Beberapa hari lalu, teman dekat saya membuat question box di Instagram. Karena dia memiliki latar belakang sebagai jurnalis sekaligus penulis independen, maka ada seseorang yang bertanya padanya "Mas, bagaimana tips menjadi penulis lepas?".
Dengan jenaka, teman saya lalu menjawab "ini pertanyaan serius. Jawabanya juga akan serius. Caranya gini: buka browser, lalu ketik di kotak pencarian tips menjadi penulis lepas". Lalu dia memberi imbuhan lagi "tapi sebelumnya, coba pikirkan lagi, beneran mau jadi penulis?".
Saya kira benar, ungkapan terakhir yang dia beri bukan hanya lelucon yang ditambah atas kejenakaan sebelumnya, melainkan keseriusan yang harus dipikirkan secara masak-masak. Menjadi penulis apalagi memakai kata lepas di belakangnya, bukan hanya sebuah judi atas kehidupan, tapi juga seperti bunuh diri atas nama finansial.
Ko bisa berkata demikian? Mati-matiin semangat para calon penulis lepas saja!!. Tidak, maksud saya bukan begitu, saya hanya ingin memberi sedikit pandangan bahwa sebelum terjun ke dunia antah berantah tersebut, kalian harus memiliki bekal analisis keadaan yang kiranya bakal dihadapi, baik itu keadaan baik ataupun keadaan buruk.
Saya coba dari keadaan baik dahulu. Sebagai penulis lepas, memang waktu yang akan kalian miliki begitu banyak bahkan melimpah. Kalian bisa begadang sampai jam 3 pagi dan baru bangun jam 12 siang. Tidak akan ada yang memarahi, ya paling sebatas omongan tetangga sih mhehe~.
Kalian juga tidak akan kemana-mana, full di rumah. Tidak akan merasakan macetnya Yogyakarta di pagi hari saat orang-orang berlomba adu cepat ke kantor (kalau tinggal di Yogyakarta) sembari mendengar merdunya adu klakson saat di lampu merah. Tidak akan! Paling-paling, kalian hanya akan mendengar alarm telepon genggam yang tidak kunjung berhenti.
Apalagi di era teknologi digital seperti sekarang, kalian tidak perlu repot-repot ke kantor pos atau kantor redaksi untuk mengirimkan tulisan. Kalian cukup membuka aplikasi surat elektronik, mengetik alamat penerima, menambah subjek, lalu, selesai.
Bagaimana, mudah bukan? Nikmat bukan? Tentu nikmat sekali. Kalau kata guru ngaji saya sih nikmat mana lagi yang kau dustakan?. Benar dong, jadi penulis lepas adalah kenikmatan yang tiada tara. Bangun bebas seenaknya, kemudian  menyeduh secangkir kopi, lalu masih bisa menyesap sebatang rokok sebelum membuka laptop dan menulis apa yang ada di dalam kepala.
Cukup ya nikmatnya. Kalian masih bisa menambahkan kenikmatan tersebut dari yang dirasakan dan dialami sendiri. Nah, sekarang kita beranjak ke keadaan yang buruk yang harus kalian ketahui.
Sebagai penulis lepas, lepas loh ya, nih saya kasih tahu bahwa kata lepas jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bebas dari ikatan. Jadi, seorang penulis lepas adalah dia yang bekerja untuk siapa saja tanpa kontrak yang mengikat.
Tanpa adanya kontrak dan ikatan, penulis lepas begitu rentan akan keadaan finansialnya. Ko bisa kaya gitu? Begini, sebagai penulis lepas, tawar-tawaran harga acap kali menjadi hal yang sangat jarang terjadi. Bahkan rata-rata, harga per satu tulisan biasanya telah dipatok oleh perusahaan itu sendiri.
Â
Sebagai informasi saja, masih banyak perusahaan media yang hanya membayar Rp8.000 untuk satu artikel yang dimuat. Itupun kalian masih harus bersaing dengan ratusan orang agar konten tulisan dapat naik dan mendapat uang seharga satu lele goreng itu. Parahnya, jumlah rupiah tersebut jika akan ditarik oleh sang penulis, harus mencapai nilai minimum penarikan, misalnya saja Rp200.000.
Itulah yang saya bilang sebagai kerentanan keadaan finansial. Tapi itukan di media dan notabene sebagai penulis lepas yang berlabel content writer, beda dong sama penulis buku?
Baiklah, jika itu kemudian menjadi pertanyaan yang diajukan, saya akan menjawab seperti yang pernah Mas Puthut Ea pernah sampaikan di kanal YouTubenya bahwa, royalti buku itu tergantung dari seberapa banyak buku yang terjual dalam satu tahun. Pembayaranya pun tidak setiap bulan, ada yang 3 bulan sekali atau bahkan 6 bulan sekali.
Atau bahkan, mendengar dari cerita teman saya yang seorang penulis novel sih, royalti yang diterima biasanya sebesar 15% per satu penjualan. Dan itu dibayarkan jika ada yang membeli bukunya, jika tidak, ya berarti tidak ada pemasukan sama sekali.
Lebih lanjut, saya tidak tahu ini keadaan buruk atau bukan, tapi nyatanya, menjadi seorang penulis lepas kalian harus siap dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak, profesi penulis apalagi lepas, lebih sering dimaknai sebagai tukang buku, tukang cetak kalender, atau tukang ketik makalah dan macam hal lain yang berhubungan dengan keyboard laptop. Syukur-syukur engga dianggap wartawan bodrek juga.
Terakhir sebagai penutup, itu mungkin keadaan buruk yang pernah saya pribadi dengar dan rasakan. Saya pun masih yakin, bahwa masih banyak di luar sana yang pernah merasakan hal lebih buruk dari itu. Apalagi bagi mereka yang menjadi kontributor lepas media di daerah, sudah tidak jelas kontraknya lalu gaji masih dihitung seberapa banyak tulisan yang bisa dibuat dan ditampilkan, bisa-bisa sih kaki jadi kepala, kepala jadi kaki.
Yasudah, itu saja yang bisa saya ceritakan. Bagi yang tetap ingin menjadi penulis lepas, silahkan saja dan tentunya harus tetap semangat. Lalu, pertimbangkan juga segala macam yang akan dihadapinya. Lha iya, gimana lagi kan? Kalau kata senior saya sih di lembaga pers dulu bahwa menulis itu kan candu.
Terus kalau akhirnya merasa pedih ya sabar saja. Toh kalau kata Soleh Solihun juga pada tulisanya di salah satu media massa tahun 2016 lalu mengatakan bahwa di balik kesulitan selalu ada kemudahan. Di balik banyak tagihan, harus lincah mencari penghasilan tambahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H