel di kamar.
Kenangan masa kecilku sudah banyak yang kabur, hanya kenangan tentang Ayah saja yang masih banyak kuingat. Entahlah, rasanya masa kecilku memang penuh dengan peran Ayah yang dominan mengajariku. Menunjukkan hal-hal baru. Belajar tak takut kotor dan jadi pemberani.
Ayah juga yang lebih banyak mengobrol denganku. Meski aku tak begitu ingat apa yang kuobrolkan, hanya saja sosok Ayah adalah salah satu yang paling membentuk kepribadianku sampai sekarang.
"Yah, ngapain sih kita tidur di luar? Kan banyak nyamuk."
Aku menggaruk lengan kananku, dan menepuk seekor nyamuk yang hinggap di paha kiriku. Kuperhatikan Ayah yang dengan santai tiduran di atas tikar yang kami gelar di halaman. Langit memang cerah sehingga Terlihat banyak sekali bintang. Ayah menyuruhku berbaring disampingnya, aku merebahkan tubuh, berbagi bantal dengan kepala ibu di sampingku. Kami bertiga tiduran sambil menatap bintang. Â Sesekali bapak menunjuk dan mengayun-ayunkan tangannya mencoba menghubungkan bintang satu dengan yang lain.
"Yang itu dik, bintangnya seperti wayang, yang itu seperti layang-layang, kodok, gajah."
Aku? Memercingkan mata, mencoba berimajinasi dan mengangguk-angguk. Ibu sudah tertidur duluan mendengar Ayah yang masih asik menunjukkan rasi bintang versinya. Karna setelah dewasa aku belum pernah tahu rasi bintang Gatotkaca.
Kenangan masa kecilku, yang kini ternyata begitu sulit untuk kulakukan bersama anakku. Dikota yang tampak hanya lampu. Gemerlap. Tak ada Tarzan.
Ayah di surga, pasti memohon pada Tuhan agar aku mendapatkan pendamping yang sabar seperti dirinya, yang melindungi dan menjadi tempat terbaik berbagi cerita, tentunya dengan perut yang selalu bisa kucubiti dan sabar ketika kuteriaki. Auoooooo.....Â
#ketikaakukecil #FC
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H